Ayah dan Ibu 3

30 7 2
                                    


"Tejoooo... Jancokkk kon joooo... Lambemu jannjjiii tok..!!!" Lestari menangis sejadi jadinya. Tanganya memukul mukul perutnya yang buncit.

Pagi itu semua buruh datang. Berhamburan pasang mata menatatap pemandangan di teras rumah majikanya. Anak si majikan Lestari, teriak menyekik udara begitu kuat. Terkejutlah semua dengan yang terjadi. Karna teriak yang mencekik itu, bukan perut yang buncit. Toh, seluru penghuni kampung tahu kelakuan bejat Lestari.

Pernah di mana bulan sabit tiba saat piket malamnya. Lestari berbondong bondong dengan seorang pria, katanya si namanya Tejo. Datanglah mereka mengendap endap dalam gubuk tengah sawah milik bapaknya Lestari. Berdua saja dalam hias lampu oblek remang remang. Tak senonohlah yang mereka buat. Hingga usai, mereka keluar di tengah malam, saat si sabit jelas tampak dari padang pari itu. Tidak ada bintang, mungkin si sabit tak mau jika bintang yang kecil kecil itu ikut bersaksi atas ketak senonohnya perbuatan Lestari dan Tejo.

Janji janji manis ala calon wakil rakyat yang mengumbar keluar dari mulut Tejo kepada Lestari. Tepat setelah diketahuinya Lestari gendut di bagian perut saja.

"Aku akan meminang mu sayang,,"

"Hanya kau lah rembulan di langit langit kehidupan ku"

"Kalau tidak pada mu, pada siapa lagi aku bersandar, jika kaki ku tak kuat menopang raga yang mulai lemas lelah letih ini sayang?" ocehan ocehan indah bak burung kutilang keluar dari mulut monyong buaya itu. Dan dengan girasnya Lestari melenggat lenggot malu akan ucapan lelakinya itu.

"Kira kira kapan, abang mau mengawini ku?" tanya lembut pada sang lelaki.

"Mungkin minggu depan sayang" jawab Tejo, juga masih dengan lenggak lenggoknya, rayu rayu yang mencoreng harga diri lelaki.

Percaya percaya saja Lestari. Hingga hampir tiba waktunya, hatinya masih percaya. Dan saat esok adalah waktunya. Pertanyaan pertanyaan mulai bercokol dalam pikiran Lestari.

"Kapan Tejo akan kemari? Hari sudah hampir tiba". Di buat gundalah hati Lestari. Tak tahu kabar lelaki pujaan yang telah bersedekah sperma pada Lestari itu.

Dan tibalah waktunya. Hati Lestari benar benar jatuh, terbanting dan tak keruan bentuknya. Pecah menjadi buing buing rerontokan yang menyakitkan. Andai, andai dan andai yang memenuhi pikiran Lestari saat itu. Penyesalan telah menyelubungi hatinya, lantaran kedua tanganya yang mau terselubung di antara tangan laki laki itu. Mau memeluk hangat dalam remang lampu oblek dan kesaksian si sabit.

"Pak!!" Lestari berteriak dari kamarnya, memanggil bapaknya saat matahari menghilangkan seluruh bayang bayang benda.

"Apaaaa!!" teriak bapaknya dari halaman rumah.

"Aku kawin dengan siapa pakkk!! Tejo gak datang datang!!" suaranya makin melengking di ujung ucapanya. Udarah di siang hari pun ikut menoleh mendengar suara cengking itu.

"Keluar lah kau sini!!!" pintah sang bapak.

"Mau apa?!"

"Bapak mau bicara!"

Dengan lunglai lemas tak bersemangat Lestari keluar kamar dan menemui bapak nya.

"Sini kau duduk!"

Lestari pun duduk di samping sang bapak.

"Ada anak soleh, waktu perjalanan berangkat tadi dia bicara sama bapak. Katanya ia kasihan melihat kau!"

Mendengar ucapan yang baru saja di pangkal pembicaraan Lestari mulai hingar bingar, matanya berbintang bintang dengan biang lala yang banyak anak anak kecil pada berlarian.

"Jangan senang dulu kau!! Kau itu harusnya bersyukur, shalat, minta maaf sama Allah, hidup kau pake ngewe terus! Kau kira punya banyak anak enak?! Hah!" bentaklah sang bapak.

Menciut kembali raut si Lestari. "Maaf pak"

"Dia bilang mau ngawinin kau! Lalu bapak bilang 'udah tanpa maskawin aja, biar besok bapak dan Lestari pergi kerumah kau, rumah kau di mana?' di jawab 'di sana pak, panti asuhan as-Sobri' begitu Lestarii!" terang panjang lebar bapaknya.

"Yahh yatim pak!" eluh Lestari.

"Bersyukur riiii!!!" bapaknya bentak Lestari sekali lagi. Lalu keluar, menyalakan mobil bak dan pergi, menjemput buruh nya.

Sebenarnya hati Lestari kecewa, lantaran si soleh kata bapaknya adalah anak yatim. Kenapa sih kok harus yatim!!! Gelagat bincangan hati Lestari yang tak kenal syukur. Ia terus beresah resahan atas pikiran yang ia buat buat sendiri. Pertanyaan kenapa yatim selalu menghantuinya, hingga fajar pergi dan kembali lagi.

"Lestari!!" panggil sang bapak dari halaman rumah.

"Iya pakkk!" teriak cengking Lestari. Muncul dengan wajah penuh belepong bedak, lipstik merah menor, pipi yang juga ikut memerah.

"Aneh sekali dandanan kau?" tanya sang bapak.

"Biarin pak!" seloroh Lestari dengan melengos.

Pagi itu Lestari ikut mengantar buruh taninya bapaknya. Di ekori dengan tatapan tak enak dari seluruh buruh. Pandangan yang penuh akan cibiran cibiran di ujung bibir.

"Mau kawin sama siapa lagi itu si anak!"

"Ish,, sudah seperti adonan kue lebaran buatan istriku mukanya"

"Amit amit yallah,, jangan biarkan sifatnya menulari anaku"

Tak mau kalah, Suri pun ikut merentet di belakang cibiran cibiran yang mendahului. "Aih, hidup kawin melulu, jangan jangan Sugimin habis ini korbanya". Mulutnya bak toa masjid itu memancing pasang mata yang lain menatap dan pasang telinga yang lain membuka lebar. Mendengar tak percaya.

" Sugimin kan alim buk!" celoteh sepasang bibir dari salah satu si empunya pasang mata. Yang lain juga ikut memanggut.

"Kan majikan sudah mengalahi letak kedudukan RT". Lagi lagi seloroh Suri. "Buktinya Sugimin gak masuk kerja toh" lanjut Suri.

Yang lain hanya memanggut manggut seakan perkataan Suri adalah yang benar.

Sampailah mereka pada hamparan luas sawah. Ada satu gubuk di tengah sana, Lestari melihatnya, berkaca kaca, lalu menangis sejadi jadinya. Ia teringat pada buaya bermulut pejabat itu, yang Lestari kenal dengan nama Tejo. Sontak seluruh buruh terkejut. Bapaknya tak menghiraukan pekikan tangis Lestari. Memutar balikan mobil dan beranjak menuju rumah si anak soleh.

Sesampainya di sana. Bapak dan Lestari di jamu dengan santun oleh pengurus panti. Memanggilkan si soleh yang ada di dalam kamar.

Dengan pisang rebus, pohong rebus, dan teh hangat disajikan di meja. Satu dua di ambil, di makan oleh sang bapak. Lestari masih sama, matanya mimbik mimbik, air matanya masih terlihat terbendung oleh dinding mata, namun tak jatuh.

"Assalamualaikum pak". Salam ramah dari seorang pemuda, si soleh katanya. Melihat ke elokan dan ke gagahan si soleh, Lestari mendadak menjiwai pertemuan ini. Ia bergairah menyambut uluran tangan si soleh. Yang pada semestinya, si soleh mengulurkan tanganya pada sang bapak. Merasa bukan mukhrim si soleh menarik dan menyendekapkan tangan di dada, salam jauh pada yang tak mukhrim. Manyun lah bibir Lestari, menarik kaos sang bapak.

"Namanya siapa le?". Tanya sang bapak pada si soleh. Setelah si soleh menyalimi dan mencium tangan bapak.

" Sugimin pak." Jawabnya lembut. Bapak memanggut manggut. Dan iya, Sugiminlah si soleh itu. Anak yang rela mengawini seorang yang tak pernah ditemuinya, jadi jangan pernah tanya tentang rasa cinta yang merekah, bertemu bertatap muka saja belum, apalagi urusan cinta yang merekah.

"Niku pak, saya menikahi Lestari kalau anaknya sudah lahir saja pak." Jawab Sugimin lepas pertanyaan kapan Lestari akan menjadi pasangan sahnya.

"Lah memang kenapa kalau sekarang?" Tanya bapak terheran heran.

"Kalau dalam islam pak, menikah saat wanita sedang berbadan dua itu tidak sah. Menunggu yang di kandung terlahir ke bumi." Terang Sugimin. Mereka memanggut manggut. Baru kali ini, mereka mengetahui perkara itu. Yang dikrtahui sang bapak, ya tak sampai ke situ. Apalagi Lestari, hidupnya kan hanya untuk ngewe.

Pertemuan itu telah usai. Sugimin menyalimi sang bapak, menyendekapkan tangan untuk lestari. Bapak pamit, dan mengucap terimakasih pada Sugimin dan pengurus panti. Karena telah menyambutnya dengan santun dan ramah.

-bersambung-

GadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang