2

22 3 2
                                    

Bulan lalu—Desember itu, Rael datang padaku dan meminta maaf. Dia mengatakan dia menyesal menyia-nyiakanku. Aku membencinya saat itu. Aku juga membenci diriku sendiri karena hanya melihat rintik-rintik hujan membasahi kepalanya, aku membuka pintu rumahku lebar-lebar dan memberikannya handuk untuk mengeringkan rambut.

Ujung-ujungnya dia minta balikan.

Dan dengan bodohnya aku mau.

I still—

Tapi semuanya tidak lagi sama.

Ya. Semuanya bohong. Hidupku penuh dengan kebohongan. Senyumku, tawaku, semuanya bohong. Semua yang aku lakukan, akan kusesali setelahnya. Semua kata tidak dalam otakku terucap ya di lidahku.

Aku tahu Rael hanya butuh pelarian, dan orang itu adalah aku. Suatu saat nanti, siap tidak siap Rael akan meninggalkanku lagi seperti waktu itu.

Lihatlah sekarang, Rael yang semula selalu bersikap manis, setelah tiga hampir bulan ini kami jarang bertemu, komunikasi yang sangat minim dan seolah orang baru, kami saling tidak tahu harus mengatakan apa saat bertemu.

Sudah kubilang, aku hanya pelarian. Setelah sembuh dari lukanya, pelarian tidak lagi dibutuhkan. Itulah keadaanku sekarang.

Jangan kasihan padaku, tolong.

Hari ini hujan lagi. Rael memaksa untuk mengantar hingga kami sedikit kebasahan. Aku pun memaksanya untuk tetap tinggal menunggu hujan reda karena hujannya bertambah lebat.

Rael duduk di karpet dan aku di atas sofa. Aku dengan senang hati mengusakkan handuk di kepalanya untuk mengeringkan rambutnya sementara Rael sendiri sibuk mengecek instagram sebuah merek brand yang ia gilai.

Rael sangat menggilai brand Levis. Terutama jaket denim. Aku sudah sering memperingatinya untuk tidak boros karena koleksi denimnya sudah menumpuk. Kalau aku sudah berkata demikian, pacarku ini akan mengganti pencariannya pada model motor ninja modifikasi.

Hah, dasar.

"Lo gak boleh beli yang begituan," kataku melihat apa yang ia pelototi.

Gambar-gambar motor modifikasi khas berandalan.

"Kenapa?" tanyanya sedikit mendongak dengan rambut jatuh menutupi sebagian matanya.

"Nanti lo nakal," jawabku lunak dan mengusak lagi rambutnya.

Tak mau melawan, Rael menghela napas dan menyandarkan punggungnya di kakiku yang berada di belakangnya. Kepalanya jatuh ke belakang, tepatnya di pangkuanku. Jadi posisi wajah kami berlawanan tapi cukup membuat jantungku berdetak tak karuan.

Dia menatapku. "Kalau udah lulus boleh?"

Aku menarik sudut bibirku. "Liat aja nanti kalau nilai lo bagus," jawabku. Aku lihat kedua pipinya tertarik untuk tersenyum.

"Siap," katanya dan kembali fokus pada ponselnya.

Sementara aku sendiri diam-diam mendengus sarkas. Sampai lulus? Aku sendiri tak yakin ia bisa tahan denganku hingga kelulusan nanti. Rael sendiri sudah menunjukan kejenuhannya berada di sisiku. Aku tak tahu kenapa sampai saat ini ia masih mau bertahan. Kenapa tak ia putuskan saja? Aku sudah tahu akan itu jadi ia tidak perlu khawatir aku merasa terluka. Karena dari awal aku sudah merasakannya.

"Udah teduh. Gue pulang yah?" Rael bangkit lalu menatap ke luar jendela.

Aku mengangguk saja. "Jaket lo basah. Tinggalin aja dulu. Kalo udah kering gue bawain."

Rael setuju. Aku menyuruhnya menunggu sebentar sementara aku ke kamar untuk mengambil jaket lain dalam kamar. Aku tidak akan membiarkan Rael pulang kedinginan seperti itu.

"Jaket lo?"

"Bukan, punya Papa. Tapi udah jadi punya gue dua tahun lalu," jawabku dan menatapinya tajam agar ia tidak menolak memakainya. Rael menurut dan memakai jaket yang sebetulnya berukuran besar itu, bagiku. Tapi tidak untuk Rael karena ukuran tubuhnya terbilang tinggi dan tegap.

Rael pergi menemui Mama di dapur. Aku tidak ikut dan tiba-tiba saja ia sudah kembali ke luar dengan kantong plastik yang isinya kutebak kue buatan Mama yang asapnya masih mengepul.

Sambil memegang jaket denim Rael yang basah, aku menunggunya pergi hingga tidak terlihat lagi.

Aku menghela napas. Pura-pura seperti ini saja aku sudah merasa bahagia. Seharusnya aku tidak perlu sesenang ini hanya karena Rael bersikap manis. Aku tahu itu palsu.

◻◻◻

Kalau ada diskusi berkelompok, pasti ada salah satu anggota yang tidak hadir pada saat presentasi entah karena alasan apa dan meninggalkan bagian yang menjadi tugasnya.

Aduh, aku kesal sekali kalau sudah begini.

Karena yang paling sering menjadi korban adalah aku. Aku harus mengerjakan yang bukan bagianku demi presentasi yang memuaskan. Karena, maaf-maaf saja, dalam kelompok aku rasa tidak ada yang peduli lagi.

"Sini gue bantuin." Andin mengambil separuh pekerjaanku. "Gue gak mau gabut," katanya ketus menyindir anggota lain.

Aku tersenyum lebar. Boleh dibilang Andin ini adalah orang yang paling peduli padaku di sini. Hatinya mudah tersentuh walaupun sering berbicara ketus.

"Lain kali gue gak mau sekelompok lagi sama Adrian. Kapok gue dia kabur mulu," sungut Andin. "Kalau bisa juga pasangan sama teman sebangku aja. Lebih seru."

"Kalau mau bantuan, bilang. Gak usah nyindir," sahut seorang cewek yang sedari tadi memainkan ponselnya.

"Gue gak ngomong sama lo," jawab Andin.

"Tapi lo nyindir gue."

Aku memutar bola mataku malas. Jika Andin sudah berhadapan dengan Liona seperti ini, telingaku hanya akan sakit karena kedua temanku ini sama-sama keras kepala dan tidak mau mengalah.

Habis sudah kesabaranku. "Kalau gak mau gak usah banyak omong. Sini gue kerjain," kataku kesal. Aku mengambil pekerjaan yang ada pada Andin dan mengabaikan kedua orang yang terdiam menatapku.

Kan? Korbannya itu selalu aku.

Tapi harus kuberi tahu kalau aku menikmati hidupku saat ini. Biar pun kedua orang ini sangat menyebalkan, tapi mereka tidak pernah membuatku merasa sakit hati oleh apa yang mereka lakukan. Di saat-saat tertentu, keduanya bisa menjadi sahabat yang dapat diandalkan.

◻◻◻

Diamond Heart: UnbreakableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang