Pagi Itu

11 3 0
                                    

Kembali pada pagi itu.

Aku yang tak lagi berseragamkan sekolah harus memulai hari dengan menyapu halaman rumah. Melihat satu dua kawan sebaya, dengan tas ranselnya, celana abu abunya, senyum cerianya, namun tidak menuju pada ku. Hanya menyapu, yang kemudian ku letakan pada tong sampah di ujung halaman rumah dekat pagar.

Pekerjaan pagi telah usai, giliran setumpuk pakaian yang menanti tangan ku untuk mengusapnya. Yang lalu diberi sabun, yang kemudian dijemur hingga benar benar kering. Dan tiba saatnya di gosok dengan penggosok arang yang kami miliki.

Ibu tak pernah mau melirik semua ini. Ibu, hanya duduk di depan teras, mulai ayah beranjak, sampai ayah datang menyalimi tangan ibu. Lalu kami makan malam bersama. Ibu hanya selalu begitu, kalau bukan aku, maka semua ini cemburu, karena tak ada kasih sayang lembut yang mau membelai semuanya.

Pasar di tengah perkotaan adalah tujuan ku setelah setumpuk pakaian telah ku elus lembut. Membeli beberapa bahan masak, untuk sarapan ibu, makan siang ibu, juga makan malam kami.

Hari ini, aku membeli sekotak tempe, beberapa bawang putih, dan cabai, juga tomat. Ingin membuat sambal tempe yang menjadi masakan kesukaan ibu.

"Mas, tempe satu, bawang putih,tomat, sama cabai berapa yah?" tanya ku pada si mas salah satu penjual di pasar.

"5000 dek"

Ku sodorkan uang 5000.

"Dek.." panggilnya.

"Iya mas?"

"Nggak usah bayar deh.." ucap si mas penjual, lalu tersenyum pada ku.

"Makasih mas" balas senyum ku selebar mungkin.

"Eh.. Dek.." aku menoleh pada mas pedagang itu.

"Nanti malam bisa ketemukan, di taman kota?" aku terheran pada mas ini. Tanpa angin semilir, ia mengundang ku dalam pertemuan di tempat yang indah itu. Penuh akan pasangan berkantong tebal dan romantis.

"Ada apa ya mas?" tanya ku heran.

"Akan ada sesuatu yang ingin mas bicarakan"

"Saya usahakan mas" dan langsung aku kembali pada kontrakan kami.

Sampai pada dapur kami. Dan mulai memasak tempe itu, serta mengulek lombok, bawang putih dan tomat. Tidak lupa beras yang ada dalam kantong hitam itu kukeluarkan untuk ditanak di samping penggorengan tempe.

Hanya itu yang bisa keluarga kami beli. Pendapatan ayah yang tidak cukup untuk keperluan dapur dan sewa kontrakan kami. Sering sekali menunggak pembayaran kontrakan, yang berujung pada menghutang. Pernah terbesit pikiran untuk bekerja, demi menutupi keperluan semua ini. Agar tak ada lagi hutang pada pemilik kontrakan, juga dapur yang penuh akan kepulan asap manis, meningkatkan selera makan. Namun, melihat kondisi kota yang amat buruk mengurungkan niat ku. Takut nanti aku tercebur dalam lubang keburukan kota itu.

Masakan itu usai sudah, asapnya mengepul nikmat, yang akan segera ku hidangkan pada ibu di teras. Ibu tak mau beranjak dari kursi kayu itu. Jadilah aku dengan piring piring nasi, lauk, serta sambal dalam coek, ku taruh di atas meja kayu. Yang kemudian disantap ibu.

Pagi itu, panggilan atau pun undangan dari mas pedagang. Memaksa aku berpikir sedemikian rumit. Perihal apa yang harus dibicarakan, hingga aku di undang dalam taman kota itu. Ingin rasa tak menghadiri undangan itu. Namun tadi, mulutku mengiyakan tanpa harus berpikir. Kalau tidak menghadiri, besok pagi, aku akan bertemu kembali dan harus apa yang kuseret yang dapat ku atas namakan alasan untuk menghindari pertemuan itu.

Mata ku tertuju pada jendela yang menganga, memperlihatkan sekawanan batu bata yang tersusun sebagai dinding tetangga. Satu persatu bayang akan apa yang terjadi tersusun di dinding itu. Perkataan "ada sesuatu yang ingin mas bicarakan" seakan menyusun tentang kemungkinan kemungkinan yang terjadi malam nanti. Terus otaku berpikir. Hingga pagi menjelma menjadi siang yang panas.

-bersambung-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang