Hatiku sudah gundah sejak pagi. Tetapi aku tak tahu mana dan apa yang mengganggu perasaanku ini. Aku mencoba berdoa dan berharap tidak ada suatu apapun yang buruk terjadi.
"Anak-anak, hari ini Bu Ayu, guru baru yang seharusnya mengajar bahasa Inggris hari ini tidak bisa datang karena kecelakaan. Jadi, saya yang akan menggantikannya." Bu Ani tiba-tiba masuk kelas. Sontak anak-anak ribut kembali ke kursi masing-masing. Langsung dibalas dengan ketua kelas yang menyiapkan serta memimpin doa.
Sekolah sudah berakhir sejak dua jam yang lalu, aku masih menunggu Ayah menjemput sebagaimana janjinya tadi pagi. Aku mencoba menghubungi Ayah, tetapi tak juga tersambung. Rasa khawatirku pun semakin pekat. Seakan mendung bergemuruh di dalam hatiku.
"Hei, Nila! Kok belum pulang?" suara seperti lelaki yang kukenal memecahkan lamunanku.
"Eh, Jevan. Iya, aku nunggu Ayah jemput, tetapi belum datang. Aku coba hubungi, tetapi handphonenya tidak aktif. Aku jadi khawatir." ceritaku padanya, sembari bergeser seakan memberi duduk padanya.
Diapun benar duduk disampingku. Aku sampai tak sadar, ada Jevan, atlet taekwondo sekolah kami yang dipuja siswi seantero sekolah.
"Mungkin baterainya habis. Mau aku temanin?" tanyanya sembari duduk di sampingku.
"Oh, boleh. Kalau kamu tak keberatan," jawabku.
"Santai, aku juga baru kelar ekstra, masih keringetan. By the way, kok kamu masih harus dijemput orang tua kamu?" tanyanya.
"Ya, begitulah. Ayahku sudah pernah kehilangan Ibuku. Jadi dia tak mau kehilangan anaknya," jawabku.
"Lelaki mana yang mau kehilangan bidadari," gumamnya.
"Kamu bilang apa?" tanyaku.
"Ah, nggak." jawabnya.
"Kamu sendiri kenapa belum pulang?"
"Kan tadi aku dah bilang, habis latihan tadi. Minggu depan kan ada pertandingan." jawabnya.
"Oh iya, maaf gak fokus. Wah, keren. Semoga sukses ya!" ujarku.
"Kamu sendiri katanya mau ikut olimpiade matematika, jadi?" tanyanya.
"Entahlah, Bu Rosi belum memastikannya. Mungkin akan ada seleksi dulu." jawabku.
Tak terasa cukup lama kami berbincang. Dari masalah sekolah, sampai masalah rumah. Aku baru tahu kalau dia anak terakhjr dari tiga bersaudara. Kakak-kakaknya perempuan, yang pertama sudah menikah dan yang kedua masih kuliah. Aku juga baru tahu kalau ternyata dia satu tahun lebih tua di atasku. Walau kami satu angkatan. Itu karena dia sempat sakit cukup lama sebelum masuk sekolah dasar. Sehingga ia terlambat satu tahun. Aku juga baru tahu kalau ternyata dia memutuskan tidak menghiraukan ratusan cewek yang mengaguminya karena memang prinsipnya untuk tidak pacaran paling tidak hingga SMA, atau kuliah nanti. Seakan pupus harapanku karena aku satu dari ratusan cewek itu, tetapi aku makin bangga padanya.
"Eh, mau aku anterin aja apa? Dah hamper sore," tanyanya.
"Sebentar, ada telepon. Halo?"
"Dengan Ananda Nila?" tanya suara diujung telepon.
"Iya, betul. Bagaimana?" jawabku.
"Kami dari Rumah Sakit Medika Pratama, mohon maaf sebelumnya, agar Dek Nila tetap tenang terlebih dahulu, begini, kami hanya ingin menginformasikan bahwa Ayah Anda mengalami kecelakaan. Anda dimohon dapat segera ke sini. Terima kasih." suara diujung telepon yang kemudian menutup telepon.
"........" aku terdiam, tertunduk, kemudian menangis sejadi-jadinya.
"Kenapa Nila?"
"Ayahku masuk rumah sakit, Jev"
"Astaga, ayo aku antar sekalian."
"Terima kasih, Jev"
Tangannya dengan hangat merangkulku. Merangkul tubuhku yang bergetar hebat. Mencoba menenangkan hatiku yang seakan terbukti bahwa kegundahanku sejak pagi tadi terjawab sudah. Sungguh hari ini memang bukan hari yang kuharapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Cinta
RomansaCerita ini dihadirkan dalam sequence-sequence yang akan mengajak kita berimajinasi dengan lebih luas dan tak terbatas. Menghadirkan kisah dimana cinta punya dunianya masing-masing. Lain insan, lain kehidupan, lain semesta. Namun tidak menutup kemung...