Jakarta, 24 November 2017
Drrtttttt
Handphone di depanku berbunyi, seorang wanita di hadapanku mengambil gadget miliknya. Lalu menjauh untuk mengangkat telepon dari seseorang yang sempat ku intip tadi.
"Bentar ya"
Kakak yang posesif.
Hal itu yang selalu terbenam di pikiranku. Meski sebenarnya aku iri pada salsa, sahabatku. Dia mempunyai kakak terbaik di dunia yang sangat berbanding jauh dengan kakakku.
Aku masih melanjutkan pekerjaanku yaitu makan semangkuk baso dan es teh favoritku. Jam segini kantin memang ramai, banyak siswa dan siswi berburu makan siang.
Tubuhku bergetar hebat melihat seorang lelaki sedang menatapku dari meja pojok kanan kantin.
Tatapannya datar tapi aku tak menyukai orang itu.
Kafka.
Dia gebetan salsa. Orang yang salsa perjuangkan sejak pertama kali masuk ke SMA TunasBangsa. Aku dan salsa tak sengaja berkenalan karena kami sekelas waktu itu, akhirnya kami duduk sebangku dan bersahabat hingga sekarang kami akan memasuki semester 6. Semester akhir di sekolah ini.
Dann..
Bisa di bayangkan bukan bagaimana rasanya menjadi saksi kerja keras sahabatmu untuk mendapatkan pujaan hatinya selama dua tahun lebih.Tanpa balasan,
Tanpa respon,
Tanpa perlakuan yang baik.
Dan kalian terlibat dalam pengembaraan itu.
Mengejar sesuatu yang tidak pernah bisa kamu sentuh.
Memperjuangkan seseorang yang justru mengacuhkanmu.
Hanya akan membuatmu merasa tidak benar-benar hidup.
Hebat untuk bertahan sejauh ini, aku mengacungi jempol untuk sahabatku itu.
Tapi bagaimanapun, aku tahu apa yang salsa sembunyikan hingga saat ini.
"Rei, ko gue hari ini belum liat kafka ya? "
Salsa kembali duduk di hadapanku. Sekilas aku melihat ke arah kafka duduk tadi, tapi dia sudah tidak disana.
" Gue juga belum liat" Kataku berbohong.
"Pulang sekolah biasa ya, lanjutin misi lagi" Rengek salsa.
"Kapan sih sal gue gak banttuin lo"
"Gue gak pernah nyerah, sama kaya lo yang gak pernah nyerah buat berjuang sal"
"Makasih ya rei, lo sahabat terbaik gue"
Salsa memegang tanganku. Lalu
Aku mengelus tangannya."Lo juga, makasih ya selalu ada buat gue"
"Udah ah, makan lagi. Nanti malah jadi melow" Salsa tersenyum meringis.
*****
Masa penyiksaan telah habis, akhirnya pelajaran matematika yang paling gue benci menutup pembelajaran hari ini.
Aku masih sibuk memasukkan bukuku kedalam tas.
Begitupun dengan salsa.
"Rei, sal gue duluan ya. Biasaa.. "
Maya pamit padaku dan salsa. Aku tersenyum sumringah pada maya, diantara kami bertiga hanya dia yang punya pacar.
" Titip pesen ya sama pacar lo, gue juga mau dong jadiin dia Ojol pribadi gue" Ledek salsa.
"Enak aja lo, selama dia masih punya pinjaman cinta di hati gue. Dia milik gue"
"Bucin lo"
Aku tertawa melihat tingkah kedua sahabatku itu.
"Udahh ah, byee"
Maya pergi meninggalkanku dan salsa berdua di kelas.
"Yuk, Lanjutkann"
Salsa berdiri dari kursinya.
"Lanjuttttttttt" Teriakku.
Kami berjalan menuju lorong sekolah, ini adalah salah satu tempat kami menuntaskan misi yang belum juga usai.
Aku merasakan kegundahan salsa saat ini.
"Sal lo yakin dia bakal lewat sini? "
" Gue yakin rei, kita coba aja ya"
Aku mencoba tersenyum untuk menguatkan salsa.
Bahuku seketika terasa berat, aku melirik ke arah salsa yang saat ini menyandarkan kepalanya di bahuku.
Detak jantung salsa berdegub begitu hebat, aku bisa merasakannya.
Meski aku tak merasakan apa yang salsa rasakan. Aku tahu salsa begitu tertekan memendam perasaannya ini.
Awalnya ku kira setahun saja cukup untuk memeluhkan hati seorang kafka, tapi ternyata tidak.
Kafka masih sendiri hingga saat ini, dan mungkin itu juga yang membuat salsa belum ingin berhenti mencintai kafka.
Lelah,
Itu pasti. Begitupun aku yang menjadi perantara salsa selama ini. Tapi aku tak ingin berhenti begitu saja, apalagi membuat salsa kecewa.Pandanganku tertuju pada dua orang lelaki yang berjalan ke arah kami.
Kafka dan dimas.
Salsa mulai panik, Dia segera memberikan secarik kertas padaku secara paksa ke tanganku lalu pergi begitu saja meninggalkanku.
"Ini nih kasihin ke kafka, gue nunggu di gerbang ya. Bye, good luck sayangku"
Salsa mencium pipiku.
Oh my Goodnes, Aku paling malas jika harus menghadapi kafka sendirian.
Setidaknya jika bersama salsa aku tidak akan terlalu emosi menghadapi bad boy itu.
Kafka dan temannya semakin mendekat, aku bingung harus berbuat apa.
Harus kau tahu,
Kafka itu seperti bumi, diinjak tapi tidak pernah bersuara.Aku berpura-pura mengambil beberapa buku dari dalam tasku dan dengan sengaja aku menjatuhkannya.
Semoga saja dia memiliki sedikit hati nurani untuk aku yang sudah tidak berdaya ini.
Aku menurunkan tubuhku untuk mengambil buku buku milikku.
Dugg,..
Kafka menendang buku yang baru saja akan aku ambil.
Seetttt dahh,,
Dia berlalu begitu saja bersama dimas.
Aku mengambil sebuah buku, dan melemparnya ke arah kafka. Alhasil mengenai punggungnya.
"Hehh, lo tuh punya mata gak sih? Gak sopan banget"
Kafka dan dimas membalikkan badannya, melihat ke arahku.
"Kenapa? susah banget ya buat ngehargain orang"
Kafka berjalan mendekat ke arahku tatapannya begitu tajam.
Aku merasa jantungku berdetak tak karuan. Tapi aku menepis rasa takutku saat ini.
Secara paksa kafka mengambil surat yang sejak tadi aku pegang.
"Ini?" Kafka mengacungkan surat itu tepat di depan wajahku.
"Lo nyadar gak sih kalau lo itu di perbudak?"
"Dan dengan bodohnya lo mau ngelakuin itu semua? "
" Lo gak punya Harga diri? "
" Apa harga diri lo serendah buku buku yang sengaja lo jatuhin? "
Mataku membelalak mendengar ucapan kafka.
" Budak? "
KAMU SEDANG MEMBACA
BEST PART
RomanceApa yang akan kau lakukan saat bagian terbaik dari dirimu hilang? Melupakan bagian itu? Atau Menggantinya dengan bagian baru? Itu benar bisa juga tidak. Sebab Kau takkan utuh, Hanya terisi kembali, Tapi tidak benar-benar penuh. -Reina- Jatuh cin...