Ayah dan Ibu 1

40 12 18
                                    

Saat itu matari ada di ujung bukit timur. Dunia mulai berkata, beraktivitas, berdiskusi. Orang orang juga mulai berkeliaran memangkul pekerjaan masing masing. Yang di sawah dengan ladangnya, yang di pasar dengan pembelinya, yang di sekolah dengan pelajaranya.

Orang yang aku panggil ayah, adalah orang hebat, orang yang tekun, kasih sayang dan cinta yang begitu luar biasa pada anak dan istrinya. Begitupun istrinya, ibu, adalah orang yang amat dikasihi dan dicintai oleh ayah.

Pernah di suatu malam, ayah mengumpulkan kami. Ayah, ibu, dan aku. Dalam ruang makan sekaligus ruang keluarga dan kamar tidur kami.

Sederhana saja, hanya acara makan malam, "memperingati hari jadi ayah dan ibu" kata ayah. Ibu yang memasak. Ada tahu, tempe, sambal, dan nasi hangat. Menu spesial bagi kami. Kami menyantap dengan tekun hidangan tersebut. Sesekali mulut kami menganga kepedasan. Sambal ala ibu adalah yang terbaik menurut ku.

Piring piring itu telah sepi dari penghuninya, ditelan habis sudah isinya, kedalam perut pertu kami yang telah menanti akan kedatanganya. Setelah semua hidangan habis. Ayah melanjutkan acara dengan menyanyikan lagu kesukaan ibu, diiringi petikan gitar ayah.

Aku melihat begitu harmonis hubungan mereka dikala itu. Ibu tersenyum pada ayah, menyandarkan kepalanya pada pundak ayah. Ayah memasang wajah ceria sesekali konyol menatap ibu, sesekali aku pun ditatapnya.

Cinta mereka luar biasa, seorang anak petani yang menyemaikan cintanya pada anak yatim piatu. Ibu adalah si anak petani, dan ayah, yatim piatu.

"Sepanjang jalan kenangan kau peluk diriku mesra..
Hujan yang rintik tintik
Di awal bulan itu..
Menambah nikmatnya..
Malam syahdu..." penggalan lirik ayah pada ibu.

Lagu mendarat dengan luar biasa. Diiringi petikan yang luar biasa pula. Seakan musik yang berjiwa lembut, memiliki banyak tangan, yang membelai lembut rambut ibu dan rambutku.

Mereka telah bernyanyi di atas panggung ini. "Aku sangat rindu dahulu suami ku." ibu berkata mesra pada ayah. Memeluk pinggul ayah, menyandarkan kepala pada pundak ayah.
"Demikianlah sayang, anak kita, rumah ini adalah semuanya. Dan untuk Sinung, anak ayah yang paling cantik. Ayah bangga pada sinung." ayah berucap lembut, lalu mengecup hangat dahiku.
"Sinung,," ayah menyebut namaku
"Iya ayah?"
"Ayah mau cerita sama sinung, cerita anak yatim dan anak petani" lalu ayah tertawa lembut.
Ibu menatapku enggan, aku ditaruhnya di ujung kanan mata. Kepala nya menghadap ke kiri. Ibu slalu demikian.
"Boleh ayah"
........ Bersambung .........

GadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang