< 08. Feeling blue >

87 8 1
                                    

Setelah tampil, Ara segera turun dari panggung. Ia berlari dengan terburu-buru menuju backstage.

" Ra. Sumpah suara lo cakep banget. Gue serius. Ikutan The Voice sana. "

Ellen berteriak heboh melihat sahabatnya. Ia merasa sangat bangga melihat Ara sangat memukau ketika menyanyi di panggung.

Semua pujian dilontarkan dari mulut kecilnya. Akan tetapi, Ara hanya mengabaikan Ellen. Ia terus memijit kepalanya sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok. Ia tidak mengira jika hal yang sudah lama tidak terjadi kini kembali ia rasakan.

" Ra? Are you okay? "

Ellen menepuk pundak sahabatnya pelan. Ia semakin khawatir ketika melihat wajah Ara pucat.

" Ra, lo kenapa? "

" Len, gue mau ke ruang kesehatan aja. "

Ellen dengan cekatan membantu Ara berjalan pelan-pelan sampai di ruang kesehatan.

" Ara, sebenarnya lo kenapa si? Kok tiba-tiba sakit gini? " tanya Ellen khawatir.

" Panjang, Len ceritanya. Gue juga gak ngira bakal kejadian lagi. "

Ellen menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya. Ia memiliki janji dengan seseorang.

" Ra. Lo ceritain ya nanti. Btw, gue ada janji mau COD sama kating. Lo gak apa apa kan di sini sendirian? "

" Gak apa-apa. Lo pikir gue anak kecil yang  bakalan nangis kalau ditinggal orang tuanya apa? " Ellen tersenyum kecil. Lalu mengarahkan sahabatnya itu untuk minum teh madu yang memang disediakan gratis di ruang kesehatan.

" Baik-baik ya Ara. Nanti kalau urusan gue udah kelar, gue balik lagi kesini. Bubye! " Ellen mengakhiri sesi obrolan itu dengan mengusap rambut Ara pelan. Ara menggerakkan ekor matanya ke arah Ellen yang sudah menghilang di balik pintu.

Kepalanya terasa berat. Mungkin efek trauma panggung yang ia derita cukup parah. Ara bingung. Sudah 10 tahun yang lalu, ia tidak pernah tampil di panggung. Namun, kenapa trauma ini masih ada. Memikirkan itu memicu kilasan memori masalalunya terkumpul sedikit demi sedikit bagai sebuah puzzle yang menyatu.

Tidak. Ara tidak ingin mengingat hal itu lagi. Sesuatu yang pahit di masalalu hanya akan mambuat dirinya sakit hati. Karena terlalu lelah berpikir, Ara akhirnya tertidur.

****

Suasana dinginnya kafe tidak menerpa atomosfir yang berada di antara Haruto dan sosok gadis yang sibuk menyeruput americano di depannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suasana dinginnya kafe tidak menerpa atomosfir yang berada di antara Haruto dan sosok gadis yang sibuk menyeruput americano di depannya. Sedari tadi Haruto hanya menatap resah ke arah gadis itu.

" Cepat katakan. Kenapa kamu kembali? "

Suara bariton Haruto menginterupsi sosok gadis itu. Ia menghentikan aktivitasnya. Lalu menatap presensi laki-laki di depannya.

" Aku kembali ya terserah aku. Itu hak aku Haruto. " Gadis itu memperlihatkan senyuman yang licik.

" Aku tidak yakin jika kamu kembali tanpa alasan. "

Gadis di depannya terkekeh melihat Haruto yang menatap dirinya dengan menyelidik.

" Kamu terlalu negative thinking. Ya sudah, kalau itu maumu. Aku akan memberikan alasan kenapa aku kembali. Ingat, kamu yang mendorongku. "

" Setelah lama menghilang. Kamu kembali membawa masalah. "

" Ya, dan ingatlah, Haruto. Kamu akan menanggung sejumlah masalah setelah ini.  "
Gadis itu kembali menyeruput kopi americano nya.

" Inikah perlakuanmu padaku? Bisa-bisanya kamu menyambut gadis kesepian ini dengan kata-katamu itu? "

Oh tidak. Haruto tidak ingin mendengar ini. Sudah cukup ia dibayang-bayangi rasa bersalah selama beberapa hari ini karena kemunculan gadis itu. Ia tidak ingin gadis itu memperjelas hal yang sudah Haruto lupakan.

" Kau tahu betapa menderitanya aku tanpa kehadirannya? Aku kesepian. Aku hilang arah, Haruto. Sosok laki-laki yang kupercayai. Yang melindungiku sudah tiada. "

" Tolong jangan lanjutkan kata-katamu, Hana. "

Haruto merendahkan suaranya namun tegas. Gadis yang bernama Hana itu berhenti. Namun ia melanjutkan kata-katanya.

" Kamu. Pembunuh. "

Brakkkk

" HENTIKAN, ICHIKO HANA!!!! "

Haruto menggebrak meja dengan keras hingga seluruh pandangan orang-orang teralih padanya.

" Kenapa? Kamu malu dengan kesalahanmu? "

" A..Aku tidak membunuhnya. Kamu tahu itu, Hana. "

Walaupun terbakar amarah, keringat dingin mengucur deras dari tubuhnya pertanda jika ia ketakutan.

" Kalau kamu tidak membunuhnya, kenapa omonganmu terbata-bata. "

" Karena aku- "

" Stop! "

Hana mengarahkan telunjuknya tepat di depan bibir Haruto. Ia tersenyum penuh kemenangan.

" Kamu gak perlu susah-susah menjelaskan karena aku tidak peduli itu. Yang aku butuhkan adalah.. "

" Kehancuranmu. Kamu tunggu saja. "
Setelah mengatakan itu, Hana pergi meninggalkan Haruto yang diselimuti rasa takut serta kacau. Ia hanya menarik napas panjang.

Setelah ini, ia tidak akan bisa hidup tenang. Mimpi buruknya akan kembali dan berbagai masalah sudah siap menyambutnya nanti. Ditengah kacaunya seorang Haruto, suatu pikiran terlintas di kepalanya.

" I need my remedy right now. Ra, I need your presence. "

*****

Lovey Dovey ; Watanabe HarutoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang