1

22 3 0
                                    

Desember tahun ini menjadi Desember terburuk dalam hidupku. Hidupku hanya sebatas rumah, rumah sakit, dan rumah. Kondisiku yang terakhir berhasil menahanku beberapa hari di rumah sakit dan seminggu beristirahat di rumah. Itu tidak membuatku merasa lebih baik, hari pertama sekolahku, aku bahkan sudah korupsi waktu selama seminggu lebih.

Payung yang aku bawa, kulipat dan kugenggam untuk ku bawa ke dalam kelas, tepatnya di dalam laci. Sambil menyapu titik-titik kecil air di sweater hitamku, aku menyelip berusaha tak terlihat ke dalam kelasku. Hujan siang malam membuatku tak bisa lepas dari sweater jikalau tidak ingin sakit.

Aku duduk di kursiku dengan tenang sambil berpura-pura tidak tahu akan tatapan tajam yang seseorang tujukan padaku.

"Gak usah pura-pura gak tau," sahut seseorang mendekat ke arahku. "Aloona," pekiknya lagi membuatku menghela napas.

"Seminggu gak ada kabar, tiba-tiba muncul dan ngabai-in gue."

Aku mencoba memberikan senyuman terbaikku. "Andini apa kabar?"

Andin—sahabatku, menggelengkan kepalanya. Gadis itu duduk di depanku. "Cewek aneh," katanya. "Gue udah coba tanya sama Rael, tapi dia bilang gue gak perlu tau. Gue 'kan cuma mau tau tentang lo."

"Pacar gue bener. Lo gak perlu tau," jawabku ringan.

Andin bersungut kesal sementara aku sendiri menarik senyum simpul. Menyinggung Rael, aku tiba-tiba ingin melihat cowok itu sekarang. Dua hari ini dia tidak ke rumah menjengukku seperti biasa.

Rael itu cowok dengan perlakuan manis yang berhasil membuatku lagi-lagi kalah. Membuatku terbiasa dengan kehadirannya dan kemudian menghilang membuatku merasa ada yang kurang. Aku curiga kalau ini adalah siasatnya untuk membuatku tidak bisa berpaling darinya.

Aku menghela napas, lagi. Karena aku tidak henti-hentinya memikirkan Rael.

Empat jam kemudian, istirahat pertama dimulai, aku menolak ajakan Andin ke kantin karena aku bawa bekal hari ini. Sengaja disiapkan Mama dengan alasan aku masih sakit dan tidak boleh makan sembarangan.

Aku menurut saja, selagi itu Mama aku tidak akan menolak kecuali itu racun.

Selagi berusaha menikmati makanan yang terasa hambar bagiku itu, sekotak susu muncul di samping bekalku.

Aku menarik senyum saat aku tahu siapa yang datang. Aku sudah hapal betul kebiasaan siapa ini.

Tanpa mengatakan apapun, aku segera mengambilnya. Mengambil sedotan dan menusukkan pada susu kotak di depanku. Aku menikmati rasa manisnya sehabis memakan bekal Mama yang terasa hambar karena hanya berisi sayuran dan beberapa potong daging.

Mengabaikannya yang hanya melihati kegiatanku.

"Lo gak nanya kemarin gue kemana?" tanya Rael yang duduk di depanku.

"Gue tebak lo bakal jawab urusan futsal," jawabku asal meletakkan susu kotak yang tinggal setengah itu.

Rael tersenyum dengan sorot teduh. "Maaf gue gak ngabarin."

"Gue tau. Biasa aja kali. Gue gak bakalan mati kalau gak lo kabarin dua hari."

Rael tersenyum lebar. Jenis senyuman yang aku sukai. "Hari ini gue kosong. Pulang bareng gue yah."

Aku mengangguk saja. Siapa yang akan menolak jika ditawari semanis ini? Terlebih itu pacarku sendiri.

Setelah itu Rael pergi dari kelasku, entah ke kantin atau ke kelasnya—aku juga tidak bertanya.

Entahlah, aku merasa hari ini begitu ringan bagiku. Setelah terkurung di rumah beberapa hari, aku seperti burung yang bebas dari sangkarnya selama bertahun-tahun.

Dari awal aku sudah mengatakan bahwa aku bahagia. Keluarga, pacar, sahabat melengkapi hidupku. Selebihnya aku rasa aku tak membutuhkannya lagi. Poros hidupku perlahan berubah. Sekarang bukan hanya soal diriku sendiri, namun tentang orang yang aku sayangi mulai berputar hingga aku berharap waktu tetap jalan di tempat.

Ah, betapa aku mencintai hidupku.

But, they never know. That was a lie.

◻◻◻

Diamond Heart: UnbreakableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang