Hari kedua setelah menemukan kelas dan bertemu wali kelas baru. Bila beruntung maka akan mendapat wali kelas yang masih muda dan cantik, ganteng dan keren, ataupun yang baik. Namun naas bila tertimpa sial maka harus siap punya wali kelas yang garang dan tegasnya bukan main, biasanya sih menganut ajaran guru-guru lama (bisa jadi hampir mau pensiun).
Lalu ada lagi pemilihan pengurus kelas yang tidak mau partisipasinya dan harus ditunjuk agar tercantum namanya. Kental dengan adanya provokasi nama-nama yang harus ditunjuk oleh guru.
Untuk hari ini, pada pukul setengah enam pagi Sintia sudah melangkah keluar dari pagar rumah. Karena tak ada yang mengantar maka iapun harus rela berjalan kaki sejauh tiga setengah kilometer. Biasanya membutuhkan waktu hampir satu jam.
Bila Sintia berjalan kaki, dari belakang dengan sepeda Andrian datang. Suatu kebetulan—atau malah kebiasaan yang sulit untuk dilupakan.
"Sin, bareng yuk," ajak Andrian ketika memberhentikan sepedanya di samping Sintia. Seperti biasa, senyum ramah berada di wajahnya. "Ama gua."
"Iih... Ga ah," tolak Sintia sambil menatap pohon yang memayungi mereka. "Biar aja jalan Rii."
"Masa jalan, nanti capek," kata Andrian masih bersikeras untuk mengantarnya. "Udah apa ayuk Tia." Sintia masih diam dan menundukkan kepalanya. "Daripada jalan mending kita bareng."
"Nanti kalo bareng lu yang capek," kata Sintia, menatap sepatu miliknya.
Ia tersenyum, mengingat betapa seringnya mereka berangkat bersama. Saat mereka baru sekali masuk SMA Andrian akan sangat senang juga mereka berangkat bersama. Kenangan yang seperti itu yang membuat dirinya merasa sangat beruntung bisa mengenal cowok sebaik Andrian.
Lamunan Sintia hilang tergantikan oleh senyuman tipis. Tidak ada perubahan sepertinya diantara mereka. Andrian masih cowok yang sama yang selalu mau mengantar dirinya ke sekolah walaupun hanya dengan sepeda.
Klakson motor menarik perhatian mereka berdua. Guru mereka, Bu Nia yang mengendarai motor berhenti di samping mereka. Mereka pun lantas Salim kepadanya.
"Pada ngapain di sini?" Tanya guru mereka.
"Saya lagi jalan dia nyamperin," jawab Sintia, menunjuk ke temannya itu.
"Kan saya niatnya mau nganter dia," kata Andrian. "Susah Bu diajaknya. Ga mau terus."
"Kamu lagian pake sepeda," kata guru mereka, menggelengkan kepalanya. Sintia tertawa geli sementara Andrian menggaruk kepalanya sedikit karena bingung ingin jawab bagaimana. "Udah Sintia bareng ibu aja, naik motor hehehe."
"Yey Naik motor," Sintia merasa sangat senang dan beruntung karena tidak perlu berjalan kaki menuju ke sekolah. "Bay bay Rian!" Ucapnya sambil melambaikan tangan kepada Andrian ketika ia dan guru mereka pergi.
"Eh ehee! Ya elah.. gua ditinggal."
✡✡✡
Berkat tumpangan dari Bu Nia Sintia dapat sampai lebih cepat. Dengan santai Sintia berjalan menuju tangga ke lantai dua tempat kelasnya. Memang pengaturan kelas berdasarkan tingkat lantai, maka sebagian besar kelas sebelas ada di lantai dua sekolahnya dan Sintia pun malas untuk menaiki tangga sebenarnya.
Entah darimana datangnya namun ada seorang cowok, tanpa bilang apa-apa, dia mendorong Sintia kesamping dan hampir membuat jatuh bila tidak berpegang pada pegangan tangga. Sekejap saja mereka bertatap mata, tak pernah Sintia melihat ia sebelumnya, sebelum cowok tersebut berlari ke atas.
"RENDIII!!" Anggie berteriak keras lalu mengejar cowok yang tadi ke atas tangga. "Reennddiii siniiin uang guaa!!!"
'Ada apaan sih si Anggie?' Sintia menekuk alisnya kesal lalu menaiki tangga menuju lantai dua. Karena dia ditabrak pikirannya sukses menjalar ke keluar dari raganya. 'Yang tadi itu siapa? Ketakutan kayaknya, apa pacarnya Anggie? Perasaan dia tidak punya pacar.'
Karena terlalu melamun pada akhirnya ia sampai sudah di lantai tiga. Dilihatnya kelas-kelas yang ada di lantai yang paling atas tersebut dengan wajah heran dan seperti orang yang nyasar di pasar. Setiap kelas malah memiliki XII di depannya dan penuh dengan kakak kelas. 'Kenapa kelas dua belas semua ini?'.
Sampai akhirnya ia pun bertemu dengan salah satu guru Sejarah mereka. "Bapak ini kelas sebelasnya mana?"
"Loh, kalo kamu kelas sebelas ngapain di sini?" Tanya guru tersebut, menjadi tertawa dan menepuk pundak Sintia. "Kelas sebelas di bawah, lantai dua."
"Terus ini lantai apaan?!" Tanya Sintia sudah malu berat dan melihat-lihat sekeliling. "Aahh saya salah lantai!!"
Sintia pun harus menahan malu dan bergegas menuju ke lantai bawah agar tidak bertemu dengan guru lain dan menambah malu. Semua karena cowok tadi yang menabraknya.
Sesampainya di kelas ia meletakkan tasnya di mejanya dan juga duduk diam. Ia kesal karena kejadian yang memalukan tadi. "Siapa sih cowok itu?" Gumamnya lalu pergi ke pintu kelas yang masih kosong. 'Mending tanya Anggie aja.'
Ia kemudian menuju ke kelas IPS D dimana Anggie dan Tasya berada. Dari Pintu kelas tersebut ia bisa melihat Anggie yang sedang marah-marah dengan cowok yang sama. Masalah mereka tambah berat saat cowok tersebut mengacuhkannya. Sesaat melirik keluar dan selanjutnya menoleh sepenuhnya ke arah pintu kelas ketika melihat Sintia.
"Itu dia siapa dah?" Tanya cowok tersebut, menunjuk Sintia dengan dagunya.
Satu kesan pertama adalah Sintia yang sudah terlihat judes sambil membetulkan posisi kacamatanya. Ia kemudian memasuki kelas mereka, memperhatikan cowok tersebut. Baju seragam yang tidak dimasukkan ke dalam, dasi yang tidak rapi, dan rambut yang sedikit acak-acakan. Penampilan ala bad boy sekolahan dengan tampang yang cukup untuk dibilang ganteng.
"Kalo lari paling ga liat-liat," kata-kata panas Sintia terlontar dari mulutnya dengan tangan yang berada di pinggang dan satu di mejanya. "Punya mata kan? Pake yang bener."
Tatapan kesal datang dari cowok tersebut dan menggebrak mejanya. "Eh lu yang ngalangin jalan ya, udah tau lagi buru-buru. Jan nyalahin orang!"
Tak gentar dengannya Sintia pun juga bisa menggebrak meja, malah lebih keras gebrakannya daripada dia. "Heh denger ya, lu ga usah nyalahin gua atau gebrak-gebrak meja. Lu pikir gua takut? Kagak, jadi lo kalo mau kemana-mana liat pake mata," intimidasi Sintia sukses menggoyangkan sedikit dari nyali cowok tersebut.
Walau memakai kacamata mata tajam Sintia terlihat seperti berapi-api dengan raut wajah yang bisa dibilang tanpa ekspresi. "Mikir lagi kalo mau apa-apa."
Tanpa kata-kata lain Sintia berbalik lalu berjalan keluar dari kelas mereka. Tatapan tajam melekat betul di wajah cowok tersebut sambil mengepalkan tangan.
"Sialan ah, siapa sih cewek tadi?! Bener-bener..." geramnya lalu melihat Anggie dan Tasya yang dalam keadaan 'shock berat' dan tak bisa berkata apa-apa.
Baru pertama kali mereka bisa melihat bagaimana Sintia bisa menjadi seram hingga mengintimidasi seperti karakter antagonis FTV. "Lu berdua temennya nenek lampir tadi ya?"
"Anjir, nenek lampir," ucap Tasya kesal. Tidak terima pastinya ketika temannya dihina. "Dia itu Sintia Nur Dzakiah, jangan macem-macem deh Lo, tau kan tadi dia serem gitu."
"Lagi lu Rendy, make ngegas," Anggie memukul bahu cowok tersebut dengan buku tulis. "Si dia mah kalo digas malah makin kenceng itu nanti."
"Lagi dia jadi cewek galak gitu, ga ada yang mau nanti," Kata Rendy kesal.
"Siapa bilang?" Kata Anggie lalu menggeleng sedikit.
------------
A/N:
Hello again! Kasian banget Sintia sampai salah lantai karena Rendy. Kalau bisa vote dan comen ya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sintia & Andrian
Roman pour AdolescentsAndrian, Dia itu sangat baik sekali kepadaku. Dia ganteng, dia juga bisa jadi humoris orangnya, dan kadang suka ngeselin. Di sekolah dia punya banyak fans cewek, banyak banget yang suka sama dia. Dia juga kapten tim basket jadi ya wajar jika masuk...