Happy Reading!
•••
Pemuda itu menipiskan bibir sesaat. Kemudian dia menghela nafas pelan. Tangan kekarnya masih menggenggam kotak bekal makanan yang dibawakan oleh kekasih sahabatnya, dan sorot katanya tetap tertuju pada gadis centil yang tak berhenti menempel pada sahabatnya, dan sialnya, sahabatnya itu tak menolak. Dan satu hal lagi, entah kenapa, suasana kantin lantai satu yang biasanya ramai kini mendadak diam, seolah ada yang dengan sengaja menekan tombol mute dan mengheningkan semuanya.
Veno geram sendiri.
Ingin menampik pun rasanya tak mungkin. Jelas, semua yang terjadi di kantin ini karena Meva dan Gibran. Mereka menjadi pusat perhatian. Ya, jelas saja. Sudah menjadi rahasia umum jika si dingin Gibran hanya akan hangat pada tuan putrinya saja, Dista. Lalu kini? Tiba-tiba si Dingin Gibran yang sangat jarang bahkan tak pernah terhitung menghiraukan perempuan mendadak diam saja ditempeli Meva.
So, bagi teman-temannya, ini sangat aneh!
Veno melirik sekitar, dia mendengus, kemudian menggebrak meja dengan cukup keras membuat mereka mengerjap dan langsung mengalihkan perhatian. Mereka kembali fokus pada tujuan awal pergi ke kantin, walau akhirnya banyak sekali desas-desus yang membawa nama Dista dan Gibran. Apalagi tentang pertengkaran kecil keduanya di depan kelas XI.IPS.1.
"Lo apa-apaan sih Ven, kaget gue." Meva merengut kecil, semakin merapat pada Gibran.
Veno mendelik jijik, menatap Meva dengan tatapan tak sukanya. "Yang apa-apaan itu lo! Ngapain lo nempel-nempel sama Gibran?!" Tanya Veno sarkas membuat wajah Meva cemberut.
Bibir Meva melengkung kecil, membuat Veno semakin jijik.
"Kenapa lo yang sewot? Gibran aja gak komen, kok. Artinya Gibran suka gue peluk-peluk kayak gini! Ya, kan, Gib?" Masih dengan wajah sendunya, Meva mendongkak menatap wajah Gibran. Namun ternyata, si dingin Gibran tetaplah menjadi pemuda dingin yang sangat tak mungkin bisa hangat.
Gibran diam, dia sama sekali tak menyahut. Pemuda itu membutakan matanya, membisukan bibirnya, dan menulikan telinganya. Gibran hanya fokus pada makanan di hadapannya tanpa memperhatikan apapun yang terjadi di di sekitarnya.
"Lo kenapa jadi sebrengsek ini sih, Gib?" Tajam Veno membuat Gibran mau tak mau menoleh.
"Lo sadar gak sih, lo udah bikin Dista sakit hati!" Veno menunjuk kotak bekal yang masih dipengangnya.
Gibran mengangkat sebelah alisnya, dengan wajah datar dia berkata, "gue sadar, bahkan sangat sadar!" Gibran menatap Veno dengan tajam. "Tapi, apa kabar dengan Dista yang bikin gue sakit hati? Apa dia gak sadar? Gue rasa dia cuma pura-pura gak sadar! Dan sekarang, lo yang harus sadar soal itu!"
"Dan apa lo gak mau ngalah?" Tanya Veno. Gibran kembali diam, seolah dia tak mendengar apapun.
"Serah lo lah! Emang susah ngomong sama bocah yang sok-sokan pacaran, punya masalah bukannya diselesaikan malah menghindar." Veno tertawa hambar. "Gak nyangka kalo temen gue ternyata seorang pengecut."
Veno menyimpan kotak makanan itu di atas meja, lalu bangkit begitu saja, dia muak sendiri melihat Meva dan Gibran. Sementara Gibran dan Meva menoleh pada Veno yang sudah beranjak, keduanya sama-sama diam sampai Meva mengeluarkan suara.
"Veno kenapa sih?" Gerutu Meva. Dia mengulurkan tangannya untuk mengambil kotak bekal namun dengan segera Gibran mengambil alih.
Pemuda itu menatapnya, kemudian menelan salivanya sendiri. Dia merasa hatinya sakit. Namun dia sendiri tak bisa terus membiarkannya. Veno benar, Gibran tak boleh menghindari, Gibran harus memperbaiki semuanya dan secepatnya.
"Lepas!" Tajam Gibran. Langsung bangkit dari duduknya membuat Meva tersentak dan nyaris terhuyung. Gibran pergi tanpa pamit membuat Meva mendecak kesal.
Tapi gadis itu tak diam begitu saja, dia memutar kembali memorinya, mengingat percakapan antara Gibran dan Veno mengenai alasan retaknya hubungan Gibran dan Dista. Meva tersenyum licik, setidaknya dia telah menemukan satu titik cahaya atas harapannya pada Gibran selama ini.
•••
Veno mendengus. Sungguh, melihat tingkah Gibran yang sangat kekanak-kanakan, dia emosi sendiri. Veno tahu bahwa Dista adalah cinta pertama sahabatnya, selama ini hubungan keduanya juga berjalan baik-baik saja, tapi Veno tak menyangka jika hanya karena masalah foto Dista dengan seorang pria ternyata akan membuat mereka retak. Dan dengan sengaja Gibran memecahkan hubungan yang telah retak itu.
Pemuda itu melangkah menuju ke kantin kelas XII di depan gedung ekstrakulikuler, jujur saja bahwa dirinya lapar, hanya saja nafsu makan Veno sangat rusak dengan adanya pemandangan menjijikan tadi. Veno melangkah melewati koridor belakang gedung IPS dekat taman belakang. Namun di sana langkahnya terhenti.
Veno mengerenyit, suara isak tangis yang tertahan itu membuat Veno terdiam. Anatara penasaran dan deg-degan. Pasalnya, banyak rumor yang mengatakan bahwa di taman ini, tepatnya di ayunan yang ada di pohon beringin besar ada seorang hantu perempuan yang merupakan alumni sekolah ini, angkatan ke-3.
Veno membasahi bibir bawah. Entah harus pura-pura berani dengan nyalinya yang ciut atau lari, namun bagaimana mau lari? Kakinya melemas. Veno memberanikan diri. Ini masih siang, logika, gak ada setan tengah bolong gini. Sahut Veno dalam hati, memberikan sugesti pada dirinya sendiri.
Dan akhirnya, Veno benar-benar terdiam. Dia membeku melihat rambut pirang yang terurai panjang dan bahu yang bergetar. Veno mengenali pemilik rambut itu. Dia menatap nanar Dista yang menangis tersedu dengan suara yang berusaha keras dia tahan.
Veno jadi tak tega, namun dia harus berbuat apa?
Jika saja Dista bukan pacar Gibran, sahabatnya, Veno pasti sudah memeluknya saat ini juga, memberikan bahu untuk Dista bersandar. Tapi sayang, bagaimanapun juga Dista adalah kekasih sahabatnya dan Veno masih ingat 'dia' yang selama ini dirinya kagumi.
Veno mendengar suara derap kaki mendekat, membuatnya menoleh, dan dia semakin membeku melihat sesosok gadis menatapnya.
"Lo ngapain di sini? Dia kenapa?" Tanya gadis itu. Veno tersentak. Dia tersenyum canggung dan hanya menjawabnya dengan gelengan kecil.
"Dia gak papa, kok. Dan aku-eh gue di sini cuma lewat aja. Kamu- eh lo sendiri mau ke mana?" Tanya Veno berusaha menyembunyikan kegugupannya yang kentara.
Buset, ngapain pake aku-kamu? Gue gugup anjir! Rutuk Veno dalam hati.
Gadis itu memiringkan kepalanya, menatap Veno heran, lalu kemudian mengerjap sadar. "Gue mau ke gedung ekstrakulikuler."
"Oh, bareng aja sama ak- gue."
"Kalo gak biasa pake lo-gue pake aku-kamu aja," sahut gadis itu lalu melangkah. Senyum Veno mengembang begitu saja, dia menatap punggung gadis itu, lalu menoleh pada Dista yang masih diam di posisinya. Dista seolah tak tergerak atau pun terganggu sama sekali.
Veno hanya menghela nafas melihat Dista. Dia berdoa, sahabatnya yang egois itu segera berubah. Dia berharap, sahabatnya segera meminta maaf dan memaafkan serta mau mendengarkan penjelasan Dista.
Hm, semoga saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Radista
Teen Fiction[08-01-2020]#1 in khianat. Gibran Kenando dan Gladista Arnetha, sepasang kekasih yang bisa dibilang sangat romantis. Bagaimana tidak? Gibran selalu memperlakukan Gladista layaknya seorang ratu, membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa iri. Nam...