Sekarang gue harus apa? Kabur karena gak bisa bayar tagihan Rumah Sakit, atau pura-pura nangis biar dibolehin pulang sama cowok ganteng ini.
Sedari tadi mata Deluna hanya memandang pintu kerluar dan laki-laki berjaket kulit hitam yang sedang membaca sebuah majalah Rumah Sakit, sangat mencolok penampilannya dengan kulitnya yang putih.
Dan entah mengapa ia belum mengenalkan diri atau memang ia tidak sudi untuk mengenal Deluna.
"Mas" panggil Deluna. "Bisa keluar sebentar? Saya mau ke kamar mandi."
"Mari saya bantu saja." Sigap sekali laki-laki satu ini. Dirinya yang duduk anteng disofa ruangan ini berdiri dan menaruh majalah yang ia baca.
"Eh, gak usah Mas. Saya bisa sendiri kok."
Belum sempat Deluna untuk bangun dari ranjang pesakitan, laki-laki ini sudah membantunya berdiri dan memapahnya berjalan sampai didepan pintu kamar mandi.
Sama sekali gak didenger omongan gue. Batin Deluna.
"Terima kasih, Mas."
"Iya. Sama-sama, Mbak."
What?!
Dari pada Deluna tercengang kelamaan dipintu kamar mandi, lebih baik ia masuk dan menyelesaikan urusannya dahulu.
"Iya, baik. Nanti saya kesana setelah urusan saya beres. Terima kasih." Deluna mendengar sedikit pembicaraan laki-laki didepannya ini, karena saat membuka pintu kamar mandi sosoknya menjulang tinggi sedang berbicara dengan ponsel genggamnya.
Buset dah, ditungguin coeg.
"Mas, kalau mau pulang gak apa-apa. Saya bisa sendiri kok."
"Ah, sudah selesai. Kalau begitu mari saya bantu kembali ke bangkar." Sigap sekali.
"Mas, saya tidak enak hati kalau begini. Lebih baik Mas nya lanjutkan kerjanya. Saya disini sudah aman kok."
"Saya sudah bersalah menabrak kamu, maaf. Saya harus tanggung jawab sampai kamu sehat kembali. Ponsel kamu sudah saya ganti dengan yang baru. Karena tidak sengaja saya lindas." Selesai menempatkan Deluna diranjang pesakitan, laki-laki tersebut menarik kursi untuk duduk didekatnya.
Gila gila gila!! Kenapa lumer gue.
"Ya ampun Mas gak salah, yang salah itu saya gak lihat-lihat saat menyebrang jalan."
"Tetap saja. Walau begitu, saya tetap salah."
Deluna bingung harus mengatakan apa lagi. Terlalu sulit untuk mencari alasan agar dirinya bisa keluar dari Rumah Sakit ini.
"Saya belum menghubungi keluarga kamu." Laki-laki tersebut merogoh sakunya untuk mengeluarkan ponselnya dan menyodorkan ke arah Deluna. "Hubungi lah Ibu mu. Saya takut beliau khawatir dengan keadaan kamu."
"Err.. saya akan hubungi kok. Tapi gak sekarang."
"Kenapa?"
"Saya.. ingin disini aja. Se-sebentar aja." Cicit Deluna tak berani menatap lawan bicaranya.
Gagal sudah rencana ia untuk pergi dari Rumah Sakit ini. Teringat wajah marah Ibunya membuat nyalinya ciut untuk pulang ke rumah.
Melihat gadis dihadapannya seperti sedang frustasi, laki-laki tersebut memaklumi dan memberi beberapa anggukan. Karena ia pun canggung jika harus berhadapan dengan perempuan yang seperti korbannya ini.
"Nama kamu siapa?"
"Sa-saya Deluna. Kalau Mas?"
"Qurrais. Albani Qurrais nama panjang saya."
"Oh.. saya Deluna Fauziah."
"Namanya indah, saya suka."
"Hah? Oh iya makasih Mas, saya juga suka."
"Suka nama saya?"
"Eh, bukan. Nama saya maksudnya."
Qurrais tertawa singkat saat tahu ia salah mengira jika Deluna juga menyukai namanya. Deluna yang melihat respon laki-laki yang sudah ia ketahui namanya ini pun ikut tertawa canggung.
Deluna pikir, Qurrais tipe orang yang akan memilih-milih dalam mengajak berkenalan. Ternyata orangnya sangat asik dan mudah bergaul. Bahkan beberapa kali mereka tertawa hanya sebuah perkenalan singkat. Deluna tidak menyangka akan menemukan orang paling baik disekitarnya. Ia jadi teringat bagaimana kabar kakaknya setelah ia buat luka lagi.
Di Rumah Sakit yang sama, namun di kamar yang berbeda. Dua orang perempuan berbeda usia, satunya sedang berbaring sakit di ranjang pesakitan dan satunya sedang mencoba menghubungi nomor anaknya yang lain karena tidak ada kabar setelah pertengkaran kecil di rumahnya tadi.
"Bu, mungkin Deluna ke rumah temannya." Katya mencoba memberi ketenangan untuk Ibunya.
"Apa iya? Masa teman-temannya gak ada yang mengabari Ibu? Ibu takutnya dia kenapa-kenapa."
"Ibu, percaya sama Tuhan. Deluna pasti baik-baik aja. Ya?"
Linda mengangguk walau hatinya masih khawatir karena ucapannya saat di rumah, Deluna pasti menyalahkan dirinya sendiri. Seharusnya Linda pun menunggu penjelasan Katya sebelum menyalahkan anaknya.
Deluna anak yang nakal, tapi tidak mungkin melakukan hal nekat yang dapat mencelakai dirinya sendiri. Deluna pasti bersembunyi entah dimana.
Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengannya. Batin Linda memohon.
Luka Katya tidak begitu mengkhawatirkan. Hanya luka gores yang memang sedikit dalam karena ujung meja yang lancip dan berkaca. Hanya tiga jahitan dan sudah lebih baik dari lima jam sebelum ditangani oleh dokter. Katya yang memang phobia dengan darah mengakibatkan ia syok dan pingsan setelah melihat darah banyak. Jadilah Ibu sangat khawatir.
Linda menyimak penjelasan Katya setelah ia sadar dan sudah lebih baik, bahwa ia meminjam sepatu sang adik dengan paksaan. Linda maklum karena Katya pekerja yang sangat fashionable jadilah serba butuh barang yang sedikit mahal. Namun caranya yang salah saat meminjam barang. Terlebih saudaranya sendiri.
Walaupun keluarganya tercukupi, Linda tidak ingin memanjakannya. Ia ingin anaknya sendiri yang dapat memenuhi kebutuhan pribadinya. Maka dari itu Katya sampai harus bertengkar dengan Deluna sebab barang kesayangan Deluna yang ia beli dengan uang sisihan setiap harinya untuk membeli satu barang paling ia suka dan secara tidak hormat dipinjam secara paksa oleh kakaknya sendiri.
"Nak, kalau memang ada yang dibutuhkan bilang ke Ibu. Nanti setelah gajian kamu bisa ganti uangnya. Jangan diulangi ya. Kasihan adik kamu."
"Iya bu, Katya minta maaf. Katya salah."
"Minta maaf nanti sama adikmu ya nak."
"Iya bu."
"Nomornya belum aktif, apa Luna sudah di rumah ya?" Linda masih mencoba menghubungi Deluna. Berkali-kali tangannya mendial nomor sang anak. Namun belum ada jawaban tersambung.
"Coba telepon ke nomor rumah bu, siapa tau dia angkat."
Deringan demi deringan. Telepon rumahnya belum ada tanda-tanda ada yang mengangkat. Frustasi, Linda memegang kepalanya reflek dan menangis tak bersuara. Katya mengelus lengan sang ibu memberi ketenangan.
"Kemana kamu, nak?" Lirih Linda yang tidak bisa menahan gejolak tangis ditenggorokannya.
.
.
.Tbc. Jangan lupa vote, comment and share.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Is Wrong With Me
Fiksi Remaja18+ WARNING!! HARAP PEMBACA BIJAK DALAM MEMBACA CERITA INI. Deluna Fauziah seorang wanita berusia 21 tahun yang sudah menjadi model majalah selama hampir dua tahun. Wanita yang merintis karir saat orang tuanya tak lagi ingin mengurus kehidupannya. D...