BAB 04

32 5 0
                                    

Sang mentari mulai membumbung tinggi. Jam sudah menunjukan pukul tujuh. Akan tetapi, Nada tidak beranjak satu senti pun dari ranjangnya. Dia kembali menaiki ranjang itu setelah salat Subuh. Bukan karena dia gadis yang pemalas, biasanya dia akan memasak atau sekadar membersihkan halaman depan. Namun, tidak untuk hari ini, ia enggan untuk keluar kamar dan bertemu dengan ibunya. Dia belum menemukan jawaban yang tepat atas pernyataan yang ia terima semalam. Nada bahkan masih berharap jika pernyataan itu merupakan sebuah mimpi kecil yang menghiasi tidurnya.

"Nada ..., keluar, Nduk. Sebentar lagi mereka datang. Ibu enggak memaksamu, tapi setidaknya temuilah mereka dan bersikaplah sopan," pinta sang ibu dari balik pintu.

Nada menangis. Dia kembali teringat sosok Anar. " Kenapa cuma dia yang muncul di pikiranku? Ya Allah, jika dia bukan jodohku, maka jauhkan kami, Ya Allah, tapi jika kami berjodoh, maka dekatkanlah. Aamiin ...."

***

Sementara, Anar mencari keberadaan Bagas untuk meminta persetujuan dana proyek terbarunya di kantor.Hal ini tentulah wajar karena Bagas adalah manajer keuangan sehingga dialah yang memegang kendali atas keluar masuknya dana perusahaan. Namun, sesampainya di ruangan kerja Bagas, ruangan itu kosong. Jejak keberadaan rekan sekaligus temannya itu pun tidak ada sama sekali.

"Permisi, saya mau bertemu dengan Pak Bagas. Di mana beliau?" Anar bertanya pada salah satu staf Bagas yang dia temui saat keluar dari ruangan Bagas.

"Pak Bagas tidak masuk, Pak, ada acara keluarga katanya. Ada yang perlu saya bantu Pak?" jawab staf tersebut.

"Tidak usah, besok saja saya temui dia langsung. Terima kasih." Anar kembali ke ruangannya.

Acara keluarga apa? Kenapa dia gak bilang? pikirnya kemudian.

***

Akhirnya, Nada keluar kamar dan membantu ibunya menyiapkan jamuan untuk para tamu yang akan datang. Ia membantu dengan cekatan, tapi tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ibunya pun enggan menanyakan sesuatu, takut jika anak gadisnya itu kembali ke kamar dan mengurung diri lagi seperti semalam.

Jam dinding besar di ruang tamu menunjukkan pukul sepuluh dan tepat saat itu juga pintu diketuk dari luar diiringi sapaan salam. Sudah bisa dipastikan bahwa yang datang tidak hanya satu orang. Benar saja, saat Raya membuka pintu, ada pasangan paruh baya yang ia yakini sebagai teman ayahnya dan seorang pria muda yang berusia sekitar tiga puluh tahunan. Pastinya pria itulah yang akan dijodohkan dengan kakaknya.

Setelah menjawab salam, Raya mempersilakan tamunya masuk dan duduk di sofa. Pandangan Nada bertemu dengan pandangan pria itu, tapi sedetik kemudian, Nada menundukkan pandangannya.

"Perkenalkan, dia Bagas, putra tunggalku. Saat ini dia bekerja di perusahaan temannya. Dia enggak berminat mengambil alih usaha toko tekstilku, mungkin karena toko itu kecil," ucap Pak Hargo memperkenalkan putranya dengan senyum ramah dan juga tawa yang renyah di akhir ucapannya.

"Owh, iya, ini Nada. Dia mengambil alih toko roti yang dulu dikelola oleh ayahnya." Bu Wati menimpali dengan memperkenalkan Nada. Ia mengenggam jemari putrinya itu agar mendongak dan menatap lawan bicaranya.

Pandangan Bagas selalu tertuju pada Nada sampai pertanyaan dari sang ayah membuatnya tersentak.

"Bagaimana, Gas? Apa kamu mau menikahinya?"

"Ya!" ucap Bagas mantap yang memancing gelak tawa ayah dan ibunya. Raya juga tertawa karena menurutnya ekspresi Bagas sangat lucu untuk pria seusianya.

"Bagaimana denganmu,Nak?" tanya Bu Wati tertuju pada Nada yang masih kikuk.

"Saya ...." Ucapan Nada mengambang. Dia kembali teringat pada Anar dan ingin menolak, tetapi bayangan ayahnya yang tersenyum membuatnya sadar bahwa dirinya tidak ingin sang ayah kecewa. Perjodohan ini adalah keinginan ayahnya.

"Saya bersedia."

Mendengar jawaban Nada, semua orang tersenyum puas. Bagas meminta izin untuk bicara berdua dengan Nada. Gadis itu mengikuti langkah Bagas ke teras depan rumah dan meninggalkan para orangtua yang sedang bercengkerama dan membahas seputar pernikahan. Betapa bahagianya mereka karena mereka akan segera berbesanan.

"Terima kasih," ucap Bagas membuka percakapan.

"Untuk apa?" tanya Nada.

"Memberi kesempatan pada pria super tampan sepertiku untuk menjadi imam seorang bidadari."

Sontak ucapan Bagas membuat Nada tertawa lepas. Dia tidak menyangka, pria yang sedari tadi tidak banyak bicara ternyata punya tingkat kepercayaan diri yang luar biasa dan juga 'Raja Gombal'.

"Wah, kamu makin cantik kalau tertawa seperti itu. Kenapa dari tadi kamu cuma diam dan menunduk saja? Apa kamu takut kalau aku mau memakanmu?" cela Bagas setengah menggoda gadis di sebelahnya itu.

Tidak bisa dipungkiri, Bagas adalah pria yang menyenangkan. Nada tersenyum menimpali.

"Kenapa kamu menerima perjodohan ini?" tanyanya kemudian.

"Awalnya aku ingin menolak, tapi setelah aku datang dan tahu kalau aku akan dijodohkan dengan seorang bidadari sepertimu, ya ... tentu saja aku terima. Cuma orang bodoh yang menolak dijodohkan dengan gadis cantik dan anggun sepertimu," ucap Bagas masih berniat menggoda Nada.

"Kayaknya kamu pria yang pintar menggoda. Apa kamu enggak akan menelantarkan seorang gadis di luar sana untuk menikahiku?" tanya Nada setengah menyindir Bagas.

"Menelantarkan? Kayaknya enggak, tapi kalau membuat mereka menangis karena idola mereka akan segera berganti status menjadi seorang suami sih ... sepertinya iya," ucap Bagas penuh percaya diri dan kembali membuat Nada tertawa.

"Kamu sendiri? Kenapa setuju menikah denganku? Jangan bilang kalau kamu terpesona dengan ketampananku ya?"

"Terserah kamu saja."

Nada mengakui jika Bagas memang tampan walau tidak setampan Anar tentunya. Angannya mulai menerawang sosok Anar kembali.

Kenapa bayang-bayang Anar selalu masuk dalam benakku, Ya Allah, batinnya sembari menatap Bagas.

***

Bagas masuk ke kantor dengan siulan yang mengiringi langkah kakinya. Dia tidak peduli jika semua mata tertuju padanya detik ini sampai akhirnya sebuah lengan bertengger di bahunya dan membuat langkahnya terhenti.

"Apa sepagi ini 'otak gila'-mu sudah bekerja?" sindir Anar—pria yang lengannya menyandar di bahu Bagas—dengan nada dingin khasnya.

"Ya ... jangan kaget, Nar, sahabat gilamu ini akan segera menikah dengan seorang bidadari," ucap Bagas tersenyum merekah.

Anar memandangnya jenuh. Danu tiba-tiba saja lewat di depan mereka dan dengan segera pria itu melambaikan tangannya. Danu lantas menghampiri mereka berdua.

"Kenapa masih pagi gini kalian sudah mesra gitu?" tanyanya.

Bagas melepas rangkulan Anar kemudian memandang jijik pria itu.Anar lantas geram dan langsung mengunci batang leher Bagas menggunakan kedua lengannya.

"Ayo masuk ruang rapat yang kosong! Kita harus mem-bully makhluk satu ini!" ajak Anarsambil menyeret tubuh Bagas. Danu hanya tersenyum geli dengan tingkah keduasahabatnya itu dan mulai mengikuti mereka.

Cinta Yang Jatuh Bersama Hujan (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang