Hari pertama; Sekolah menengah atas.

35 10 8
                                    

      Pagi ini, adalah hari pertama aku masuk sekolah menengah atas. Sebelum berangkat sekolah, aku memulai untuk sarapan pagi dirumah. Bersama Ayah dan Ibu seperti biasanya. Pagi ini kami sarapan dengan roti isi selai cokelat kesukaan ku. Kami pun menikmati sarapan ini. Setelah selesai, aku dan Ayah langsung bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ayah kesekolah nya, aku kesekolah ku. Aku diantar Ayah kesekolah dengan menggunakan mobil. Kami berpamitan untuk berangkat.

     Aku mencium tangan Ibu, lalu Ibu mencium kening ku dan tersenyum sambil berkata “ Semangat sekolahnya, sayang.” Dan Ayah, kalian pasti tau apa yang dilakukan pasangan ketika berpamitan.

     “ Dah, Ibu. Aku berangkat,” ucapku sambil melambaikan tangan sembari masuk ke mobil. Ibu pun melambai juga.

    Sampailah aku disekolah. Perjalanan yang kami tempuh kira-kira 20 menit. Aku berpamitan dengan Ayah, dan Ayah melakukan hal yang sama seperti Ibu lakukan.

    Sebelum aku turun dari mobil, Ayah bertanya “ Nanti pulang jam berapa? Nanti Ayah jemput ya?”
Hmm, masih belum tau Yah,” balasku.
“ yasudah, nanti kabarin Ayah saja ya,” ucap Ayah. Lalu, aku mengangguk dan turun dari mobil.

    Oh iya, aku lupa bilang bahwa aku satu sekolah—lagi—dengan Arif. Kemarin sih, kami sudah janjian akan bertemu di gerbang. Arif bilang dia akan datang dengan sepeda motor, di antar Ayahnya. Aku pun terus menunggu Arif. Lima menit sudah Arif belum juga terlihat. Tidak lama kemudian, datanglah yang di tunggu-tunggu dari tadi. Arif. Motornya tepat berhenti di depanku, lalu Arif turun dan berpamitan kepada Ayahnya—aku pun juga.

     “ Anna, kalo Arifnya nakal marahin aja, ” ucap Om Mukhlis. Aku memanggil Ayahnya Arif dengan sebutan Om Muklis.
“ Siap, om. Laksanakan,” jawabku sambil tersenyum lebar.
“ Om berangkat dulu ya, Anna. Ayah berangkat dulu ya,Rif. Belajar yang bener,” ucap Om Mukhlis lalu aku mengangguk sambil mengucap “ Hati-hati, om.”
“ Iya, hati-hati, Yah,” sahut Arif.

    Motor Om Mukhlis pun sudah berlaju jauh. Aku mengubah ekspresi ku. Jujur aku kesal karena Arif terlambat.

“ Maaf ya, Na,” ucap Arif halus.
“ Kenapa telat?” Tanya ku.
“ Biasa Na, panggilan alam. Kebelet  banget soalnya,” jawabnya. Aku hanya terdiam.
“ Maaf ya, Na. Saya  tau saya salah, telat,” ucapnya memelas.
“Iya gapapa, jangan di ulang ya,” ucapku disambut senyum Arif.
Yuk, kita cari kelas,” ajakku dan langsung menuju kedalam.

     Kami sama-sama mengambil IPS. Aku mencari dimana kelas ku. Ternyata, aku sekelas dengan Arif.
Yess! Kita sekelas,” ucap Arif yang terlihat begitu senang aku pun juga. Kami masuk mencari tempat duduk. Aku hanya ingin sebangku dengan Arif. Karena aku takut tidak nyaman dengan yang lain dan belum saling mengenal juga.

“ Kita duduk bareng ya,Rif?” Tanya ku.
Hmm, gimana ya…” ucap Arif yang sok-sok berfikir dan membuatku kesal.
“ Yasudah lah,” aku ingin bergegas pergi lalu ditahan oleh Arif.
“ Sangat mau dan sangat bersedia,” lalu aku pun tersenyum.

   Hari ini hanya perkenalan saja, sama seperti hari pertama sekolah pada umumnya.

  Bel pulang sekolahpun berbunyi.
Aku bersama Arif menuju pintu gerbang sekolah. Kami sama-sama sedang menunggu untuk dijemput.

“ Na, besok kalo saya bawa motor boleh?” Tanya Arif kepadaku.
“ Kenapa harus izin aku?” Tanya ku.
“ Ya, kan harus izin sama penumpangnya dulu biar motor saya gak kesepian,” jawab Arif.
“Maksudnya?” Tanya ku heran.
“ Kalo besok saya bawa motor, saya mau naiknya sama kamu. Saya yang bawa, kamu yang duduk dibelakang saya,” jelasnya.

“ Memangnya kamu kuat bawa motor?” canda ku ke Arif.
“ Kuat. Gendong kamu saja saya kuat apalagi bawa motor,” ucap Arif sambil tertawa.
“ Maksudnya?” ucapku sambil cemberut.
“ Tidak, jangan suka terbawa rasa begitu,” ucapnya.
“ Kenapa? Ini hak,” tegas ku.
“ Jadi sering cemberut. Cepat tua. Dan jangan bicara hak,” jawab Arif
“ Kenapa?”
“ karena kalo bicara hak, saya juga ada hak untuk bersamamu selamanya, kan?” ucapnya.
Aku terdiam sebentar, lalu aku menjawab “ Iya, kita akan selamanya. Bersahabat.”

Untuk rasa;  yang entah kapan menemukan ujungnya.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang