Dia memang bukan laki-laki yang taat beragama.
Tak bisa mengaji. Sholat sesukanya, sesuai kondisi. Hampir tak pernah peduli dengan kewajiban zakat. Puasa Ramadhan masih bolong-bolong. Jangankan mengenal sirah para sahabat, menyebut nama Nabinya saja, masih suka berbelit. Cara berpikirnya sangat liberal.
Tetapi... dia baik.
Dia yang selalu ramah menyapa semua yang ia temui. Ringan menawarkan bantuan pada siapa pun. Punya kepekaan sosial yang tinggi. Selalu punya pengaruh di tiap simpul pertemanannya. Enerjik. Tak mudah marah. Mudah mengalah.
Dan... kamu jatuh cinta padanya.
Kamu yang sangat berbeda dengannya. Kamu yang sejak kecil sudah terbiasa menghafal ayat-ayat Alquran. Sholat wajib tak pernah luput. Amalan sunnah bertumpuk-tumpuk. Bercita-cita pergi ke tanah suci. Selalu bermimpi membangun bahtera rumah tangga yang islami.
Tapi, rasa cintamu padanya saat itu terlampau besar, hingga menutupi segala yang telah kau bangun selama ini. Kamu percaya, bahwa kamu bisa hidup bersamanya. Berdampingan saling menutupi kekurangan.
Menurutmu, cinta hanya perlu penerimaan. Selama kamu dan dia bisa saling menerima, maka cinta akan terus ada. Sesederhana itu.
Dan, dengan dua genggam cinta, kalian menikah..
Hubungan yang terjalin sangatlah indah. Kamu menerimanya, dia menerimamu. Apa adanya. Berkomitmen untuk tak saling mengomentari soal keyakinan dan cara berpikir masing-masing.
Ketika dia mendapat tunjangan besar, kalian saling berbagi. Separuhnya untuk jalan-jalan ke Eropa, separuhnya lagi untukmu; pergi ke tanah suci.
Tepat di tahun kedua pernikahanmu, perutmu mulai membuncit. Mengandung buah hati pertamamu, seorang anak perempuan. Bahagia rasanya. Kalian sempat berdebat kecil soal nama. Tapi, pada akhirnya, seperti biasa, kalian saling berbagi tempat; bahkan untuk sebuah nama. Nama depan kau yang pilih, nama belakang dia yang pilih.
Kelahiran seorang putri, jadikan cinta kalian makin mendalam.
*****
Dan, malam ini, kamu menyelipkan kepalamu di antara kedua lututmu, bersandar, menahan isak yang masih tersengal.
Ketika cinta semakin dalam, maka ia semakin murni. Cinta menuntunmu untuk berkeinginan; agar segala kebaikan bisa didapati oleh sang yang dicinta.
Kemarin malam, kamu berbisik kepadanya, di ruang kerja pribadinya,
“Mas, abis ini kita sholat isya berjamaah, yuk..”
“Enggak dulu, ya... Ini aku masih ada kerjaan,” jawabnya sambil terus mengetik, wajahnya terpaku menghadap layar monitor.
“Sudah dua puluh lima tahun sejak pernikahan kita, tapi kamu belum pernah mengimami aku sholat, mas... Sejujurnya, aku ingin mendengarmu melantukan ayat-ayat Alquran...” lirihmu pelan, menundukkan kepala.
“Bukannya kita sudah sepakat untuk tidak membicarakan ini?” Jemarinya terhenti. Ia menoleh ke arahmu.
“Tapi, mas....” mulutmu tercekat, melihat mata merahnya yang sedang menatapmu tajam. Dia tersinggung. Kamu meminta maaf, lalu pamit meninggalkannya sambil berlinang air mata.
Cintamu yang semakin dalam, membuatmu ingin memperkenalkan manisnya iman padanya. Membuatmu ingin menyelamatkan dunia dan akhiratnya.
Tetapi, ternyata, tidak semudah itu...
Dan, tadi sore, adalah puncaknya.
Ketika cinta benar-benar menuntunmu untuk berkeinginan; agar segala kebaikan juga didapati oleh sang yang dicinta.
Kamu dan dia berdebat hebat, soal putri kalian yang ingin dinikahi oleh pacarnya, seorang laki-laki beda agama.
Dia mendukungnya. Katanya, anak laki-laki itu baik, pintar, kaya, berbakti pada keluarga, dan merupakan putra dari salah seorang kolega bisnisnya yang terpercaya.
Sedangkan kamu, dengan tegas menolaknya. Agamamu, melarangnya.
Di detik itu, dua genggam cinta yang makin mendalam, menuntun kalian untuk berkeinginan satu sama lain; menghendaki agar segala kebaikan juga didapati oleh sang yang dicinta, dengan caranya masing-masing.
Dia yang mencintaimu, ingin memilihkan menantu terbaik versinya, untukmu, agar hidupmu dan anakmu mendapat kebahagiaan dan kelayakan.
Tapi bagimu, menantu terbaik adalah yang baik agamanya. Kamu yang mencintai dia, hendak memilihkan menantu terbaik versimu, untuknya, agar bisa mengingatkannya ke jalan yang benar, jalan menuju surga, tempat kebahagiaan bersama seutuhnya.
Namun, hari ini, untuk pertama kalinya, cinta tak lagi bisa saling mengalah. Piring pecah berhamburan. Teriakan dia yang menggelegar. Dan pipimu yang memar kebiruan.
Perdebatan panjang akhirnya ditutup dengan kalimat darinya,
“Sudah sudah! Biar anak kita yang memutuskan sendiri!”
*****
Dulu, kau mengira, cinta dan keyakinan adalah sesuatu yang bisa terus berdampingan, selama masing-masing bisa saling menerima.
Sayangnya, tak sesederhana itu...
Tiap kita memiliki prinsip yang kokoh dalam ruang hidup masing-masing. Antara cinta dan keyakinan; salah satunya akan lebih mendominasi. Dulu, saat masih muda, kau memilih cinta, dan itulah yang terjadi padamu hari ini.
Maka, kamu yang tak ingin putrimu menempuh jalan yang sama sepertimu, membuatmu kalap hendak melumpuhkan pernikahan mereka. Sayangnya, ia sudah menentukan pilihan; bersama cintanya, seorang laki-laki beda agama itu. Persis seperti kisahmu dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Hanya Pura-pura Saling Mengerti
RomanceMalam ini, jika benar-benar bisa kukabulkan, dengan siapa kamu ingin berjumpa? Ayo, cepat, katakan saja! ... ... Eh, maaf, tunggu sebentar! Jangan disebut dulu namanya... Aku ingin sedikit berkisah dulu padamu. Maksudku, agar kamu tak terkecoh saat...