BAGIAN 2

918 34 0
                                    

Siang ini udara terasa begitu panas menyengat. Matahari bersinar terik, seakan-akan hendak menghanguskan apa saja yang ada di atas permukaan bumi. Keadaan seperti ini membuat semua orang enggan berada di dalam rumah. Mereka lebih senang duduk-duduk berangin-angin di bawah pohon. Meskipun angin bertiup keras, namun tidak mampu mengurangi teriknya cahaya matahari.
Di halaman samping Kedaton Kadipaten Bojong Picung, tampak Diah Mardani tengah duduk di bawah pohon rindang yang melindungi kulitnya dari sengatan matahari. Gadis itu hanya ditemani dua orang emban pengasuh yang terkantuk-kantuk bersandar pada pohon. Sedangkan Diah Mardani tengah menggosok-gosok pedang keperakan yang berkilau tertimpa cahaya sinar matahari.
"Hhh...! Kerja kalian hanya tidur saja!" Rungut Diah Mardani seraya melirik dua emban pengasuhnya.
"Maaf, Den Ayu. Semalaman kami tidak bisa tidur," sahut seorang emban bertubuh gemuk dan berselendang kuning yang melingkari pinggangnya.
"Kalian pasti ikut menonton pertunjukan jelek itu, ya?" Dengus Diah Mardani ketus.
“Tidak, Gusti Ayu. Tapi suaranya membuat kami tidak bisa memejamkan mata," sahut emban yang bertubuh kurus.
Diah Mardani mendengus. Dimasukkan pedangnya ke dalam sarungnya, lalu digeletakkan pedang itu di samping. Pandangannya beredar ke sekeliling, dan langsung tertumbuk pada sebuah jendela kamar yang sedikit terbuka. Gadis itu tidak berkedip memandang ke dalam kamar dari jendela yang terbuka sedikit itu.
"Hm.... Ada apa Ayah berada di dalam kamar Onila...?" Gumam Diah Mardani bertanya pada dirinya sendiri.
Di dalam kamar itu memang terlihat Adipati Anggara duduk di tepi pembaringan. Tidak jauh di depannya, terlihat Onila yang duduk di sebuah kursi rotan. Entah apa yang tengah dibicarakan. Terlalu jauh bagi Diah Mardani untuk bisa mendengar percakapan di dalam kamar itu. Tapi matanya tetap tidak berkedip memandangi kedua orang di dalam kamar itu.
Diah Mardani menahan napas seketika saat melihat ayahnya bangkit berdiri dan menghampiri Onila. Jelas terlihat laki-laki setengah baya penguasa Kadipaten Bojong Picung itu merengkuh pundak Onila dengan kedua tangannya yang kekar dan membawanya berdiri. Begitu dekat jarak antara mereka, sehingga hampir tidak ada batas lagi. Diah Mardani buru-buru memalingkan muka saat kepala ayahnya tertunduk mendekati wajah Onila yang terdongak, ditopang jari laki-laki setengah baya itu.
"Dasar perempuan rendah!" Rungut Diah Mardani. Diah Mardani tidak tahu lagi, apa yang terjadi di dalam kamar itu. Memang, Adipati Anggara bergegas menutup jendelanya. Gadis itu segera bangkit berdiri, lalu melangkah cepat menghampiri kamar itu. Tidak tertahankan lagi deburan jantungnya yang bagaikan gempuran ombak di tepi pantai.
Namun belum juga gadis itu dekat dengan jendela kamar yang sudah tertutup rapat, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat menghadangnya. Kalau saja gadis itu tidak cepat-cepat melompat ke belakang, pasti bayangan merah itu sudah menyambar tubuhnya.
"Bedebah...!" Umpat Diah Mardani. Gadis itu langsung meraba pinggangnya, dan langsung terkejut. Ternyata baru disadari kalau pedangnya tertinggal di bawah pohon. Dan belum lagi sempat melakukan sesuatu, bayangan merah itu sudah kembali cepat menerjang gadis itu. Buru-buru Diah Mardani mengambil sikap menghadang bayangan merah itu.
"Hiya...!" Des! "Akh...”
Diah Mardani terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak begitu bayangan merah menghantam tubuhnya. Beberapa kali gadis itu harus bergulingan di tanah. Namun begitu cepat bangkit berdiri, bayangan merah itu sudah kembali melesat cepat bagai kilat menerjangnya.
"Ah...!"
Putri Adipati Anggara itu tidak mungkin lagi berkelit. Dirasakan adanya hentakan kecil di bagian dada. Dan tak bisa dihindari lagi, tubuh gadis itu melorot turun, lalu ambruk lemas ke tanah. Sebelum gadis itu menyadari apa yang terjadi pada diri-nya, bayangan merah itu sudah berkelebat cepat menyambar, lalu membawanya   pergi. Begitu cepat gerakan bayangan merah itu, sehingga dua orang emban yang sejak tadi hanya bisa menonton, jadi terpana tak mampu berbuat apa-apa.
"Tolong...!" Tiba-tiba saja emban bertubuh gemuk berteriak keras begitu tersadar.
Teriakan yang keras itu mengejutkan semua orang yang berada di lingkungan bangunan besar itu. Emban satunya lagi juga berteriak-teriak menambah ributnya siang yang panas ini. Tak berapa lama saja, hampir semua orang di Istana Kadipaten Bojong Picung ini sudah tumpah ke tempat itu. Mereka berebutan bertanya pada dua orang emban pengasuh itu. Tentu saja kedua emban itu jadi kebingungan menjawabnya, belum lagi juga harus menenangkan din dari keterpanaan dari kejadian yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali.

36. Pendekar Rajawali Sakti : Penari Berdarah DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang