Semesta 3, Sequence 1

3 0 0
                                    

Suasana jadi semakin panas, ketika kemacetan yang tadinya sudah mulai terurai malah semakin menjadi. Apa mau dikata, ada kecelakaan terjadi. Setidaknya itu yang terdengar dari suara-suara di sekitar.

"Yah, makin siang deh sampainya," keluhku.

"Dari tadi Bos ngeluh terus, nggak ada kerjaan apa, tidur kek," jawab lelaki yang ada dibagian kemudi dengan nada bercanda.

"Kurang ajar ya sama Bos-nya!" Jawabku sambal tertawa.

Lelaki yang ada dibagian kemudi itu sudah sejak tadi melepas pakaian atasannya. Hanya memakai singlet ketat yang menunjukkan lekuk tubuhnya yang berotot. Sudah sejak mengemas barang-barang yang akan dipindahkan sampai sekarang. Tentunya dia tidak begitu merasa panas karena keringatnya mungkin langsung menguap.

"Kamu dari tadi nggak pake baju mana kerasa panas! Ini juga, pake acara AC begini. Besok aku cek deh bagian perawatan, gimana ini bisa kaya gini,"tambahku.

"Kan tadi sudah saya bilang, jangan ikut truk ini, naik mobil sendiri kan malah nyaman Bos," jawabnya.

"Iya, lagi males aja, jam segini kan macet parah."

"Lha itu, tahu kalau bakal macet ya jangan ngeluh Bos."

"Tapi ini panas banget memang."

"Buka aja bajunya Bos. Dari pada mati kering tar keringetan mulu."

Langsung saja aku buka kancing demi kancing bajuku. Menanggalkan gengsi dan mencoba menyelamatkan diri. Tetapi entah kenapa momentum ini menjadi begitu aneh. Aku melihat tetes-tetes keringat yang memendarkan cahaya silau, mengalir dari lehernya. Terus menuruni dadanya yang berotot. Sebagian mengaliri lengannya yang tak kalah berotot. Wanita mana yang tak lemas melihatnya. Setidaknya dia memang pantas mendapat predikat playboy yang ia bangga-banggakan selama ini.

"Kenapa Bos? Naksir?" Tanyanya memecahkan lamunanku.

"Anjrit!" Jawabku sembari memalingkan pandangan dan kembali mengelap keringat yang menetes di leherku dengan bajuku tadi.

"Hahaha... nggak apa-apa kalik. Aku juga bisa sama cowok," ucapnya.

"Anjrit! Kamu ya!" hentakku sembari meninju keras lengannya. "Widih, kenceng juga ya otot kamu. Masih rajin nge-gym­?"

"Masih sih Bos, tapi gak rajin, paling ya manfaatin alat yang ada di rumah. Toh juga pasti tiap hari ada aja yang diangkat"

Tiba tiba suara klakson mobil dengan nada bukan seperti peringatan muncul dari samping kanan.

"Apaan sih Dam? Jail banget itu mobil. Ganggu orang mau tidur aja." Sembari mencari posisi yang nyaman untuk tidur di kursi mobil.

Kulihat tingkahnya aneh. Seperti sedang berbicara menggunakan Bahasa isyarat. Namun entah apa. Aku yang terlalu mengantuk mencoba tak memedulikannya. Kemudian ia membuka pintu dan seperti mengambil sesuatu. Aku pikir dia membeli makanan dari pedagang asongan. Sampai akhirnya ia kembali ke posisi dan membaca secarik kertas seperti kartu nama. Segera ia memasukkannya ke dalam atas yang ada di belakang kemudinya. Sambil melihatku seakan mengawasi agar aku tak melihatnya. Ak memang memejamkan mata namun aku melihatnya.

"Apaan tuh Dam?"

"Ah, nggak apa-apa kok Bos."

"Eh, Dam, kamu tahu kalau Mbak Raline mau pulang dari Perancis? Katanya sekolahnya sudah selesai," aku yang bertanya justru aku yang mengalihkan pembicaraan.

"Entahlah, pulang nggak pulang juga kalau Mbak Raline nggak mau mengurus perusahaan keluarga ini juga percuma," jawabnya.

"Iya, udah sekolah jauh-jauh akhirnya ngurus peternakan juga. Apa mbak Raline mau ya?" gumamku.

"Udahlah Bos, nggak usah dipikir,"ujarnya. "Bos sendiri kenapa mau?"

"Lha kamu sendiri? Badan berotot gitu malah jadi driver gak jadi instruktur fitnes aja?" balasku.

Suara tawa pun memecahkan suasana pagi menjelang siang kala itu. Aku masih terdiam dalam lamunanku akan nasib keluarga ini kedepannya. Padahal nasibku sendiri juga harus diperhatikan. Entah kenapa pikiranku melayang seperti merindukan suasana hangat sebuah keluarga. Aku pun terhanyut merasakan getar-getar yang tak terdefinisi dalam hatiku.

Semesta CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang