Pranggg
Gelas yang dipegang Deluna terjatuh dan menimbulkan suara yang bergema karena suasana yang sepi dan ruangan yang begitu luas.
"Yah.. aduh, gimana nih?" Deluna garuk kepala bingung bagaimana caranya ia membereskannya. Qurrais sedang pergi sebentar katanya ingin menemui seseorang yang juga dirawat di Rumah Sakit ini.
"Panggil suster aja kali ya?" Bermonolog sendiri. Akhirnya Deluna memencet bel yang berada disisi ranjang pesakitannya.
Mudah-mudahan gak diomelin. Batinnya berdoa.
"Permisi, ada yang perlu dibantu kak?" Suster bernama Asri yang Deluna baca nametag nya berjalan mendekat setelah membuka pintu kamar.
"Ah, Sus. Jangan dekat-dekat. Bahaya." Suster tersebut mengernyit bingung dan tidak menyadari posisinya sedikit lagi akan menginjak pecahan kaca yang tidak kentara dilantai putih ini. "Saya baru aja mau minum—"
"Oh, kakak mau minum? Sebentar saya ambilkan ya."
"Bentar, Sus." Suster yang akan berbalik tidak jadi karena cegatan Deluna yang cepat. "Maksud saya, minumnya jatuh tadi. Jadi banyak pecahan kaca dikaki Suster."
Suster Asri reflek mundur dan menajamkan penglihatan jika dirinya tidak sempat terluka karena pecahan tersebut memang benar tercecer disekitar bangkar saja.
"Lain kali bicara yang jelas, kak. Saya kan gak paham kalau setengah-setengah."
"Hehehe.. saya takut diomelin sama Suster."
"Gak akan, tugas kami melayani pasien hingga pulang dengan sehat dan selamat."
"Baik banget Susternya." Tiba-tiba Qurrais masuk dan berbicara. Ia membawa kantong kresek putih berisi banyak makanan. Entah untuk siapa.
Ia menaruh kantong tersebut dinakas yang sudah disediakan.
Deluna melihat pergerakan Qurrais yang membantu Suster Asri memindahkan pecahan kaca pada wadah yang khusus disediakan diruang ini.
"Makasih ya, Mas. Seharusnya tidak perlu repot membantu."
"Saya senang membantu." Begitu katanya setelah Suster Asri berterima kasih lalu pergi.
Tanpa sadar ternyata penampilan Qurrais sudah berubah. Jaket kulit hitamnya sudah terlepas dari tubuhnya, menyisakan kemeja biru yang sangat pas ditubuh Qurrais. Deluna mendadak menelan salifa begitu pikirannya kemana-mana.
"Saya pulang sebentar, terus dijalan saya membeli beberapa cemilan untuk kamu."
"Kok saya? Kan, Mas Qurrais mau jenguk temennya disini."
"Sudah kok, saya hanya mampir sebentar karena tidak enak jika harus berlama-lama. Apalagi sedang ada ibunya juga."
"Lah? Ini Mas lama loh nunggu saya. Berdua lagi, gak kenapa-napa tuh?"
Qurrais terkekeh sebentar dan mengatakan. "Kamu sudah seperti adik bagi saya. Jangan berpikir macam-macam soal saya yang akan melakukan hal buruk terhadap kamu. Tenang saja."
Tenang sih.. tapi kok jleb gitu. Dianggap ADIK KATANYA. Batin Deluna menjerit nangis.
"Kalau boleh tau, temen Mas cewek atau cowok?"
"Perempuan."
"Ciee.. pasti pacarnya yaa?"
"Bukan, dia teman saya. Satu perusahaan."
"Wah? Kok bisa masuk Rumah Sakit?"
"Katanya hanya luka dibagian kepala. Saya tidak tahu sebabnya. Yang jelas ekspresi ibu tersebut seperti sedang khawatir. Jadi saya memutuskan langsung pamit pergi."
"Ouuhh.." Deluna hanya menyimak dan menganggukan kepalanya beberapa kali.
"Umur Mas berapa?"
"Usia saya jalan 25 tahun. Kamu sendiri?"
"Saya masih sekolah."
"Saya tanya usia, bukan status kamu sekolah." Deluna tertawa malu.
"18 tahun."
"Sudah mau lulus aja. Saya pikir masih kelas satu."
"Yeuh.. mentang-mentang badan saya kurus."
"Bukan, wajah kamu yang sangat muda."
"Ah jangan gitu dong. Nanti saya terbang."
"Loh, kamu bisa terbang pakai apa?"
"Ih, itu cuma ungkapan Mas. Saya mana bisa terbang beneran sih."
Keduanya tertawa renyah hingga Deluna merasakan bahagia luar biasa bertemu orang macam Qurrais. Ia lupa kapan terakhir ia tertawa lebar begini. Hidupnya mungkin akan berubah jika ia bisa terus bersama Qurrais.
Deluna merasa lebih baik dan seperti kata Dokter yang jaga malam ini, katanya ia diperbolehkan untuk pulang. Tapi sebelum itu administrasi harus ditebus sekalian dengan obat yang akan dibawa pulang olehnya.
"Saya bakal ganti uangnya ya Mas kalau sudah bekerja dan dapat gaji pertama."
"Tidak perlu, ini tanggung jawab saya. Kan sudah dibicarakan dari awal."
"Saya tetap tidak enak, Mas. Kesannya saya matre."
"Matre itu yang biasa dipakai saat mau lamar kerja ya? Atau saat membuat surat-surat penting?"
"Itu matrai, Mas. Ih gak bisa menang kalau lawan bicaranya Mas Qurrais." Qurrais terkekeh dan mengusap pelan kepala Deluna.
"Saya antarkan kamu pulang setelah beres administrasi dan tebus obat. Tunggu disini sampai saya kembali." Ucapnya tegas namun sangat lembut didengar.
Lumer hati dede, Mas. Deluna kembali dibuat jatuh olehnya.
.
.
.Tbc. Jangan lupa vote, comment and share.

KAMU SEDANG MEMBACA
What Is Wrong With Me
Teen Fiction18+ WARNING!! HARAP PEMBACA BIJAK DALAM MEMBACA CERITA INI. Deluna Fauziah seorang wanita berusia 21 tahun yang sudah menjadi model majalah selama hampir dua tahun. Wanita yang merintis karir saat orang tuanya tak lagi ingin mengurus kehidupannya. D...