Seluruh rakyat Kadipaten Bojong Picung saat ini tumpah ruah memadati sepanjang jalan utama kadipaten yang tidak begitu besar itu. Sorak sorai bergema menyambut serombongan orang berseragam yang berkuda, mengawal sebuah kereta besar terbuka. Semua orang yang memadati pinggir jalan, mengelu-elukan sekitar tiga puluh orang yang berada di atas kereta itu.
Di antara penumpang kereta, terlihat enam orang wanita berwajah cantik dan bertubuh indah. Mereka itu memakai kemben dari kain halus berwarna cerah. Wanita-wanita itu mengumbar senyum dan sesekali melambai-kan tangannya. Tampak duduk di depan dekat kusir kereta, seorang laki-laki berusia lanjut. Pakaiannya merah menyolok, dan berikat kepala berbentuk lancip tinggi. Bibirnya yang hampir tertutup kumis putih, selalu menyunggingkan senyum.
Rombongan kecil itu terus bergerak mengelilingi seluruh Kota Kadipaten Bojong Picung. Semakin dekat ke arah kadipaten, semakin banyak orang memadati jalan. Sehingga, laju rombongan itu agak tersendat. Hal ini membuat orang-orang berseragam prajurit yang berada di atas, bergegas menghalau orang-orang yang menghalangi jalan.
"Minggir...! Minggir...!"
Bentakan-bentakan keras terdengar di antara seruan-seruan orang yang mengelu-elukan penumpang kereta besar itu. Rombongan kecil itu terus mendekati pintu gerbang kadipaten yang dijaga ketat sekitar sepuluh orang prajurit bersenjatakan tombak panjang. Mereka bergegas membuka pintu gerbang, seraya berjaga-jaga menghadapi orang- orang yang mencoba menerobos masuk mengikuti rombongan kecil itu.
"Cepat, tutup pintunya...!" Terdengar teriakan keras bernada memerintah.
Pintu gerbang dari kayu jati tebal yang tinggi dan kokoh itu ditutup setelah rombongan kecil melewatinya. Sorak-sorai masih terdengar di luar benteng kadipaten. Sedangkan rombongan kecil itu terus bergerak mendekati sebuah bangunan besar dan indah yang dijaga ketat para prajurit bersenjata lengkap.
Rombongan itu langsung disambut penguasa Kadipaten Bojong Picung. Orang-orang yang berada di kereta terbuka dan cukup besar itu langsung dibawa ke dalam sebuah ruangan besar beralaskan permadani bulu yang tebal dan halus. Mereka duduk bersila, sedangkan sang adipati duduk di kursi berukir didampingi dua orang pengawal. Di samping Adipati, duduk seorang wanita cantik berbaju merah dari kain sutera halus yang agak ke-tat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah.
"Aku gembira akhirnya kau memenuhi undanganku, Ki Jawara," kata Adipati Anggara.
"Hamba merasa undangan ini sebagai suatu kehormatan, Gusti Adipati. Hamba membawa seluruh anggota, termasuk penari-penari utama," sahut Ki Jawura.
Adipati Anggara tersenyum, dan semakin lebar. Bola matanya berputar merayapi wanita-wanita cantik yang duduk di belakang laki-laki tua berbaju merah. Di belakang laki-laki tua itu, duduk berjajar beberapa laki-laki muda dan tua, yang terdiri dari para nayaga dan para penari pria.
"Kudengar, rombonganmu sudah cukup ter-kenal. Oleh karena itu, aku ingin melihat pertunjukanmu, Ki Jawura. Dengan demikian, aku secara khusus mengundangmu untuk main di sini, menghibur seluruh rakyatku selama tujuh malam penuh," jelas Adipati Anggara.
"Terima kasih, Gusti Adipati," ucap Ki Jawura seraya menyembah, merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Sikap Ki Jawura diikuti yang lainnya. Sehingga, membuat Adipati Anggara semakin senang, dan senyumnya juga semakin lebar menghiasi kecerahan wajahnya. Namun tidak demikian dengan wanita yang duduk di sampingnya. Wajahnya kelihatan tidak gembira, bahkan sedikit pun tidak tersenyum. Sikap wanita muda itu sama sekali tidak mendapat perhatian Adipati Anggara yang tengah bergembira akan kedatangan rombongan pimpinan Ki Jawura ini.
"Perjalanan yang kalian tempuh tentu sangat jauh dan melelahkan. Sudah kusediakan tempat untuk kalian beristirahat. Malam ini kalian akan tampil khusus untukku, dan keesokan hari baru bermain di alun-alun kadipaten," jelas Adipati Anggara lagi.
“Terima kasih, Gusti Adipati," ucap Ki Jawura penuh rasa hormat. Dengan diantar dua orang prajurit dan seorang pelayan wanita, rombongan penari itu menuju tempat peristirahatan nya yang sudah disediakan. Sedangkan Adipati Anggara masih saja duduk di tempatnya didampingi wanita muda berparas cantik, dan berkulit putih halus.
"Kelihatannya kau tidak suka, Diah?" tegur Adipati Anggara baru menyadari sikap wanita itu.
"Ayahanda yang berkuasa di sini. Nanda tidak bisa berbuat apa-apa," sahut wanita berbaju merah itu yang bernama Diah Mardani. Nada suaranya terdengar keras.
"Kau anakku. Tentu saja kau bisa mengemukakan pendapatmu di sini. Sudah tentu rombongan penari itu tidak akan kupanggil, kalau kau tidak suka," kata Adipati Anggara seraya mengelus rambut Diah Mardani yang hitam dan panjang.
Gadis itu tidak menyahut. Diberikannya sembah kepada ayahnya itu dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Sebentar kemudian gadis itu pergi dari ruangan itu. Adipati Anggara menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah anak gadisnya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
36. Pendekar Rajawali Sakti : Penari Berdarah Dingin
ActionSerial ke 36. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.