III

3.2K 97 3
                                    

Aku membanting sepedaku dihalaman. Ku lihat eyang dan mbok War terkejut melihat kedatanganku, dan selanjutnya mereka saling berpandangan. Aku berlari menuju kamar dan kemudian meringkuk di dalam selimut.

Wajah pucat perempuan tadi perlahan berubah menjadi mengerikan ketika aku menyebut dua kosa kata dibelakang telinganya. Tawanya yang mengerikan serta giginya yang tiba tiba berubah menjadi hitam. Mulutnya terbuka lebar, bahkan sangat lebar untuk ukuran manusia. Tidak, aku baru menyadari mulutnya telah sobek. Menyisakan lendir berupa nanah nercampur darah serta bau busuk. Akh mengingatnya saja membuat perutku terasa mual dan ingin memuntahkan segala isinya padahal aku belum makan apapun sedari pagi.

Sial, makhluk apa yang ku temui tadi pagi.

"Tidak, semuanya pasti hanya halusinasiku saja. Tak ada hantu, tak ada setan atau yang lainnya." Batinku mencoba melupakan bayangan mengerikan perempuan tadi. Aku tidak pernah mempercayai hal hal ghoib, makhluk astral bahkan adanya dimensi dunia lain.

"Aaaaaaa.....aaaaaaaa....."

Suaraku yang sedari tadi tercekat di tenggorokan lolos begitu saja ketika ku rasakan sebuah tangan menyentuh punggungku pelan. Tangannya terasa dingin. Aku teringat cerita teman- temanku, katanya jika tangan orang yang sudah mati akan terasa dingin. Jangan jangan ini ... adalah tangan perempuan tadi, perempuan itu sudah mati... dia sudah mati....

Aku merapatkan selimutku, meringkuk seperti bayi dalam rahin ibu. Perlahan ku rasakan seragam sekolahku yang basah karena keringat.

"Nduk, kamu kenapa ?"

"Eyang." Aku menghanbur pada eyang. Aku dapat bermafas dengan sedikit tenang meski seringai perempuan itu masih melekat dalam kepala ku.

"Kamu kenapa ?"

Aku menggeleng.

"Tenan, ndak ada apa-apa ?" Aku mengangguk ragu. Eyang meraih daguku lembut. Bibirnya tertarik kesampin menciptakan sebuah lengkungan, ia tersenyum mendangku. Kemudian mengecup pucuk rambutku.

"Kamu pasti bisa." Bisik eyang pelan. Aku mengernyitkan kening tak mengerti dengan maksud eyang.

"Ya sudah, sekarang kamu ganti baju dan makan. Tetaplah dirumah selama kami melakukan ritual purnama." Tutur eyang, meninggalkanku. Aku masih terdiam memandangi punggung eyang, mencerna kalimat yang ia ucapkan, itu artinya aku... akan berada dirumah sendiri.

"Akhhhh.... kenapa ayah dan ibu tak juga menjemputku." Aku berguman frustasi, kesal mengapa pula aku harus terjebak di desa eyang yang sejak dulu memang menyimpan misteri mesteri mengerikan.

Usai mengganti baju aku menghampiri meja makan. Kali ini enyang tidak hanya berdua dengan mbo Warsi. Tapi, ia ditemani seorang laki laki belia yang seusia denganku. Aku baru melihatnya kali ini. Pikirinku mulai kalut, takut bahwa dia bukan manusia normal seperti aku, eyang ataupun Mbok warsi.

"Eyang .." Panggilku ragu. Aku mendekati mereka. Kedatanganku dismbut hangat senyum ke tiganya. Kemudian eyang mengenalkan ku pada laki laki yang membuatku penasaran.

Dia adalah "Bayu" keponakan mbok Warsi, yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Maklum seluruh anak mbok Warsi sudah merantau ke kota. Mengadu nasib, bertaruh masa depan agar generasi penerusnya tak merasakan sengsara seperti yang mereka alami. Orang tua bayu juga merantau ke daratan kalimantan, mereka merintis usaha dagang, kata orang disana itu ladang uang. Sungguh beruntung aku lahir dari keluarga yang serba cukup. Bahkan lebih dari cukup

Aku memandangi wajah Bayu. Untuk ukuran anak desa wajahnya cukup tampan bahkan sangat tampan.

 Untuk ukuran anak desa wajahnya cukup tampan bahkan sangat tampan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Derah LaranganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang