Bayu mengambilkan ku air minum dan segera membersihkan bangkai gagak itu.
"Tenang saja darahnya sudah saya bersihkan." Aku monel pada Bayu dengan cepat.
"Kita susul Eyang dan mbok Warsi. Perasaan ku gak tenang.
"Tidak bisa, ini sangat berbahaya."
"Perasaan ku gak tenang Bay, seperti akan terjadi sesuatu yang tak wajar."
Bayu tampak gusar. Ia memijat pelan tengkuk lehernya. Sesaat ia terdiam, matanya terpejam.
"Ayo kita pergi." Bayu berdiri dan cepat menarik tanganku. Aku sedikit berlari mengimbangi langkahnya yang lebar. Tak lupa kuselipkan dua benda pembelian pak warso kedalam saku jaket tanpa sepengetahuan Bayu.
Sepanjang jalan aku hanya dapat menemper pada Bayu layaknya seokor bunglon. Desa ini benar benar sepi, minimnya pencahayaan membuat suasana menjadi sedikit angker. Hanya beberapa rumah saja yang memasang lampu penerangan jalan, itupun dengan whatt paling kecil dengan warna kuning, yang cahaya hanya mampu menyinari benda dibawahnya tidak disekelilinngnya. Beruntung malam ini adalag malam purnama sehingga tidak terlalu gelap.
"Bayu, berapa lama kita harus berjalan ?" Aku mulai merasa kaki ku pegal. Sudah hampir satu jam tapi kami masih belum sampau pada tempat ritual. Masalahnya aku tak tahu dimana desa Slawe, jadi aku tak punya pilihan lain selain mengikuti langkah Bayu.
"Sebentar lagi akan sampai, tenanglah." Aku mengangguk pelan meski aku yakin, Bayu juga tak akan melihat anggukanku. Kami kembali melanjutkan perjalanan tanpa suara dan tanpa kata. Semilir angin menbelai

KAMU SEDANG MEMBACA
Derah Larangan
Mystery / ThrillerCerita ini berdasarkan pada mitos yang pernah saya dengar. Mitos turun temurun yang saya tidak tahu pasti kebenarannya. Cerita ini sudah tidak murni lagi sebagian besar cerita sudah saya ubah dengan khayalan saya sendiri jadi di mohon untuk bijak. j...