Ig : @anantapio26_
Pernah ada rasa sesal bercampur kesal lantaran kenapa harus dirinya yang menjadi kakak dari adik yang mengidap down syndrome? Sempat pula ada perasaan malu yang membiru. Namun, dengan cepat ia tepis hingga habis. Bocah itu memiliki keistimewaannya tersendiri. Hatinya yang tulus, senyumnya yang jujur, pandangannya yang teduh dan sorot matanya yang hangat serta tingkahnya yang jenaka, meski sering kali kesabarannya sebagai seorang kakak harus teruji.
Tapi sekarang ia sudah dewasa. Sudah tahu bagaimana cara memperlakukan sang adik yang memiliki keistimewaan dengan begitu istimewa.
Sore ini di halaman depan rumah, bocah kecil itu terlihat bersemangat menggiring bolanya meski tidak sesempurna kebanyakan anak seusianya di luar sana. Tepuk tangan dari seorang Aldo ramai menyemangatinya. Selisihnya yang hampir tujuh belas tahun membuat Aldo harus lebih percaya pada rencana Tuhan. Bisa saja Dodi, sang adik dihadirkan sebagai penebus dosa besar yang pernah ia lakukan hingga membuat hati kedua orang tuanya hancur lebur. Tepatnya saat beberapa waktu lalu, saat dirinya divonis positif mengidap HIV/AIDS akibat salah bergaul.
"Ayo! Ayo! Ayo! Pasti bisa!" seru Aldo mengikuti Dodi yang tengah berusaha menggiring bola menuju gawang.
Dodi pun bersuara ikut menyemangati dirinya sendiri.
"Ayo! Tendang yang keras!" seru Aldo.
Duk!
"GOAL!!!" Dan bola itu masuk. Seketika Aldo bersorak gembira sembari berselebrasi menggendong Dodi ke pundaknya. Dodi ikut bersorak gembira melebihi suara Aldo.
"Hebat! Toss!" Aldo mengangkat tangannya untuk bertos-ria dan Dodi menerimanya dengan mantap.
Prok!
Lalu tertawa bersama.
"Haus?" tanya Aldo pada sang adik yang kemudian mengangguk.
Aldo menurunkan Dodi dari punggungnya. Lalu meraih botol minum miliknya untuk diberikan pada sang adik. "Nih, punya Aa. Minum aja," ucapnya sembari menyodorkan tumbler miliknya.
Namun bukan Dodi yang menerima, melainkan Irish. "Cukup kamu yang gagal. Dodi jangan," ucapnya tegas dengan sorot mata yang tajam.
Aldo menengadah. Membalas tatapan Irish yang menunjukkan rasa kekecewaan terhadapnya. Ia kembali merunduk dan mengangguk pelan. "Tapi kata Dokter Vivi—" Ucapan Aldo terputus begitu saja saat Irish kembali berbicara dengan cepat. "Cukup Aldo! Sampai kapan pun Bunda akan tetap kecewa sama kamu," ujarnya.
Menghela napasnya dengan pasrah. Aldo memilih diam.
"Ayo Dodi, kita pulang. Ayah udah nunggu," ajak Irish meraih tangan Dodi.
Dodi malah menatap Aldo dengan matanya yang seperti sinar bulan di langit tengah malam. "Aa masih ada tugas kuliah. Besok kita main lagi. Oke?" ucap Aldo berdalih dengan semangat.
"Oke!" seru Dodi mengangkat ibu jarinya. Kemudian Aldo menyatukan ibu jarinya dengan milik Dodi. "Sip," ucapnya.
"Ayo sayang," ajak Irish membawa Dodi.
"Dadah!!!" seru Dodi melambai ke arah Aldo.
Aldo membalas lambaian tangan bocah suci itu. Senyum palsunya mengembang perih ke arah Dodi. Terlihat jelas mata Irish yang selalu menampakkan kekecewaan setiap menatapnya. Entah apa lagi yang harus Aldo lakukan untuk menyembuhkan luka di hati Irish dan Ganda karena perbuatannya. Ia yang tengah menjadi kepercayaan kedua orang tuanya malah merusak kepercayaan itu dengan begitu mudahnya.
Dodi sudah menghilang di balik pintu besar dengan ukiran rumit bersama Irish. Aldo membalikkan tubuhnya lalu menghela berat. Ada rindu yang tengah mencela dirinya karena tak mampu meredamnya, ada keluh kesah yang sedang mengoyakkan ketenangannya lantaran ia tak mengerti cara untuk memperbaiki semuanya. Segalanya sudah terlanjur hancur. Sudah terlalu lebur untuk dikembalikan menjadi utuh.
Kakinya melangkah keluar dari pelataran rumah yang berhasil menjadi saksi bisu masa kecil dan bahagianya, sebelum semuanya berubah kelam.
TBC...
Vote dan komennya jangan lupa yaw :*

KAMU SEDANG MEMBACA
MY PERFECT LITTLE BROTHER
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) HIV dan AIDS adalah dua penyakit yang berbeda namun keduanya saling berhubungan. HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh secara drastis sehingga dengan...