Part 3 - Berteman 1

2 0 0
                                    

Setiap kali melihat arwah di salah satu tubuhku akan ada bekas membiru, kali ini yang membiru adalah bagian pundak. Aku coba untuk membasuhnya dengan air dan sabun, walau tidak terasa sakit bekas membiru itu sangat mengganggu.

Bisa melihat arwah bukanlah sesuatu  membanggakan, kadang kala hal itu bisa sangat menggangu. Para arwah itu akan datang dan pergi sesuka mereka. Mereka bisa kapan saja menyakiti kita. Teror yang sering aku rasakan biasanya berasal dari arwah dengan kematian tak wajar.

Selepas mandi, aku berjalan kearah cermin Kulihat pantulan tubuhku di cermin itu, mataku menangkap ada yang aneh dari bekas membiru yang baru saja kuperoleh. Ku bandingkannya dengan bekas membiru di tangan sebelah kiri, Biasanya hanya berbentuk bulat tapi kali ini bekas membirunya seperti berbentuk jari-jari.

Bulu kudukku tiba-tiba merinding, seperti ada energi negatif yang sangat kuat. Mataku menangkap sesosok perempuan sedang berdiri dibalik pintu kamar mandi yang sedikit terbuka, ketika aku menoleh sosok perempuan itu sudah menghilang.

Biasanya hanya arwah yang kulihat caranya meninggal yang akan mengikutiku, tapi arwah yang baru saja kulihat di cermin mirip sekali dengan arwah perempuan yang kulihat disekolah.

Karena merasa penasaran aku berjalan ke arah pintu kamar mandi itu untuk memastikan arwah siapa yang tengah mengawasiku. Hampir sampai di pintu, aku mendengar suara Tante Vanesa dari arah ruang tamu.

"Tasya.. ada temanmu."

"Iyaa.."

Kuurungkan niat untuk membuka pintu itu lalu bergegas turun ke ruang tamu. Kamarku ada dilantai atas, sedangkan kamar tante Vanesa di lantai bawah rumah Tante Vanesa sangat luas dan di rumah ini hanya ada aku, Tante Vanesa, Pak Joko tukang kebun, Pak Totok satpam dan B. Ningsih Asisten Rumah Tangga kami.

Jika malam datang, B.Ningsih dan Pak Joko pulang ke rumah mereka. Hanya ada aku Tante dan Pak Totok saja di rumah. Aku melihat wajah tak asing sedang berdiri di balik pintu, semakin mendekat wajahnya semakin jelas.

"Hai." Fio melambaikan tangannya ke arahku.

"Tasya kok enggak cerita sih kalo temen mau ke sini, kalo tau pasti Tante masakin masakan yang paaaaliing enak."

Selain cantik Tante Vanesa juga pandai memasak, aku sering melihatnya memasak masakan tradisional dan modern apabila tamu-tamu Tante akan datang berkunjung ke rumah.

"Ah Tante gak usah repot-repot, yang ada aja di keluarin." Celetuk Fio.

Sepertinya Tante terhibur dengan candaan Fio, yang menurutku candaannya memang benar adanya. Walau memiliki hobi makan, Fio tetap memiliki postur tubuh yang atletis.

Walaupun aku Atheis, Tante tidak pernah melarangku berteman dengan orang- orang muslim. Kami tidak percaya keberadaan Tuhan atau Dewa-dewa, tapi kami menghargai orang-orang yang memiliki agama.

Kulihat Fio membawa koper yang sangat besar dengan bantal leher dan boneka di tangan kanannya.

"Fio boleh nginep sini gak Tante?"

"Hah nginep?"

"Boleh dong sayang." Tanpa pikir panjang Tante mengiyakan permintaan Fio, "kamu boleh nginep disini kapanpun kamu mau."

"Serius Tan?"

"Iya doang.. iya kan sayang?" Tante menatapku, sepertinya Tante bahagia mendengar Fio ingin menginap disini.

Aku melirik Fio dari ujung kaki sampai kepala sebelum akhirnya mengiyakan permintaannya.

"Iya." Jawabku singkat.

"Ya udah yuk masuk, Tante masakin kalian berdua ya kebetulan Bibik udah pulang."

"Boleh Tan?"

"Boleh dong sayang.." Senyumnya merkah melihat ekspresi wajah Fio yang kegirangan mendengar kata makan. "Tasya anterin Fio ke kamarnya ya."

"Iya Tante.. ayo ikut gue." Perintah Tasya seperti seseorang yang sangat mendominasi.

"Oke."

Fio berjalan mengikutiku di belakang, kamar yang Tante maksud adalah kamar di sebelah kamarku. Kamar itu katanya bekas kamar papa ketika masih kecil bersebelahan dengan kamar Tante Vanesa yang sekarang di tempati menjadi kamarku.

"Ini kamar lo." Ucapku sambil membuka pintu.

"Waaaahhh.." Fio terkagum-kagum melihat kamar papa.

Desain kamarnya tidak ada yang berubah, masih lengkap dengan foto papa kecil, foto ketika remaja, dan juga foto pernikahan mama dan papa.
Aku sengaja tidak memilih kamar ini sebagai kamarku, karena jika itu terjadi maka aku akan terus mengingat papa, mama dan Jio.

Arsitektur kamar ini masih khas masa tahun 70.an, alat musik gramophone dengan piringan-piringan hitam lama masih ada, terletak rapi di meja sebelah jendela.

Walau tidak pernah di tempati kamar ini masih rutin dibersihkan oleh Bibik.

"Kamar ini keren banget," Fio menggosok-gosokkan tangannya ke alat musik gramophone itu, "ini mah alat musik sebelum gue lahir."

"Itu koleksi papa."

"Gue boleh putar?"

"Boleh."

Belum satu menit aku bicara, Fio langsung memilih piringan hitam dan memutarnya. Lagu yang didengarkanpun terbilang cukup unik. Seperti lagu dansa, tapi lebih halus. Padahal aku belum pernah mengajarkan Fio cara bermain alat musik itu, tapi dia sudah mengerti cara kerjanya.

"Kamar lo dimana?" Tanya Fio sambil melihat foto-foto papa dan mama.

"Disebelah." Jawabku sambil mengambil salah satu foto keluarga sebelum Jio lahir, yaitu pada saat kau masih baru lahir.

Tante Vanesa masih sangat muda waktu itu, rambutnya pendek sebahu. Ia menggunakan seragam sekolah yang sudah tercorat coret mungkin waktu itu Tante baru saja lulus SMU.

"Berarti gue boleh dong main ke kamar lo?"

"Gak boleh."

"Tapi kan.."

"Kita belajar di ruang tamu." Aku sengaja memotong pembicaraan Fio karena aku tau kemana arah pembicaraan itu.

Setelah cukup lama aku memandang foto keluarga, aku meletakkannya kembali di tempatnya.

"Yah..." Sepertinya Fio kecewa dengan jawabanku. "Itu foto siapa?"

"Foto keluarga."

Aku melangkah keluar dari kamar, kemudian disusul Fio setelah mematikan musik yang ia dengarkan tadi.

Kami menuju ruang tamu, menunggu makan malam selesai karena kami sudah sangat lapar.

"Makanan siap." Ucap Tante sambil menggeser kursi untuk ia duduki. Sedangkan kami sudah duduk di meja makan sejak beberapa menit yang lalu.

"Waaah.. masakannya banyak banget Tante?"

Kulihat Fio menatap makanan satu persatu.

"Tante sengaja masakin kamu dan Tasya, sekarang kalian makan yang banyak."

"Siap Tante." Fio langsung mengambil nasi dan lauk pauk yang terletak di atas meja.

Selama makan malam, kami hanya mengobrol singkat. Fio menginap disini karena orang tuanya harus keluar kota selama seminggu jadi Fio menggunakan waktu seminggu itu untuk belajar denganku, tapi sejak saat itulah Fio jadi tahu bahwa aku bisa melihat mereka. Awalnya Fio tidak percaya dan hanya tertawa mendengarkan ceritaku.

****

Aku Bisa MelihatmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang