Cukup Dirahasiakan

12 2 0
                                    

Dia semakin tidak memahamimu.

Saat sedang capek sepulang kerja, bukannya menyediakan secangkir teh hangat untukmu, wanita itu cuma menyapamu sejenak, tersenyum, lalu kembali mengurusi si bungsu.

Kamu sangat mengerti, bahwa anakmu butuh perhatian. Tetapi, sebagai seorang suami, kamu merasa memiliki hak yang sama untuk diperhatikan olehnya.

'Sesulit itukah membuat secangkir teh hangat setiap sore? Memang dengan senyum begitu bisa menghilangkan dahaga?' batinmu.

Belum lagi jika mengungkit persoalan lain; tentang teman-temanmu, tentang hobimu, tentang kebiasaanmu.

Semakin terlihat jelas di matamu bahwa dia tidak benar-benar memahamimu.

**********

Tadi malam, seperti biasa, kamu menuju kamar lebih awal, bersiap untuk tidur.

Dia masih mengurusi si bungsu. Membuatkan susu di dalam botol. Membacakan dongeng sebelum tidur. Dan, lagi-lagi, seperti biasa.... kamu terlelap lebih awal.

**********

Uhuk! Uhuk! Uhuk!

Jam 12 malam, dadamu nyeri, tenggorokan tercekat, mata masih buyar melihat seisi kamar yang remang, dia lari tergopoh-gopoh.

“Minum dulu, mas...”

Dia menegukkan air hangat ke mulutmu. Wajahnya jelas menyimpan kecemasan.

“Kamu gapapa, mas?”

“Iya, gapapa..”

“Ya sudah, tidur lagi, mas..”

Dia menarik selimut, membenarkan posisi tidurmu, menggenggam jemarimu, lalu kembali memejamkan mata.

Dan, di malam itu, ada perasaan yang tak biasa. Kamu tak bisa melanjutkan tidur. Sibuk menatap lekat dia yang ada di sisi, dengan daster yang penuh tambalan itu, dengan tangannya yang entah sejak kapan menjadi sekasar itu, dengan kulit wajahnya yang semakin mengkerut itu.

Ada memori yang kembali terputar di benakmu.

Tentang komitmen kalian berdua di awal jumpa untuk saling memahami. Untuk saling mengisi kekurangan satu sama lain. Untuk sama-sama siap menghadapi konflik-konflik kecil dalam rumah tangga. Untuk saling mengerti tentang prioritas keuangan, pendidikan anak, dan sebagainya.

Dan, lalu, kemudian, ada penyesalan yang menusuk-nusuk hatimu. Merenungi, entah berapa kali dirimu telah memprasangkai dia secara tak baik.

Perlahan, beberapa tetes air membasahi pipi kananmu, keluar dari kedua bola matamu.

**********

Dulu, kaupikir, ‘saling memahami’ akan membuatmu bahagia, dengan hadirnya seseorang yang memperhatikan, mengurusi, dan turut menanggung beban hidupmu. Sayangnya, tidak begitu cara kerjanya.

‘Saling memahami’ berarti menyimpan spirit dalam hatimu untuk siap memahami, bukan berharap agar dapat dipahami setiap kali, apalagi dibumbui serapah : “Kok kamu begitu sih?” “Harusnya kamu kayak gini!” “Kamu ngertiin aku, dong!”

‘Saling memahami’ semestinya menyimpan keinginan untuk bisa memudahkan. Ada kesiapan untuk terus berkorban. Ada keengganan untuk membeberkan kekhawatiran. Ada semangat dalam menanggung beban dan melengkapi kekurangan; semata agar terwujudnya visi bersama.

Begitulah rumus ‘saling memahami’ ini seharusnya bekerja.

Dengan kita saling memberi sebanyak-banyaknya, dengan tanpa saling menuntut sejadi-jadinya, mudah-mudahan, keberkahan dari tekad untuk saling meringankan itu, membahagiakan semuanya, memudahkan segalanya.

**********

Minggu pagi, di sudut ruang kamar, tanpa sepengetahuan dia, diam-diam kamu meminum beberapa butir obat.

“Ini gejala bronkitis.. tapi tidak kronis.. insyaAllah resep ini bisa bantu menyembuhkan..” Diagnosis seorang dokter kemarin sore kembali terngiang di kepalamu.

Kamu merebahkan badan di atas kasur. Menghela napas panjang. Tersenyum.

Ternyata begini. Ada yang harus diceritakan. Ada yang cukup dirahasiakan. Sama seperti dia.

Kita Hanya Pura-pura Saling MengertiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang