14

4 2 0
                                    

Masih terhitung sangat pagi saat aku sampai di sekolah. Hanya ada beberapa murid di dalam kelas, salah satunya adalah aku. Aku menggosok telapak tanganku berusaha mengusir rasa dingin.

Kemudian aku lihat sesorang yang kukenal menghampiriku. Aku mengernyit namun tetap tersenyum kecil saat Sheva menyapa dan duduk di sampingku.

"Cari siapa?" tanyaku karena dia dari kelas sebelah.

"Cari lo," jawabnya. "Gue lagi cari member voli. Lo ikut ya?"

Aku tertawa kecil. "Lo ngajak gue?"

"Iya. Kenapa?"

Aku menggeleng. "Jangankan main voli, lari keliling lapangan aja kadang gue suka gak tahan. Lo cari yang lain aja."

Aku lihat Sheva menghela napas. "Ya udah deh," jawabnya. "Eh, istirahat nanti ngantin bareng gue yuk."

"Gabung aja bareng gue sama Liona dan Andin. Gue biasanya sama mereka."

Sheva mengangguk puas. Lalu gadis tinggi itu pamit untuk ke kelas lain mencari member untuk tim volinya.

Aku mengangkat bahuku. Yah lumayanlah walaupun kami tidak begitu dekat. Teman-temanku terbilang sedikit. Sedangkan Sheva, aku mengenalnya karena dia sempat ikut ekskul fotografi walau hanya satu semester sebelum dia pindah ke ekskul voli.

Kelas dimulai lima belas menit kemudian. Setelah sibuk memfokuskan diri selama empat kali empat puluh lima menit, aku merasa lapar luar biasa. Aku menarik Andin dan Liona untuk segera ke kantin.

"Liat Sheva gak? Katanya dia mau gabung," kataku pada kedua sahabatku sambil menuang saus.

"Gak tuh," jawab Liona.

"Kok tumben mau gabung bareng kita?"

Aku mengangkat bahuku untuk menjawab pertanyaan Andin. "Gak papa kali. Dia temen kita juga."

Aku lihat Andin mencibir lewat sungutan bibirnya. Selanjutnya gadis itu melanjutkan makannya tanpa berkata apa-apa. Aku menggeleng-geleng pelan.

Aku melirik ke samping kanan saat mendengar sedikit kerusuhan di meja sebelah. Bintang sekolah yang diidolakan semua orang berada di sana. Malika, atau haruskah aku memanggilnya, my boyfriend's crush.

Tidak mengherankan jika dia dikelilingi banyak orang. Dari teman sebaya hingga ke adik kelas. Tidak mengherankan juga jika pacarku menyukainya. Yang mengherankan itu, kenapa mantanku ingin balikkan denganku. Atau kenapa dia mau jadi pacarku.

Aduh, kenapa aku menjadi sangat tidak percaya diri begini?

Aku menghela napas. Kemudian segerombolan anak laki-laki mendekat ke arahku. Bukan, tepatnya pacarku dan beberapa temannya. Selebihnya memencar ke meja lain.

"Lo gak makan?" tanyaku saat dia hanya menumpang duduk sedangkan dua temannya sibuk dengan makanannya.

"Udah," jawabnya sambil mencomot kerupuk pangsit dari mangkok Gama, temannya yang dihadiahi tamparan di tangannya dari pemilik makanan.

Aku menggelengkan kepalaku. Mereka datang justru membuat keramaian di sini.

"Pacar lo bukan gue. Jangan minta ke gue!" seru Gama kesal karena Rael terus mencomoti kerupuk pangsitnya.

Rael mendaratkan tangannya di atas meja. "Gimana caranya? Pacar gue gak peka."

Aku menatapnya yang melirikku. "Yang bilang dia udah makan gak usah nyindir," kataku. Rael mencibir lewat kerutan di bibirnya.

"Kelamaan gak peka nanti nyesel."

Aku meletakkan sendokku saat mendengar Andre bergumam. "Terserah kalau mau nambah dosa. Su'udzon in aja gue," kataku. "Perasaan siapa deh yang gak peka dari dulu?" gumamku dengan suara lebih kecil.

Diamond Heart: UnbreakableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang