MPLB 06 - Kue Untuk Bunda

254 44 4
                                    

Ig : @anantapio26_

Aldo membuka kelopak matanya. Tidak seharusnya ia berkata seperti itu pada Sandra. Bukan kah ia sudah berjanji untuk melupakan semuanya dan memperbaiki semuanya dari awal? Bukan kah ia sudah berjanji untuk itu? Ia mengecup puncak kepala Dodi.

Dodi mendongak. Menatap Aldo yang terlihat sedang kalut. Tatapannya seakan semakin mengerti dengan segala kepedihan yang Aldo rasakan. Tangan mungilnya menyentuh wajah Aldo, menarik kedua pipinya agar membentuk sebuah senyuman. "Se-nyum," pintanya.

Aldo menatap Dodi. Ia sudah berjanji untuk memenuhi segala pinta sang adik, namun entah kenapa malah air matanya yang jatuh bukan senyuman yang terbentuk dari sepasang bibirnya. Sandra benar, ia bukan pembohong yang baik. Bahkan untuk hal itu, ia tidak pantas untuk melakukannya. "Maafin Aa," ucapnya mengecup dan memeluk Dodi.

Dodi mengangguk. Ia menghapus air mata yang membasahi pipi sang kakak. Dalam hatinya berjanji, tidak akan membiarkan Aldo sedih begitu saja. Entah, sanubarinya terasa sakit saat melihat Aldo menangis. "A-ku say-ang Aa," ujar Dodi.

"Makasih ya." Aldo mengecup Dodi lagi. Kemudian bangkit, berjalan menuju halaman belakang. Semburat matahari sore sudah hilang terhalang awan hitam yang siap menumpahkan hujannya.

"San," panggilnya yang berdiri di ambang pintu sambil menatap Sandra yang sedang asyik bermain di gazebo bersama Tika.

Sandra menoleh. Aldo mendekat.

"Mau hujan," ucap Sandra.

"Iya. Ayo masuk." Ah entahlah, topik apa yg akan menjadi bahasannya. Ia ingin meminta maaf pada Sandra, namun Sandra sudah berlalu masuk duluan dengan membawa Tika dan Dodi. Ia meninggalkan Aldo, membiarkannya berdiri sendirian di tempat.

Sandra sudah menghilang masuk ke dalam rumah. Pandangannya ia lempar ke sejauh mata memandang. Kebun-kebun hijau yang berubah menjadi gelap, pohon-pohon yang tinggi menjulang dan suara burung-burung yang saling sahut-menyahut. Aldo menghela sejenak. Ia berusaha menormalkan segala kecamuk di pikirannya. "Maaf. Maafkan si pendosa ini Tuhan," lirihnya.

Seketika Aldo meraba saku celananya saat merasakan suara dering dari ponselnya yang menampilkan nama Irish di kontak. "Iya Bun," sahutnya untuk yang di seberang.

"Dimana Dodi?" tanya Irish langsung ke intinya.

"Ada. Dodi masih asyik main, Bun."

"Pulang sekarang. Bunda nggak suka kalau cara kamu seperti ini."

"Iya Bun. Maaf."

Tut ... tut ....

Irish mematikan saluran teleponnya sepihak. Aldo bergegas menemui Dodi. Bocah kecil itu rupanya sedang asyik mendengarkan dongeng Sandra dari boneka-bonekanya. Mereka tengah duduk di atas karpet hijau muda yang lembut.

Aldo mengambil duduk di samping Sandra. "Nyokap nelpon, dia minta Dodi buat pulang sekarang," ujarnya tanpa basa-basi.

"Kamu yakin?" Sandra melempar pandangannya ke arah luar jendela. "Di luar gelap banget. Udah mau hujan," tuturnya. Sebenarnya ia masih ingin berlama-lama main dengan Dodi, karena menurutnya bocah kecil itu yang membuatnya merasa seluruh masa yang kini hanya sebatas menjadi kenangan seakan terulang kembali. Masanya dulu saat masih merasakan hangatnya kecupan Mama dan pelukan Papa.

Aldo mengangguk. "Lagi pula besok kita masih ada kelas," ingatnya.

Dengan berat hati Sandra menuruti kemauan Aldo dan ikut bersiap-siap untuk pulang.

***

Hujan sudah turun dengan deras. Dodi melambaikan tangan ke arah Tika. "Sam-pai ju-mpa," serunya sebelum memasuki mobil dan duduk di seat tengah. Di kejauhan Tika membalasnya.

Aldo segera masuk dan duduk di belakang kemudi. Sandra sudah siap. Ia melajukan kendaraan roda empatnya menerobos hujan lebat. Tidak ada hal yang menghambat perjalanan menuju pulang. Namun satu hal yang kini menjadi daya tarik Sandra juga Dodi, yaitu tatapan Aldo yang fokus juga terlihat hampa. Laki-laki itu terus melajukan mobilnya dengan kecepatan normal. Hening, tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.

Sedangkan Aldo, pikirannya tengah diperas keras. Bagaimana dengan Irish yang akan semakin marah kepadanya, juga Ganda yang akan semakin kecewa?

"Al." Bertepatan dengan itu. Aldo menghentikan laju mobilnya. Di depannya ada toko yang menjual berbagai macam kue. Ia tahu toko itu, toko yang menjadi langganan Irish dan Ganda saat berlibur ke puncak dan pasti menyempatkan untuk mampir ke toko itu. Ia ingat saat Ganda memberikan kue yang menjadi favorit Irish.

"Ayo," ajaknya untuk keluar dari mobil. Hujan masih mengguyur pelataran bumi dengan deras.

"Kita mau ngapain?" Aldo tidak langsung menjawab pertanyaan Sandra. Ia meraih payung lipat dari dalam dashboard mobil.

"Ada satu hal yang harus lo bisa," jawab Aldo setelah itu keluar dari mobil. Menjemba Dodi dan kembali memutar untuk memayungi Sandra.

"Hal apa?" tanya Sandra mengikuti langkah Aldo.

"Ini." Aldo menunjuk nama kue yang terpampang jelas berada di atas pintu masuk.

Sandra mendesis. "Gue juga bisa kali," angkuhnya sambil memajukan bibirnya.

Aldo yang sedang menggendong Dodi tersenyum. "Bener loh, ya," ujarnya masuk ke dalam kedai kue. Sedangkan Sandra malah menepuk dahinya sambil merutuki dirinya sendiri.

***

Mobil yang ia kendarai berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Aldo melirik Sandra penuh makna. Lantas Sandra menggelengkan kepalanya dan berujar, "Gue belum siap."

Baiklah, kali ini Aldo harus menghargai keputusan Sandra. Bersama Dodi ia keluar dengan membawa dua kotak kue yang akan ia berikan untuk Irish juga Ganda.

Hujan rupanya turun dengan merata. Pelataran basah membuat bias cahaya nampak seperti berlian. Langkah Aldo berhenti tepat di depan pintu utama. Mengetuknya lalu menunggu seseorang yang akan membukakan pintu untuknya.

Dodi melingkarkan tangannya di leher Aldo. Lalu bersandar dengan nyaman. Pangeran kecilnya sudah merasa kantuk. "Ngantuk ya?" tanya Aldo.

Dodi mengangguk. Tak lama setelah itu, terdengar pintu yang di buka lebar dan menampakkan sosok malaikat yang Tuhan kirimkan untuknya. Irish terlihat melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Aldo penuh peringatan.

"Belum cukup Bunda sisain waktu dua jam setiap hari?" tanya Irish menusuk.

"Maaf Bun," balas Aldo melonggarkan gendongan Dodi untuk memberikannya pada Irish. "Oh iya, ini untuk Bunda," susulnya memberikan kue favorit Irish setelah Dodi berpindah ke gendongan Irish. "Aldo beli ini sebagai permintaan maaf," tambahnya dengan senyum yang mengembang.

Sebenarnya banyak yang ingin Irish luapkan mengenai kekhawatirannya pada Dodi. Namun melihat keadaan Aldo yang seperti ini, membuatnya lebih memilih untuk tidak melanjutkan omelannya. Bukan karena Aldo membawakan kue favoritnya, melainkan karena tubuh Aldo yang semakin hari semakin terlihat lemah. Sebagai seorang Ibu, serapat apapun Aldo menutupi semuanya ia pasti akan merasakan semua itu.

"Kamu sudah makan?" tanya Irish pada akhirnya. Namun pertanyaan itu berhasil membuat Aldo terkejut. "Em ... udah," jawabnya.

"Jangan bohong," tukas Irish lebih lembut.

Tanpa sadar Aldo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Em ... Aldo udah ditunggu temen, Bun," ujarnya berdalih.

"Makan dulu. Bawa temenmu ke sini," titah Irish kemudian masuk ke dalam.

TBC...

MY PERFECT LITTLE BROTHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang