Bayang-bayang sosok Nada mulai berputar di kepala Anar. Ia yang sedang menyetir mobil menuju warung Mbok Siyem tidak henti-hentinya berdoa meminta pada Sang Kuasa agar dipertemukan lagi dengan Nada. Dia bahkan tidak konsentrasi pada jalanan di depannya sampai sebuah bayangan lewat dan membuatnya terkejut lalu refleks menekan klakson sekuat-kuatnya serta menginjak pedal rem mendadak.
Anar langsung keluar dari mobil dan menghampiri seorang gadis berhijab yang terduduk di jalan sambil memegangi pergelangan kakinya. Motor yang dikendarainya juga ambruk tidak jauh dari posisinya.
Anar mengerjapkan mata, terkejut sekaligus senang karena gadis yang selalu menghinggapi hati dan pikirannya, sekarang ada di depannya.
"Kamu enggak apa-apa?" tanya Anar khawatir karena gadis itu terus mengurut pergelangan kakinya.
"Kayaknya kakiku terkilir," jawab Nada sambil meringis kesakitan. Tidak lama kemudian, beberapa orang datang berbondong-bondong mengira tengah terjadi kecelakaan.
"Mas nabrak mbaknya, ya?" tanya seorang pria yang mendekati mereka berdua.
"Enggak kok, Pak, saya yang salah tadi enggak lihat lampu udah ganti jadi warna merah. Saya cuma kaget pas dengar suara klakson, terus saya jatuh," jawab Nada sebelum Anar membuka mulutnya agar orang-orang tidak salah paham dengan mereka.
"Ya sudah, sebaiknya Mas bawa mbaknya ke tepi dulu. Biar saya bantu minggirin motornya." Pria itu langsung menghampiri motor Nada yang tergeletak kemudian membawanya ke tepi jalan.
Anar menuntun Nada untuk duduk di tepi jalan. Setelah itu, dia menepikan mobilnya sendiri agar tidak menimbulkan kemacetan. Orang-orang masih mengerumuni Nada dan menanyakan keadaannya hingga membuat gadis itu malu dan menyesal telah melanggar larangan ibunya. Setelah menepikan mobil, Anar kembali menghampiri Nada.
"Bisa enggak kamu tunggu sebentar di sini? Aku mau ke apotek sebentar untuk membeli obat."
Anar hendak beranjak, tapi Nada menarik ujung kemejanya.
"Enggak perlu, Mas, aku enggak apa-apa kok," ucap Nada sambil menunduk.
"Apanya yang enggak apa? Lihat kakimu terkilir, tanganmu juga terluka. Tunggulah sebentar saja," pinta Anar.
Anar lantas pergi ke apotek yang tidak jauh dari tempat itu. Sebelum pergi, dia meminta tolong pada seorang ibu untuk menjaga Nada. Tidak perlu menunggu terlalu lama untuk Nada kembali melihat Anar. Pria itu kembali hanya dalam beberapa menit dengan membawa kantung plastik yang ia yakini adalah obat-obatan untuknya.
"Maaf lama menunggu," ucap Anar begitu sampai di depan Nada.
"Saya pergi dulu ya, Mbak, Mas."
"Iya, Bu, terima kasih," ucap Nada dan Anar kompak.
Setelah kepergian si ibu, Anar langsung berlutut di depan Nada dan menyingkap rok Nada sebatas pergelangan kaki, berniat membersihkannya. Akan tetapi, tangannya dicekal oleh Nada.
"Enggak usah, aku bisa sendiri."
Melihat tangan yang menariknya juga terluka, Anar membalik tangan Nada dan membersihkan tangannya terlebih dulu.
"Diamlah. Aku tahu apa yang aku lakukan."
Anar membersihkan luka di tangan Nada dengan alkohol kemudian mengolesinya dengan obat antibiotik. Saat dia kembali membersihkan pergelangan kaki gadis itu, Nada tidak menolak. Anar bahkan memijat pergelangan kaki Nada yang terkilir.
"Kenapa? Bukannya kamu bilang tadi enggak apa-apa?" ledek Anar.
Nada benar-benar malu. Dia kembali menundukkan kepalanya. Anar tersenyum melihat wajah Nada yang bersemu merah.
"Mau ke mana? Kenapa kelihatannya buru-buru sekali?" tanya Anar masih sambil memijat pergelangan kaki Nada.
"Beli nasi liwet," jawab Nada singkat.
"Ke warung Mbok Siyem?" tanya Anar lagi mencoba menebak tujuan Nada.
"Iya."
"Ini sudah dekat kenapa buru-buru? Lagipula jam segini pasti warungnya juga belum tutup."
"Keburu laper, rasanya udah lama enggak makan nasi liwetnya," jawab Nada gugup karena Anar selalu tersenyum padanya hingga membuat jantungnya berdegup makin cepat.
"Iyalah ..., tiga minggu bukan waktu yang sebentar," balas Anar membuat gadis berhijab itu terkejut.
"Maksudnya?"
"Enggak apa-apa. Gimana kalau kita barengan saja? Aku juga mau ke sana."
"Tapi motornya ...."
Nada menunjuk pada motor yang berada di sampingnya.
"Gimana kalau dititipkan dulu? Kayaknya lampunya pecah.Di ujung sana ada bengkel. Selagi kita makan, motornya kita tinggal dulu, nanti baru diambil."
Nada mengangguk kemudian mengeluarkan ponselnya.
"Halo ..., Assalamu'alaikum, Mas Supri, bisa ke pertigaan deket bengkel enggak? Ambil motorku ya, abis jatuh soalnya."
Anar terkejut jika ternyata Nada justru langsung menghubungi bengkelnya.
"Kenal sama pemilik bengkelnya?" tanya Anar setelah Nada menutup sambungan teleponnya.
"Udah langganan," jawab Nada.
Sekitar sepuluh menit mereka menunggu, dua orang tampak mengendarai motor menghampiri keduanya.
"Mbak Nada jatuh?" tanya seorang pria tersirat rasa khawatir di wajahnya yang membuat Anar merasa tidak nyaman.
"Iya. Kaget tadienggak lihat lampu merah," jawab Nada menyunggingkan senyum ramah.
"Terus gimana? Ada yang luka?" tanya pria itu lagi yang diyakini Anar bernama Supri yang tadi ditelepon oleh Nada.
"Cuma tergores aja, kok. Ini motornya dibawa Mas Supri aja ya. Lampunya mati. Nanti aku ambil," ucap Nada sambil menyerahkan kunci motornya.
"Besok saja Mbak, aku antar ke tokonya Mbak Nada. Lebih baik Mbak Nada pulangnya pakai taksi atau diantar sama masnya ini," kata pria itu sambil menunjuk Anar.
Ide bagus! Terima kasih, Mas, batin Anar.
YAKIN MASIH GAK PENASARAN DENGAN KISAH MEREKA???
AYOO BURUAN PESAN SEKARANG JUGA...
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Yang Jatuh Bersama Hujan (End)
RomanceCerita ini telah terbit, minat dengan versi cetaknya bisa hubungi: IG : @benitopublisher Shopee : benitobonita Atau dm aku langsung 😁 🏅Rank : #2 cetak (14-12-2019) #249 patah hati (16-12-2019)