Felix benci kerja kelompok.
Apalagi kerja kelompok di sekolah hingga petang seperti ini.
Felix menghela nafas panjang. Tangan kecilnya merogoh saku celana biru muda OSIS yang ia kenakan, mengeluarkan ponsel dengan casing gambar pisang dari sana. Jemari lentiknya menekan satu tombol on-off di sisi layar, membuat benda pipih itu menyala seketika.
Lockscreen gambar kodok menyapa retinanya, namun satu kotak di pojok kiri atas layarlah yang berhasil renggut atensinya.
Pukul enam kurang dua puluh menit.
Sial.
Felix mendesah setelahnya. Bunda pasti marah, apalagi Felix belum mengajukan laporan pada beliau bahwa akan pulang telat hari ini.
Tubuh Felix serasa pegal-pegal dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki. Program full day school — dimana Felix diharuskan untuk pulang pukul empat sore tadi —dari Pemerintah sudah cukup untuk membuatnya ingin kembali ke TK saja, ditambah seabrek tugas yang seolah tidak pernah berhenti mengalir.
Felix menyesal dulu memilih SMA. Harusnya Felix minta dinikahkan saja dengan om-om kaya.
Binar kejinggaan nyaris mendekati merah darah yang tertuang pada kanvas cakrawala yang agung dan dipuja oleh pecinta keestetikan bahkan sudah lenyap dari kolong langit beberapa menit yang lalu.
Ketika Felix melongok dari jendela kelas setelah tugas kelompoknya selesai, awang-awang sudah sepenuhnya gelap. Bercak-bercak kekuningan berpendar di sana, gantikan senja yang sudah hanyut ditelan gulita. Ada satu benda terlihat paling mencolok di antara bintang yang berpencar dalam susunan acak.
Bulan sabit. Bukan bulan kesukaan Felix.
Felix buru-buru membereskan laptop dan buku-bukunya di atas meja, menjejalkan mereka ke totte bag hitam miliknya. Sebelah tangannya mengotak-atik ponsel, hendak memesan ojek online dari sana.
Bibirnya sibuk menggerutu, menyalahkan sinyal yang mendadak hilang di saat-saat seperti ini. Bunda pasti sudah menunggunya di rumah dengan makan malam dan kata-kata omelan di tenggorokan. Sebisa mungkin, Felix harus cepat sampai ke rumah. Ia berharap setidaknya dengan begitu kemarahan Bunda tidak terlalu meluap-luap.
Teman-teman sekelompoknya sudah pulang beberapa menit yang lalu. Felix menyempatkan diri untuk mengedit beberapa bagian pada folder presentasinya agar tidak perlu membuka laptop lagi di rumah. Namun ia malah keterusan hingga malam menjelang.
Felix memutuskan untuk beranjak dari bangku tempatnya bersemayam selama beberapa jam belakangan. Tas jinjing ia gantung di pundak, hape di tangan, ransel ia gendong. Felix menganyunkan tungkai keluar kelas dengan pandangan fokus ke pobsel, mengakali benda tipis itu agar cepat waras seperti biasanya.
Lorong sekolah sudah sepenuhnya kosong tanpa ada satupun insan saat itu. Felix melangkah tanpa minat ke arah gerbang sekolah. Cowok berambut blonde halus itu sesekali melayangkan keluhan dalam hati karena sinyal yang tak kunjung dideteksi.
Grep.
Felix tidak sempat berteriak saat tiba-tiba dua lengan kekar mendorong lembut bahunya hingga tabrak tembok koridor. Felix mengaduh pelan, totte bag di genggaman terlepas begitu saja ke lantai dingin. Cowok yang berambut blonde langsung mendongak, melihat siapa yang lancang menyentuhnya.
Bersamaan ketika kelereng mereka saling menumbuk, yang lebih tua kurung Felix dalam kungkungannya. Kedua tangan dengan urat samar di permukaan kulit itu membentang di sisi kanan dan kiri Felix, batasi pergerakan si blonde. Mata coklat tua itu tatap teduh Felix.
Dalam jarak sedekat ini, ketimpangan bentuk tubuh di antara keduanya kian jelas.
Chan seolah mau menunjukkan pada seluruh dunia bahwa ia adalah dominan di antara seluruh dominan.
Felix lempar sorot datar, berusaha menunjukkan pada yang lebih tua bahwa ia sama sekali tidak terintimidasi. Ia lempar tatapan menantang. Ponsel dijejalkan ke saku celana. Hidungnya bahkan bisa dengan jelas membaui aroma kuat parfum musk di sekujur tubuh Chan.
"Apasih, Kak? Minggir."
"Fel." Suara Chan berat membelai rumah siput di telinga Felix. Nafasnya hangat tampar kulit wajah Felix. "Jujur sama Kakak."
"Gausah bicara yang enggak-enggak. Aku capek, Kak Chan." Felix mengeluh sembari menghela nafas. Terlihat terlalu santai untuk orang yang tengah dipepet primadona sekolah.
"Kamu..." Chan tatap tajam wajah manis adik kelasnya. Tubuh tingginya pertahankan jarak, tidak mau terlalu dekat dengan Felix karena hargai pujaannya.
"Aku apa?"
"Kasih jampe-jampe apa ke aku? Kenapa aku mimpiin kamu terus? Kenapa aku gabisa berhenti mikirin kamu? Kenapa aku jadi kaya remaja puber gini?"
Felix tatap horor kakak kelasnya. "Kakak ngomong apa?"
"Kamu pergi ke dukun mana? Kenapa ampuh banget?"
"Kakak kira aku apa?" Felix bertanya nyolot.
"Fel, kenapa... aku jadi kaya gini, sih? Ngaku, kamu melet aku, kan?"
"Berisik, berisik, berisik. Minggir, Kak. Aku mau pulang."
Felix memberontak, berusaha mendorong lengan Chan yang mengungkungnya posesif. Tidak berhasil. Tenaga Chan itu laksana tenaga badak. Chan masih tegap seolah tidak mendapat tekanan sama sekali. Netranya masih tatap Felix lekat.
"Ayo ngaku dulu. Kamu apain aku? Kenapa aku kebayang terus?"
"Omongan Kakak tuh ada yang typo. Aku ga kirim pelet, aku kirimnya santet! Minggir!"
"Ngaku dulu."
"Ih, Kak Chan rese, ah."
Tidak punya pilihan lagi, Felix melayangkan jurus terakhir. Lengan Chan diraih, didekatkan dengan celah bibir. Sekuat tenaga, Felix menggigit kulit mulus tanpa cacat itu. Membuat empunya menjerit histeris karena perih yang menjalar hingga ubun-ubun. Chan otomatis menarik lengannya, menggosoknya berusaha mengenyahkan ngilu di sana.
"Fel, yaampun!"
"Makanya kalau disuruh minggir ya minggir! Gausah sok-sokan niru drama Korea!"
Felix menyambar totte bag hitamnya sebelum melenggang pergi sembari menghentakkan kaki, sebal. Chan tatap punggungnya hingga menghilang di persimpangan koridor. Melongo seperti orang bodoh.
Pipinya memerah hingga telinga.
"Manis banget, sih."
chapter macam apa ini...
-nana, sibuk mengatai diri sendiri
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary [ChanLix]
Fanfiction\\ 방찬 ft. 이용복 \\ | "aku benci kakak! kenapa ga cepet-cepet lenyap aja, sih?!" "i love you tu, dek. Ehehehehehe~" | bxb. local!au ©linomegat 。2019