Semesta 2, Sequence 1

4 0 0
                                    


SEMESTA 2, SEQUENCE 1

Sejak semalam, gugup tak henti melanda. Hari ini adalah pagiku yang baru. Di mana akhirnya aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Gugup itu membuat waktu seakan berjalan sangat singkat. Atau mungkin aku yang terlambat menyapa matahari pagi.

"Duh, sudah hampir jam enam, sampai tidak ya ke sekolah," tanyaku dalam gusar pada diriku sendiri, sembari menyelesaikan sarapan roti dan segelas susu hangat.

Segera aku melangkah ke arah luar, bahkan tak sempat aku mencuci piring dan gelas yang kutinggalkan begitu saja di atas meja makan. Aku tak menyangka pagi pertamaku begitu kacau. Padahal ini hari pertama aku mengajar. Sebuah impian di mana mengajar di sekolah ini bisa terwujud tanpa harus mengandalkan koneksi orang dalam.

Ya, aku adalah seorang guru yang mengajar pelajaran Matematika di Sekolah Menegah Pertama. Meski aku seorang Sarjana dari universitas bergengsi di Negeri Paman Sam, aku tidak ingin hanya mengandalkan kemampuan orang tua. Ayahku memang pejabat, dan ibuku adalah pengusaha yang cukup berpengaruh di kota ini, namun ak memilih mandir.

Matahari sudah cukup terik, menandakan jalanan pasti mulai tak bersahabat. Benar saja, kemacetan lalu lintas sudah terjadi. Dengan sabar aku menunggu, tanpa lelah mengoperasikan mobil yang notabene mobil dengan transmisi manual. Pasti melelahkan, tetapi aku menahannya karena ada semangat yang lebih besar menunggu di depan sana.

"Duh! 30 menit lagi. Sampai nggak ya? Mana masih jauh lagi," gumamku.

Aku melihat keadaan sekitar, hingga pandanganku terhenti pada satu titik. Pada seorang lelaki paruh baya yang sedang membongkar isi tasnya. Ada banyak baju-baju dengan pilihan warna yang cukup cantik.

"Bapak itu jualan atau habis borong ya?" aku bertanya dalam hati.

Penunjuk waktu di lampu lalu lintas menunjukkan bahwa aku masih punya cukup waktu untuk mengistirahatkan kaki dan tanganku. Sambil terus aku lihat Bapak paruh baya itu menata kembali baju-bajunya. Lalu melihatnya memandang selembar kertas dan tersenyum. Sampai suara klakson dari belakang menyadarkanku kalau lampu lalu lintas sudah menunjukkan warna hijau.

Baru aku mulai menjalankan mobil, Bapak tadi melambaikan tangannya. Sepertinya sambil berkata sesuatu. Tetapi aku tak pandai membaca bibir meski raut wajahnya menunjukkan ketakutan. Kulanjutkan saja karena suara klakson dari belakang sudah membuatku ingin marah. Namun aku tak sadar jika tiba-tiba Bapak itu sudah di depan mobilku. Seakan berteriak memberi isyarat seperti meminta mundur dan meneriakan sesuatu.

Aku segera bergegas keluar dari mobil untuk menanyakan apa maksud Bapak itu. Baru satu kakiku menginjak aspal, aku mendengar suara klakson begitu memekik telinga. Kemudian Bapak itu terlempar jauh tersambar sesuatu yang begitu cepat. Mobilku pun tersambar sedikit hingga akupun terjatuh ke luar mobil karena dorongan yang cukup kencang. Ya, ternyata Bapak itu berusaha menghentikanku.. Ada truk melaju kencang tak terkendali dari arah samping. Bapak itu berusaha menyelamatkanku.

Aku lihat truk itu berakhir dengan menabrak pohon. Kemudian fokusku mencari Bapak yang sudah berusaha menyelamatkanku. Dari kejauhan kulihat tubuhnya masih bergerak. Mulutnya menggumamkan sesuatu. Orang-orang yang berkerumun juga menyerukan kalau dia masih hidup.

Dengan perasaan yang campur aduk dan tubuhku yang lemas aku berusaha bangkit dan melangkah ke arah Bapak itu. Tiba-tiba ada suara laki-laki dari arah pungungku.

"Mbak! Mbak nggak apa-apa?" tanyanya sembari memegangi pundakku.

"Aku nggak apa-apa, tolong Bapak itu!" jawabku dengan suara lemah.

Laki-laki itu berlari menolong Bapak itu. Sembari meminta ruang untuk memeriksa Bapak itu.

"Saya dokter. Tolong beri ruang!" teriaknya.

Aku melihatnya memeriksa tubuh Bapak itu.

"Ini bisa selamat tapi harus dibawa ke rumah sakit segera," ujar dokter yang kelihatannya masih muda itu.

"Saya bawa mobil, tolong bantu saya angkat Bapak ini ke mobil saya," ucap dokter itu..

Orang-orang yang berkerumun dan polisi yang sudah datang segera membantu. Saat itu aku merasa berkunang-kunang. Ditambah suara sirine mobil polisi, berisiknya kerumunan, dan denging yang tak kunjung hilang. Namun tiba-tiba keadaan menjadi hening seketika, aku kebingungan dan dokter itu menghampiri, entah kenapa yang terbayang tiba-tiba seperti pemain drama korea yang mendatangiku. Mungkin aku mulai berhalusinasi.

"Nama Mbak siapa?" tanya dokter itu.

"Ayu."jawabku.

Itu yang terakhir ku ingat, setelah itu ternyata aku tak sadar dan ikut dilarikan ke rumah sakit. Yang terasa hanya ada dua tangan seperti menangkap tubuhku yang jatuh dari langit. Dalam alam bawah sadarku, aku seperti ditolong malaikat dalam dekap sayapnya di tengah-tengah awan putih yang menari manja..

Semesta CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang