Kesalahan

6 3 2
                                    


Mengakui dan menerima resiko atas kesalahan yang kita perbuat adalah cara menjalani hidup yang paling manis.
-sebagaipenuntun

Tengah malam aku sedang menyetir mobil untuk kembali ke rumah. Awalnya Mamah melarangku pulang dan memintaku untuk menginap di rumah tanteku bersamanya. Tapi aku tidak mau, dengan alasan harus sekolah besok karena ada ulangan di salah satu mata pelajaran.

Akhirnya Mamah mengizinkanku pulang setelah berbicara panjang lebar. Mamah bilang, "Lisa jangan ngebut bawa mobilnya ya, besok jangan lupa sarapan minta bibi masakin buat kamu, hati-hati dijalan, sampai dirumah nanti harus langsung tidur jangan begadang nanti mata panda jadi gak cantik lagi loh."

Dari perkataannya aku sangat yakin bahwa Mamah menghkawatirkanku jika aku berada sendirian dirumah. Aku pun menjawab, "Mamah tenang aja, Lisa gakpapa sendiri dirumah. Kan ada bibi." ujarku sambil tersenyum untuk menenangkannya.

Dan saat di perjalanan aku melihat kejadian yang cukup menarik untukku. Ada kecelakaan yang sedang terjadi. Aku memberhentikan mobilku. Kecelakaan yang terjadi jaraknya cukup jauh dengan tempatku berada saat ini. Tapi aku dapat melihat jelas kejadian itu.

Seorang pria paruh baya, sepertinya tukang ojek online karena dia memakai jaket yang biasa dipakai tukang ojek online. Pria itu ditabrak oleh sebuah mobil yang melaju kencang berlawanan arah hingga terpental beberapa meter. Dapat kulihat pria itu terbujur lemas dengan helm yang sudah terlepas karena terguling dan kepalanya membentur trotoar jalan mengeluarkan banyak darah. Dapat ku pastikan pria itu pasti sudah mati.

Mobil itu berhenti, seorang pemuda keluar dari pintu kemudi. Aku sedikit terkejut melihat pemuda itu. Dia adalah Dion, teman satu angkatanku. Dion melihat korban yang ditabraknya lalu dia masuk ke dalam mobilnya lagi dan berlalu begitu saja meninggalkan korbannya. Jalanan memang sunyi, mungkin karena itu dia berani kabur dan tidak ingin terlibat masalah.

Aku terdiam sejenak, jadi, dia sudah membunuh seseorang, kan? Aku tersenyum dan kembali melajukan mobilku di jalur yang berbeda. Sepertinya akan ada seseorang yang dapat ku tuntun lagi.

***

Dua hari setelah aku melihat Dion menabrak seseorang hingga kehilangan nyawa, aku selalu memperhatikan gelagat tubuhnya. Seperti dugaanku sekarang Dion seperti orang yang linglung. Tatapan matanya kosong, sesekali dia tertawa tapi aku dapat melihat kehampaan dan kekosongan dalam setiap kedipan matanya.

Saat ini Dion sedang duduk di bawah pohon rindang di dekat taman belakang sekolah. Aku menghampirinya dan mengambil duduk di sampingnya.

"Halo, Dion." Aku menyapanya.

"Oh, hai, Lisa. Kenapa?" Dion menjawab.

"Kenapa? Bukannya aku yang harus nanya kenapa sama kamu hm?" Aku berkata sambil tersenyum.

"Kalo kamu ada masalah, kamu bisa cerita sama aku."

"Gue gakpapa." Dion menjawab pelan.

"Berapa hari kamu gak tidur? Kantung mata kamu tebel banget."

"Gue cukup tidur kok." Dion beralih menatapku.

"Bohong banget, apa yang buat kamu gak bisa tidur?"

"Kenapa lo nanya-nanya kayak gini? Perduli apa lo sama hidup gue?" Dion berkata sarkastik.

"Aku gak perduli. Aku cuma mau bilang kalo orang yang kamu tabrak dua hari lalu itu udah mati." Aku berkata tenang sambil menatap Dion lurus.

Dion menatapku, matanya sedikit melebar. "Lo tau itu, Lisa?" Raut wajah Dion tampak kacau.

"Aku lihat sendiri kejadiannya."

Dion tampak gelisah, dia... sangat merasa bersalah.

"Kamu pembunuh, Dion."

"Nggak, gue bukan pembunuh!"

"Jelas-jelas kamu udah bunuh seseorang. Walau gak secara langsung, tapi kamu udah nabrak orang itu, kamu biarin dia kehabisan darah dipinggir jalan."

"Bukan salah gue! Gue gak sadar, gue lagi mabuk waktu itu. Itu semua terjadi diluar alam sadar gue!" Dion membela dirinya.

"Kamu bodoh, Dion. Apapun alasannya walau kamu gak sepenuhnya sadar, tapi itu kamu, itu diri kamu."

"Bukan gue, bukan gue!" Dion terus saja membela dirinya.

Benar-benar tidak tau diri! Aku membenci orang orang yang tidak mau mengakui kesalahannya.

"Kamu bener-bener gak berguna. Kamu udah bunuh seseorang, padahal kalau kamu bawa pria itu ke rumah sakit saat itu juga, mungkin aja dia masih bisa selamat."

"Gue gak tau harus gimana waktu itu. Gue takut. Gue gak mau di penjara."

"Kamu memang egois. Harusnya kamu tanggung jawabin kesalahan yang udah kamu buat."

"Orang yang kamu tabrak itu punya istri dan dua anak yang masih kecil. Bisa kamu bayangin gimana sedihnya mereka? Kamu bukan cuma bunuh satu orang, tapi kamu udah buat hidup beberapa orang hancur."

"Mereka pasti kesusahan karena kehilangan tulang punggung keluarganya."

Dion terdiam, raut wajahnya kian hancur. Aku tersenyum. Akan kutuntun dia sekarang juga. Kegelapan mencekiknya. Dia tidak bisa lagi menemukan cahayanya. Hidup dengan terus dihantui rasa bersalah itu terlalu menyedihkan.

"Apa yang bisa kamu lakuin sekarang buat nebus kesalahan kamu?"

"Gue setelah kejadian itu selalu kepikiran. Lo bener, gue emang gak tidur karena bayang bayang disaat gue nabrak orang itu selalu menghantui gue."

"Gue gak tau harus gimana,"

"Kamu emang gak bisa apa apa lagi sekarang. Semua udah terlanjur. Selamanya kamu bakalan hidup dengan rasa bersalah. Hidup kamu bener-bener gak punya harapan lagi. Kamu bener-bener pecundang yang gak berguna."

"Gue rasanya mau mati aja."

"Kamu tau? Kamu emang harusnya mati. Nyawa harus dibalas dengan nyawa kan? Kamu itu jadi orang yang paling jahat di dunia kalo kamu masih terus enak enakan hidup."

"Apa kalo gue mati, gue bisa nebus semua kesalahan gue?"

"Tentu aja bisa. Keluarga orang yang kamu tabrak juga pasti benci banget sama kamu. Mereka juga pasti mau kamu mati, Dion." Aku berkata sambil tersenyum hangat.

Dion mengalihkan pandangannya dari wajahku. Dia menatap kosong udara di depannya.

Aku tersenyum, beberapa hari lagi mungkin akan ada kejadian yang menarik. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan meninggalkan Dion dengan segala ketakutan yang menghantuinya.

Beberapa hari kemudian Dion ditemukan tewas di dalam kamarnya dengan kepala yang bersimbah darah akibat peluru yang menembus tengkorak kepalanya. Para asisten rumah tangga dirumahnya berteriak histeris karena Dion menembak kepalanya sendiri dengan pistol milik ayahnya.

Dasar bodoh, pecundang tidak tau diri memang harusnya mati. Manusia memang seringkali berbuat salah tetapi tidak mengakui. Tidak bertanggung jawab atas apa yang sudah di perbuat.

Benar benar menjijikan. Tidak bisakah menjadi manusia yang sedikit berguna untuk orang lain? Buatlah dirimu menjadi berguna untuk orang lain, kalau tidak bisa setidaknya diam jangan membuat masalah.

Jangan pernah takut mengakui kesalahan. Meminta maaf bukan berarti kamu lemah. Mengakui dan menerima resiko atas kesalahan yang kita perbuat adalah cara menjalani hidup yang paling manis.








Hai haii!

Up lagi nih:*

Semoga kalian suka ya.❣️

Salam sayang,

NLF🦄

SEBAGAI PENUNTUN - (CERBUNG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang