Semesta 1, Sequence 1

18 1 0
                                    

Suasana sarapan pagi kala itu tidak terasa berbeda. Seperti biasa aku sarapan dengan lauk telur dadar buatan Ayah, lengkap dengan irisan bawang merah dan daun bawang di dalamnya. Rasa gurih paduan dari garam kasar dan penyedap rasa juga masih terasa jelas di lidahku. Telur dadar mewah itu pun aku bagi dua, separuh untuk aku, dan separuh lagi untuk Ayah.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 6, tetapi nasi belum juga matang. Itulah yang tidak biasa. Tidak seperti biasanya Ayah terlihat bingung, bangun kesiangan, dan mengacaukan suasana pagi hingga menjadi tak biasa ini . Tidak biasanya pula jam segini kami belum berangkat menuju ke arah masing-masing.

"Bentar ya Nduk, nasinya lagi Ayah kipasin biar nggak terlalu panas," suara Ayah dari dapur.

"Iya Ayah," jawabku.

"Ayah, sepertinya Nila sarapannya di sekolah saja, sudah jam setengah tujuh, nanti Nila terlambat. Nila bantu siapin ya," tambahku setelah melihat lagi jarum panjang di jam dinding.

Aku berjalan ke dapur dan mulai mengambil kotak bekal warna merah favoritku. Juga yang warna hijau untuk Ayah. Setelah bekal siap, aku dan Ayah segera bersiap untuk berangkat.

Oh iya, namaku Nilasari Kusumadewi. Sama persis dengan nama almarhum Ibuku. Ibuku meninggal saat melahirkanku. Itulah kenapa Ayah memberikan nama yang sama dengan Ibuku. Saat ini, aku duduk di kelas 3 SMP. Bukan lagi anak kecil, namun tak cukup dewasa untuk bekerja. Salah satu keinginanku memang membantu perekonomian keluarga.

Ayahku sendiri memiliki nama yang sama dengan presiden pertama Indonesia, Sukarno. Dia seorang penjual pakaian keliling. Semua pakaian yang ia jual dari jahitannya sendiri. Tak jarang pula tetangga meminta dijahitkan pakaian oleh Ayah. Dengan usaha Ayah itulah aku bisa sekolah, dan kami bisa hidup sampai sekarang meski dalam kesederhanaan.

Ayah memang selalu mengantarkanku ke sekolah. Walau aku sering meminta untuk berngkat sendiri saja, tetapi Ayah selalu menolak dan memaksa untuk mengantarkanku. Aku tidak tega menolak karena alasannya yang tidak mau hal buruk terjadi padaku. Ayah tidak mau kehilangan lagi orang yang sangat ia cintai.

"Ayah, Nila masuk dulu ya, Ayah hati-hati di jalan. Nanti Nila ada try out soal ujian, jadi pulangnya sore jam 4." Sembari aku mencium tangannya.

"Nanti Ayah jemput ya, jangan pergi kalau Ayah belum datang," jawab Ayah.

"Iya Ayah," jawabku.

Kemudian aku berbalik dan segera masuk ke kelas. Tetapi entah kenapa setiap melangkah, hatiku juga terasa semakin berat. Aku berhenti dan kemudian berbalik. Melihat Ayah yang masih berdiri di tempat yang sama, tersenyum dan melambaikan tangannya. Entah kenapa aku melangkahkan kakiku dengan cepat untuk kembali dan segera memeluk Ayah dengan erat.

"Nila sayang Ayah, jangan tinggalin Nila ya?" ucapku dengan hati yang terasa bergetar.

"Iya, Ayah juga, Nila harus belajar yang rajin, banggain Ayah sama almarhum Ibu. Sama semua temen-temen juga harus baik," ucap Ayah.

Hatiku semakin bergetar, air mata pun tak tertahankan, sungguh pagi ini bukan pagi seperti biasanya.

Semesta CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang