CHAPTER EMPAT

255 28 13
                                    

Sama halnya dengan siswa lain yang akan pergi ke kantin begitu waktu istirahat tiba, Larisa dan kedua sahabatnya pun demikian. Mereka sedang berada di kantin sekarang. Menempati meja yang memang sudah menjadi tempat favorit mereka.

Tidak ada keheningan di dalam kantin. Suara bergemuruh dari para siswa yang sibuk mengobrol sembari menyantap makanan mereka seolah menjadi musik pengiring yang akan terdengar begitu masuk ke area kantin ini.

Hal serupa terjadi pula pada meja yang ditempati Larisa. Kedua sahabatnya tak hentinya berselisih layaknya tikus dan kucing. Meributkan sesuatu hal yang sepele bahkan makanan pun bisa jadi sumber pertengkaran mereka.

Jika kedua sahabatnya sedang bertengkar sekarang, berbeda dengan Larisa yang hanya diam membisu sejak dirinya masuk ke kantin. Sepiring mie ayam yang dipesannya masih utuh, belum tersentuh sedikit pun. Dia duduk dengan dagu yang bersandar pada satu tangannya, tatapannya menerawang kosong. Dilihat dari sudut mana pun gadis itu kentara sedang melamunkan sesuatu.

" Lo punya makanan sendiri Pretty. Ngapain lo ngambil makanan punya gue? Dasar cowok jadi-jadian." Umpat Gina, kesal bukan main karena bakso miliknya yang sengaja dia pisahkan untuk dimakan terakhir nanti justru dengan kurang ajarnya diambil Pretty, tanpa izin dan tanpa permisi. Tanpa merasa bersalah juga, cowok melambai itu memasukan bakso milik Gina ke dalam mulutnya.

" Pelit amat sama temen sendiri. Nih ambil pempek punya ane kalau you mau Gin-gin." Balas Pretty.

" Ogah, gue gak doyan pempek, apalagi punya lo."

Pretty nyengir, tak menyesal sedikit pun sudah mencuri bakso milik sahabatnya. Pandangannya beralih pada mie ayam milik Larisa. Hal serupa dilakukan pemuda itu, dia mengambil begitu saja pangsit kering yang ada di mangkuk mie ayam milik Larisa, memasukan pangsit itu ke dalam mulutnya tanpa permisi.

" Issshh ... gila ya lo, Pret. Udah bakso gue sekarang pangsit punya Icha, lo embat juga."

" Kok jadi you yang sewot sih Gin, orang si Icha aja biasa aja tuh." Kata Pretty seraya menunjuk ke arah Larisa dengan jari-jari lentiknya.

Gina menoleh ke arah Larisa, mengamati wajah tak bersemangat Larisa sebelum dia menggelengkan kepalanya frustasi.

" Woi, melamun aja deh kerjaannya." Ucap Gina kencang, dia menepuk tangan Larisa cukup kencang dengan kipas lipat yang selalu dia bawa kemana-mana, terutama saat ke kantin yang memang cukup panas karena tak ada AC disana.

" Apaan sih Gin, ngagetin aja."

Larisa memberengut, merasa terganggu karena lamunannya buyar gara-gara ulah sahabat absurd-nya.

" Lagian ngelamun terus sih. Hati-hati lo jangan banyak melamun, gak tahu apa di kantin ini banyak hantu penunggunya."

Larisa memutar bola matanya malas, lagi-lagi sahabatnya yang sok cenayang itu mulai berpidato tentang dunia gaib. Larisa benar-benar lelah mendengarnya. Terutama sekarang, dia benar-benar tidak ingin mendengar lelucon receh sahabatnya itu.

" You ngelamunin apa sih? Cerita dong sama kita-kita." Pretty ikut menimpali, tangannya kembali mencomot pangsit kering milik Larisa. Lantas meringis ketika kipas lipat milik Gina meluncur mulus di punggung tangannya.

" Dasar pencuri gak tahu diri." Umpat Gina pada Pretty yang sedang mengusap-usap punggung tangannya.

" Bilang aja sirik. Sirik tanda tak mampu."

" Haah? Ngapain sirik. Isshhh ... gue bukan pencuri kayak lo ya." sahut Gina dengan memaksimalkan volume suaranya.

" Eh itu mulut apa toa, tolong dijaga ya. Ini kantin bukan lapangan yang harus pake toa kalau mau suara you kedengeran." Balas Pretty, tak mau kalah. Dan untuk kesekian kalinya Larisa hanya bisa memutar bola matanya bosan melihat perdebatan dua sahabat anehnya.

LARISA WISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang