Pada akhirnya, di dalam ruangan UKS tersebut, terceritakan semuanya satu per-satu kejadian serta sebab dan akibat terjadinya perkara ini. Beliau begitu handal dalam memberikan bimbingan kepada anak-anak seumuranku meski beliau hanya guru TU atau Tenaga Umum yang pada umumnya hanya menjadi guru olahraga/penjas, koperasi atau pun ekstrakulikuler pada masa itu.
Beliau bukan orang yang ber-title demi menjadi seorang guru, tenaga pengajar, atau seorang "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa". Beliau benar-benar mendedikasikan pikiran dan tenaganya demi mendidik kami. Saat itu, guru begitu berdedikasi dalam mendidik dan mencari tahu bakat anak didiknya baik secara akademis maupun mental.
Setiap pengajar di sekolah-sekolah pada masa itu adalah mereka yang benar-benar menjiwai bidang mereka. Mereka yang berdedikasi tinggi demi mendidik dan mengarahkan kami, generasi penerus mereka, agar berguna untuk diri sendiri dan orang lain.
Seusainya semua ceritaku, setelah beliau yakin bahwa tidak ada lagi cerita yang tertahan dariku, beliau tidak langsung memberikan ataupun memutuskan hukuman yang akan aku terima setelah melanggar norma aturan umum sekolah sebagai seorang siswa.
"Hmm–" Beliau bergumam, sejenak menghela nafasnya lalu kembali duduk ke kursi di depanku. "Begini, nak Dian ... Memang– tidak salah, kamu membela dirimu sendiri dengan perlawanan saat ditindas. Namun, tidak berarti benar juga caranya kalau kamu seperti ini. Melampiaskan segala kemarahan tanpa berpikir." Lanjut beliau menasehatiku dengan nada yang tenang, terasa lembut walaupun suara beliau berat.
Bagiku, alih-alih mendengarkan sebuah nasehat– lebih terasa seperti mendengarkan sebuah cerita. Sisa-sisa isak tangisku pun terhenti. Teralihkan perhatianku kepada cara beliau yang sedang menasehatiku.
"Iya pak, maaf ... " jawabku yang kemudian menundukkan tatapan serta kepalaku merasa bersalah.
"Looh? Maafnya bukan ke bapak loh nak." tepuknya halus pada lututku sambal tersenyum lembut. "Itu nanti. Kamu harusnya minta maafnya sama Andika. Tapi– nanti ingat baik-baik! Perlawanan itu, memang perlu. Tapi kekerasan, bukanlah satu-satunya jawaban." Tambahnya lagi.
"Iya pak, maaf. Saya salah." Aku menjawab dengan jawaban yang sama.
Masih tertunduk, dengan perasaan bersalah. Namun, amarahku tak lagi bergejolak di dalam dada.
Selang beberapa saat terdiam merenungi, beliau kemudian mengarahkan kedua lengannya ke arahku. Mengangkatku turun dari sisi tempat tidur UKS tersebut. Aku diam, menurut pada apa pun yang beliau akan lakukan.
"Ayo nak, kita ke majelis guru dulu sebentar. Sudah engga nangis lagi kan?" Beliau berujar. Tak seperti sedang bertanya.
Aku menjawabnya dengan menggelengkan kepalaku dengan muka polosku. Kedua mataku yang sedikit sembab sehabis menitiskan air mata, meskipun tak meraung.
Beliau mulai berjalan, membuka pintu untuk keluar dan berdiri tegak menghalangi pintu agar tak tertutup. Beliau mengambil posisi seperti itu memberikan sebuah isyarat dengan tubuhnya yang menyuruhku untuk keluar dahulu sebelum beliau. Aku pun mengikuti arahannya. Melewati beliau yang lalu menunggunya di luar depan pintu UKS.
Suara berisik sekolah pada umumnya kembali terdengar. Gema suara dari guru-guru yang sedang mengajar, menjelaskan materi pelajaran di kelasnya dan sembari suara ketukan antara penggaris kayu atau penghapus papan tulis bertemu dengan papan tulis pun sesekali terdengar.
Aku berdiri tegak diluar pintu tertunduk dengan polosnya menunggu Pak Djailani keluar dari UKS. Sebelum keluar, beliau merapikan kembali ruangan tersebut. Meletakkan kembali kursi yang beliau gunakan ke tempat di mana beliau mengambilnya. Sedikit merapikan tempat tidur di mana aku duduk, dan lalu beliau keluar sembari menutup pintu di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandian, 1992.
Ficção GeralCerita ini menceritakan tentang jalan hidup dari seseorang yang bernama Dandian dalam lika-liku kehidupannya. Kenangan masa kecilnya, dilema serta konflik-konflik dunia yang dijalani olehnya. Kemudian bertemu dengan sekian banyak orang yang menjadi...