1. ASTER

22 8 4
                                        

Dia kini sedang termenung, berdiri di balkon kamarnya. Menatapi langit yang gemintang berhias temaram cahaya bulanㅡtertutupi awan malam ini.

Kini hanya tersisa sedikit pendar redup bintang, dia menghela nafas tipis. Kemudian, dia masuk ke kamar, mengarah ke meja belajar, mengambil sebuah buku dari deretan buku di rak bukunya.

Ia mengusap pelan sampul buku itu, lusuh. Tertutup debu abu, menyamarkan warna asli buku ituㅡbiru langit agak pudar.

Tik,

Manik biru laut itu meneteskan air mata, membasahi pipinya, turun hingga akhirnya jatuh tepat di sampul buku lusuh itu.

Dia membuka buku lusuhnya, meraih pena, membuka bukunya perlahan. Di kertas pertama bertuliskan “Anything”ㅡyang berarti “Segalanya”. Itu adalah buku gambar miliknya. Memang, hanya buku gambar, namun lebih mirip buku diary. Di setiap gambar di dalam buku ini dicantumkan deskripsi memori gambar tentang kehidupannya, selama 10 tahun terakhir sampai detik ini. Buku itu tak tebal, tak pula tipis, sedanglah digunakan buat mengabadikan momentum kehidupan selama 10 tahun hingga sekarang.

Dia Aster, Aster Mooi. Nama belakangnya terdengar aneh ditelinga kalian memang. Tapi tidak bagi Aster. Nama itu baginya sangat berarti. “Mooi” adalah kosakata bahasa Belanda yang berarti “Indah”. Ayahnya yang memberikan nama itu padanya, dahulu.

Ayah, ayah! Kenapa nama belakang Aster begitu aneh?”
“Kamu tidak suka, Aster?”
“Sangat, Ayah. Itu aneh sekali, teman-teman di kelas selalu menertawakan bila guru mengabsen nama Aster.”
“Nak, ketahuilah, nama belakangmu itu punya arti yang cantik. Diambil dari bahasa kaum penjajah, Belanda.”
“Apa artinya itu?”
“Mooi, itu berarti indah, dalam bahasa Belanda.”
“Benarkah?”
“Iya, Nak. Tapi jika kamu tak suka kamu bisa ganti namamu dengan yang lain.”
“Mm, tak apa. Aster suka, kok. Benaran, deh.”
“Kamu tidak merasa terpaksa?”
“Tidak!”
“Janji kamu akan memakai nama itu sampai besar?”
“Janji! Terima kasih, Yah, sudah memberi nama belakang yang bagus.”
“Sama-sama, Nak. Ayah juga berterima kasih karena kamu sudah mau menerima nama belakang itu.”

Roda memori berputar mundur ke belakang secara tiba-tiba. Aster menutup mulut kecilnya dengan tangan kanan, mencoba untuk tidak mengeluarkan tangis keras yang akan mengganggu Ibunya di kamar sebelah.

Bahunya berguncang-guncang, naik turun tak terkendali temponya.

Ayahnya keturunan darah biru Belanda kuno. Memang sudah lama, tapi pewarisan genetik Belanda pada ayahnya memang melekat kuat, sampai-sampai Aster pun mewarisi paras ayahnya, sehingga genetik ibunya yang asli Indonesia jadi resesif.

Tik,

Setetes air mata itu terjun lagi dari mata Aster, melewati bulu matanya yang lentik menawan. Aster mulai menorehkan goresan gambar di buku miliknya. Aster mula mula menggambar lingkaran sedikit lonjongㅡitu sebuah wajah! Ia meneruskan goresannya membentuk mata, hidung, mulut, hingga rambut serta telinga.

1 jam. Ya, 1 jam dia menghabiskan waktu menggambar sketsa wajah seseorang. Realistis sekali; gambar wajah ayahnya.

Di sisi bawah sketsa gambar, Aster menambahkan sederet puisi untuk ayahnya.

Ayah . . .
Aku rindu ayah,
Sudah 10 tahun kita tak bertemu, bukan ?
Aku rindu elusan hangat menenangkanmu itu
Selalu berjaya membuatku tenang

Andai saja ayah masih disini bersamaku dan ibu
Kita akan jadi keluarga paling bahagia di muka semesta

Ayah . . .
Aku butuh elusan ajaibmu itu
Aku kini tengah rapuh,
Dihunjam realita hidup.

Tik,

Sudah ketiga kalinya air mata itu meleleh, membasahi kesekian halaman kertas di buku yang sedikit tebal itu.

“Ayah, doakan aku besok. Aku bakal jadi kebanggaan ayah, aku pastikan itu. Aku tak akan takut lagi dikata dengan kawan hina lagi, tak akan.”

Aster menutup bukunya, meletakkannya kembali ke tempat awal. Pun Aster melangkah menuju ranjangnya. Ia duduk sebentar, menyeka sembap sendu isakan kecilnya tadi. Aster membaringkan badannya ke ranjang, membujur ke arah utara. Hembusan kecil angin malam yang menyeruak masuk melalui lubang ventilasi di beberapa sudut kamarnya membuat pandangannya kini temaram, sayup kantuk mulai terundang. Kini ia siap menuju kapal mimpi, dengan awan awan permen kapas di sekelilingnya.

“Selamat malam, Ayah. Semoga malammu tenang.”

6 kata terucap dari mulut kecil Aster, 6 kata yang selalu dilantunkannya sebelum tidur. Aster kini tidur pulas, tanpa ia sadari, sebuah sunggingan senyum terukir kecil di bibirnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tanah dan LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang