Halaman rumah Eyang Putri nampak ramai, menyambut datangnya purnama. Beberapa orang bahu membahu menyiapkan ritual purnama yang diadakan setiap purnama yang jatuh pada jum'at kliwon. Dan biasanya hanya terjadi beberapa bulan sekali.
Menurut kepercayaan Eyang putri, pasaran kliwon memiliki tempat yang istimewa. Ia menjadi pusat dari bertemunya unsur bawah kehidupan manusia yaitu Air, api, tanah, dan udara.
Aku sendiri tak terlalu tahu masalah hitungan seperti itu. Wajar saja aku tumbuh dan besar di kota bersama ayah dan ibu ku.
Setidaknya hanya setahun dua kali aku mengunjungi Eyang, ketika liburan sekolah dan ketika lebaran. Tapi ketika ayah dan ibu terjerat kasus korupsi, dengan terpaksa aku harus tinggal dan menetap bersama Eyang di sini.
Di desa yang masih kental dengan tradisi jawanya. Bahkan Eyang putri sendiri merupakan sesepuh atau tetua yang di hormati dan di segani di desa ini.
"Sudah pulang kamu nduk ? Ucap Eyang menyambutku di depan pintu.
"Sudah Eyang."
"Gimana sekolah baru mu ? Kamu suka ?" Tanya Eyang terlihat antusias. Aku mengangguk angguk pelan.
"Suka eyang, mereka ramah semua."
"Bagus kalau kamu suka. Ayo masuk, ganti baju kemudian kita makan bersama." Aku mengangguk kemudian berjalan menuju kamarku yang terletak di belakang. Kamar ini memiliki sebuah jendela yang menghadap jalan setapak yang menjadi penghubung rumah warga yang berada dibelakang rumah eyang. Di belakang rumah eyang terdapat dua rumah yang letaknya cukup berdekatan. Kedua rumah itu di pisahkan oleh sebuah jalan kecil menuju kebun bambu atau eyang sering menyebutnya ' papringan' . Aku sendiri belum pernah kesana.
Suasana di meja makan begitu hening. Tak ada obrolan antara aku dan eyang. Eyang memang melarang kami berbicara ketika makan katanya ' ora ilok ' . Aku manut saja. Lagi pula apa juga yang akan aku bicarakan dengan eyang.
"Biar kamila bantu eyang." Ucapku ketika telah selesai makan. Eyang tersenyum mengelus rambut ku kemudian mengangguk.
"Terima kasih ya nduk." Jawab eyang sembari membiarkan tanganku mengemasi piring kotor yang kami gunakan untuk makan. Sedangkan sisa makanannya, eyang membiarkan mbok Warsi untuk membereskannya.
"Eyang mau kemana ?"
"Membuat persiapan untuk ritual purnama nanti."
"Ritual apa eyang ? Dan sesajen itu, untuk ritual juga ?" Eyang hanya tersenyum tak memberiku jawaban yang berarti apapun. Ia justru menyuruhku untuk mengerjakan tugas sekolah kemudian menyuruhku istirahat.
Dari jauh kulihat punggung mbok Warsi yang tengah membersihkan meja makan.
"Berapa lama persiapan ritual itu mbok ?" Mbok Warsi tersentak ke belakang, tangannya memegang kursi sebagai tumpuan untuk menopang tubuhnya yang tak seimbang karena kaget dengan kedatanganku. Mungkin begitu.
"Ehh copot..copot....ekh copot....." aku tertawa kecil. Aku baru tahu kalau mbok Warsi latah.
"Mbak Kamila ini bikin si mbok kaget saja. Untung jantung si mbok gak lepas." Terangnya seolah protes ia mengusap dadanya pelan. Aku terkekeh sebelum akhirnya meminta maaf.
"Petang ini mungkin selesai. Besok adalah puncak purnama, semuanya harus sudah siap tak boleh kurang dan tak boleh gagal."
"Memang-nya ritual untuk apa mbok ?" Aku menarik ujung kursi, dan mendaratkan pantatku disana. Ku lihat wajah mbok Warsi yang mulai menegang dan panik mendengar pertanyaan ku. Hal itu membuatku semakin penasaran. Aku yakin ada kenyataan yang sengaja eyang sembunyikan dari ku.
Tanganku meraih apel yang tersedia di meja. Kemudian memberikannya pada mbok Warsi. Tangannya terlihat bergetar, ia ragu ragu menerima apel dari ku. It's ok, aku tak kehilangan akal.
Ku letakkan kembali buah apel tadi. Kini tanganku meraih pisau yang berada dekat dengan keranjang buah. Aku mengamatinya benar benar. Memperhatikan setiap sisi pisau tersebut. Dan memainkannya sebentar.
"Pisau ini terlihat sangat bagus mbok. Sisinya juga sangat tajam. Pasti sering diasah. Lihat mbok, aku bisa melihat wajahku dari kilauan pisau ini." Aku tersenyum simpul memperhatikan mbok Warsi yang semakin menegang, tak hanya tangan, kini kedua kakinya ikut bergetar. Tetapi, ia tak bisa beranjak dari tempatnya. Mulutnya komat kamit seperti ingin mengucap sesuatu tapi tercekat.
Aku memberikan pisau dan apel kepada mbok Warsi. Air mukanya sedikit berubah.
"Ini apa mbak ?" Aku menghela nafas kesal mendengar pertanyaan mbok Warsi.
"Tolong kupasin mbok. Mbok duduk disini." Mbok Warsi masih menatapku heran, membuatku semakin kesal.
"Mbak kamila gak mau bunuh si mbok ?"
Tawaku pecah.
"Memangnya kamila terlihat seperti pembunuh ? Ya enggaklah mbok ngawur." Mbok Warsi ikut tertawa karir mendengar pernyataanku. Sengaja ku minta mbok Warsi untuk mengupaskan apel agar aku bisa mencari informasi lebih dari mbok Warsi. Informasi yang tak bisa ku dapat dari eyang.
"Ini apel ritual mbok ?"
"Huss ngawur, makanan yang di jadikan ritual tidak boleh di sentuh, di ambil, Apalagi di makan. Ini beli sendiri." Aku tertawa samar melihat mbok Warsi.
"Memangnya itu ritual apa ?"
"Riual purnama jum'at kliwon. Pada malam itu seluruh lapisan element bawah sadar manusia akan bertemu pada satu titik yang paling sempurna dijagat semerta. Sempurna-nya seluruh kekuatan Lemah Abang. Dan...."
"Lalu untuk apa sesajen itu ?" Tanyaku menyela. Tak sabar mendengar penjelasan mbok Warsi yang menurutku tak penting itu.
"Tentu meminta perlindungan dan pengharapan lainnya. Berucap syukur atas kehidupan yang di berikan. Sudah tak perlu di pikirkan. Ini sudah menjadi tradisi turun temurun dan harus di teruskan. Sayangnya eyang putri belum tahu akan meneruskannya pada siapa. Aku sudah cukup tua untuk ikut dalam hal seperti ini. Purnama pada malam jum'at kliwon adalah waktu yang sangat tepat."
"Dimana tumpukan sajen itu akan di antarkan ?" Tanyaku sebelum mbok Warsi menjauh.
"Desa slawe." Balasnya pelan. Lirih bahkan hampir tak terdengar.
"Lalu Lemah Abang ?" Mbok Warsi enggan menjawab. Ia lebih memilih melanjutkan langkahnya, meninggalkan ku yang semakin penasaran.
"Desa slawe, Lemah Abang." Ulangku.
Mataku mengedar melihat gunungan sajen yang menjulang tinggi, berkalungkan untaian melati. Persiapannya sudah tujuh puluh persen.
"Kenapa persipannya dilakukan dengan begitu hati hati sekali. Lagi pula siapa yang akan memakan semua sesajen yang mereka berikan ? Sudahlah bukan urusanku. Secepatnya setelah ayah terbukti tidak bersalah aku akan pindah ke kota." Batinku mencoba untuk tenang, meski sebenarnya rasa ingin tahuku sudah semakin menggebu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Derah Larangan
Mystery / ThrillerCerita ini berdasarkan pada mitos yang pernah saya dengar. Mitos turun temurun yang saya tidak tahu pasti kebenarannya. Cerita ini sudah tidak murni lagi sebagian besar cerita sudah saya ubah dengan khayalan saya sendiri jadi di mohon untuk bijak. j...