Aku memarkirkan sepedaku dibawah pohon beringin yang tumbuh rimbun di parkiran sekolah. Sengaja ku pilih tempat ini, karena tempatnya yang teduh dan juga karena memang masih kosong.
Bel pulang sekolah baru berbunyi lima menit yang lalu tapi sekolah ini sudah terlihat seperti gedung kosong yang lama tak berpenghuni. Semilir angin berhembus menyapu dedaunan kering yang jatuh ditanah. Daunnya yang bergesekan dengan tanah membuat suasana siang ini berubah menjadi sedikit menakutkan. Pihak sekolah sengaja memulangkan kami 1 jam lebih cepat dari hari biasanya. Lagi lagi alasannya karena purnama jum'at kliwon. Membuat penasaranku semakin bertambah.
"Percuma saja, jaket koleksi nicolas jkol yang limitid edition juga tak kan terlihat oleh mereka yang tak mengenal fashion." Aku sedikit menggerutu padahal sengaja ku pakai jaket ini untuk pamer.
Aku bersiul siul kecil mengiringi langkahku menuju parkiran untuk mengambil sepeda.
"Berangkat kosong, pulangpun kosong." Aku menoleh mencari pemilik suara itu. Aku terlonjak kaget, seorang perempuan seusia denganku dan memakai seragam SMA yang sama denganku, muncul dari balik pohon beringin. "Mungkin dia salah satu murid di sekolah ini." Aku menyatukan kedua sisi alisku. Dari mana dia muncul ? Seingat ku tak ada orang di parkiran ini. Kenapa tiba tiba ada murid lain disini ?. Sudahlah aku tak mau ambil pusing. Apalagi membayangkan hal yang membuatku jadi parno.
Perempuan itu hanya tertawa. Mataku menyapu seluruh parkiran sekolah benar saja hanya ada beberapa sepeda motor, sepertinya sejak tadi pagi memang sudah ada disitu. Aku memegang tengkuk leherku yang mulai tak nyaman.
Ku toleh perempuan tadi. Ia masih berdiri di depan sepeda ku.
"Kenapa kamu tak pulang ?" Tanyaku sok berani. Karena kulihat seorang satpam masih berdiri di posnya ia tengah berbicara dengan pak parto tukang kebun. Perempuan itu menggeleng sebentar. Kemudian tersenyum.
"Ayo pulang bersama." Tawarku padanya. Perempuan itu masih diam, bergeming sedikitpun tidak.
"Mana sepedamu ?" ia menggeleng cepat. Tepat seperti dugaanku, ia tak memiliki sepeda. Aku menghela nafas jengah. "Naiklah, aku antarkan pulang." Aku tak menoleh, tapi dapat ku rasakan sepedaku menjadi sedikit lebih berat dari sebelumnya, artinya ia sudah duduk di booncengan sepedaku. Dari jauh pak Parto berteriak memanggil nama ku.
"Kamila, ngapain kamu disana. Ayo cepat pulang. Gerbang sudah mau dikunci, kami juga akan segera pulang." Teriaknya dari kejauhan. Meski suaranya tak terlalu kencang tapi aku masih dapat mendengarnya. Aku mengayuh sepedaku dengan cepat dan segera berlalu menuju pas satpam menghampiri pak Parto dan pak Kusno.
"Ini pak." Aku meletakkan sebuah bekal yang terbungkus kain bermana merah. Rencananya akan ku makan bersama teman temanku, tapi karena mereka pulang lebih dulu dan tak mau di ajak bermain karena orang tua mereka sudah berpesan untuk segera pulang dan tak bermain-main dahulu sebelum ritual purnama ini selesai.
"Apa ini ?" Tanya pak kusno sambil mengangkat bekal pemberianku.
"Bekal nasi saya pak. Untuk bapak." Aku bersiap-siap mengayuh sepedaku.
"Tunggu nak kamila, jangan sering-sering main sendirian di bawah pohon beringin itu. Ini buat kamu. Terima kasih makanannya." Ucap pak Parto yang membuatku kembali berhenti. Aku kembali mengangguk mengerti. Tanganku menerima gelang kecil dan sebuah lonceng kecil milik yang ia berikan tadi.
Aku mengangkat alisku. Benda kecil seperti ini apa gunanya. Lagi pula aku tak terlalu mengenal pak Parto kenapa dia memberikan benda ini kepadaku ? Buru buru ku sampaikan rasa terima kasih pada pak Parto dan pak Kusno kemudian berlalu meninggalkan sekolah yang cukup jauh dari area pemukiman warga.
Siang ini tidak terlalu panas. Bahkan rasanya angin yang berhembus juga berbeda dari biasanya. Angin yang sangat tenang dan lembut, hingga mampu membuat seluruh bulu kuduk-ku berdiri.
Aku bernyanyi kecil untuk menghilangkan kejenuhan ku. Perjalanan pulang kali ini tak seperti bisanya. Biasanya aku dapat melihat para aktifitas para petani dan pengembala, kini aku tak menjumpai satupun dari mereka. Rasanya sedikit aneh.
"Kenapa desa ini seperti tak berpenghuni ya ? Padahal kan masih siang. Kamu tahu tidak ? Kata eyang akan ada ritual purnama petang nanti, tapi eyang tidak memberitahu untuk apa ritual itu. Padahal semua purnama sama saja, kenapa purnama kali ini seperti sangat menakutkan ya ? Kamu dimana rumah mu ? Apa kita tinggal berdekatan ? " Ocehku sendiri di atas sepadaku. Maksudku ingin sedikit berbicara dengan perempuan tadi tapi ia hanya diam saja. Menyebalkan, rasanya aku seperti tengah menganyuh sepeda sendirian.
Aku kembali memfokuskan mataku pada jalanan di depanku. Tak mau mengajaknya berbicara. Padahal aku sudah berbaik hati memberikannya tumpangan. Bukannya berterima kasih malah berlagak bisu.
Aku meringis memegang pundak ku yang terasa seperti dilempari batu. Reflex, aku menhentikan sepadaku dan menoleh ke belakang. Netraku menangkap sosok perempuan yang ku bonceng kini telah turun dari sepedaku dan dengan santai berjalan menjauh dari sepedaku.
"Hey tunggu, aku sudah memberimu tumpangan setidaknya ucapkan terima kasih." Teriakku tak terima. Perempuan itu berhenti kemudian memutar kepalanya menatapku tanpa ekpresi.
"Dari mana makhluk aneh ini berasal." Gerutuku pelan. Aku segera memarkirkan sepedaku kemudian berjalan menghampirinya.
"Dimana rumah-mu ?" Aku bertanya penasaran karena aku tak melihat ada rumah di sekitar sini. Hanya hamparan kebun tebu yang memanjang di tepi jalan sebelah kanan. Sedang di sisi kiri hanyalah padang rumput luas yang ditumbuhi pohon flamboyan dan terdapat juga dua buah pohon beringin disisi gapura dengan batang yang sangat lebar. Aku tidak tahu berapa lebarnya tapi jika dikira-kira mungkin lebarnya sama dengan tubuhku jika kedua tanganku direntangkan.
Mataku mengikuti telunjuk gadis itu. Yang berhenti tepat pada gapura. Aku mengerti, mungkin dia tinggal di desa tersebut. Meski aku sendiri baru tahu jika ada desa lagi ditengah kebun.
"Aku kamila." Aku mengulurkan tanganku dan mengajaknya berkenalan. Bagaimana pun aku sudah menghabiskan separuh perjalanan pulang sekolahku bersama dia, lucu saja kalau aku tdk mengenal namanya.
Gadis itu hanya diam memandangiku dengan dingin. Kemudian ia tersenyum tidak lebih tepatnya menyeringai menampakkan barisan giginya.
"Aaaaaaa...." aku berteriak kaget. Sambil menutup wajah dengan tangan.
"Purnama desa slawe, datanglah." Bisiknya tepat ditelingaku. Aku menatapnya tajam. Aku mulai menyesal karena tak mendengar perkataan eyang yang menyuruhku untuk langsung pulang. Tapi, aku justru pergi bersama dengan makhluk aneh ini.
Gadis itu mendekatiku perlahan kemudian menyibakan rambutnya yang terurau panjang, dengan jelas aku dapat membaca tulisan dibelakang telinganya. Seperti sebuah tato tapi bukan tato karena tulisan itu timbul ke permukaan. Itu bukan tulisan biasa itu bukan huruf latin ataupun aksara jawa melainkan huruf pegon atau arab gundul.
Aku mencoba lebih dekat agar dapat membaca dengan jelas dan ...
"Lam...nun.. lamnun...lamnun..."
Mendengar namanya ku sebut gadis itu menoleh, menyeringai lebih seram dari sebelumnya.
aku berlari menuju sepedaku dengan seluruh sisa kekuatanku ku kayuh sepedaku dengan cukup kencang agar cepat sampai dirumah eyang.
Matahari semakin bergeser dari singgasana tertingginya. Namun petang belum juga nampak berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Derah Larangan
Mystery / ThrillerCerita ini berdasarkan pada mitos yang pernah saya dengar. Mitos turun temurun yang saya tidak tahu pasti kebenarannya. Cerita ini sudah tidak murni lagi sebagian besar cerita sudah saya ubah dengan khayalan saya sendiri jadi di mohon untuk bijak. j...