Bab 1. Berubah

60 12 2
                                    

Happy Reading!

•••

Dista kembali menatap layar ponselnya yang tergeletak diatas kasur, dari tadi dia menunggu kabar dari seseorang.

Gadis itu memutuskan untuk mengambil ponselnya dan mengeceknya kembali. Dan benar, tidak ada balasan dari Gibran.

Dista khawatir, karena biasanya lelaki itu selalu memberikan kabar tapi sekarang, tidak ada satupun chat yang lelaki itu kirim. Bahkan puluhan chat yang Dista kirim tidak dibalas satupun oleh lelaki itu.

Aneh, itulah yang ada dalam pikiran Dista saat ini.

Dengan tergesa, Dista mencari nomor Veno untuk menanyakan Gibran.

"Iya Dis," ucap Veno disebrang sana.

"Dista mau nanya," ucap Dista.

"Nanya apa?"

"Gibran ada disana gak?" Dista menggigit kukunya menunggu jawaban Veno.

Disebrang sana, Veno menyerngitkan dahinya bingung. "Gibran? Gak ada. Emang kenapa?"

"Gibran gak ada kabar dari kemarin." Dista menunduk.

"Masa sih? Yaudah gue tanyain Jeno, siapa tau sama tuh anak."

"Hem, makasih Ven."

"Sip!"

Sambungan telpon terputus. Dista kembali mengecek chat yang Ia kirim, yang lagi-lagi belum ada balasan.

Dista menghembuskan nafas kasar. " Gibran kemana sih?!"

•••

Dengan gitar dipangkuan nya, Gibran menatap jalanan kota yang ramai, lelaki itu membiarkan angin malam menerpa wajah tampannya.

Ia masih memikirkan Dista, kenapa gadis itu tega mengkhianati nya? Jujur, Gibran kecewa.

Ponsel disampingnya kembali bergetar namun Ia abaikan. Gibran tahu siapa yang mengirim chat tersebut. Itu Dista. Karena dari tadi, banyak chat dan Miscall dari Dista yang pastinya Gibran abaikan.

Ia ingin menjaga jarak dulu. Setiap melihat Dista, entah kenapa hatinya merasa sakit. Jadi ia memutuskan untuk menjaga jarak sampai hatinya kembali seperti semula.

Ponsel Gibran bergetar membuatnya refleks menoleh ke arah ponselnya. Disana terpampang nama Jeno. Gibran mengambil ponselnya dan memutuskan menjawab telpon itu.

"Hallo."

"Gib,lo dimana?" Tanya Jeno.

"Rumah," jawab Gibran singkat, Ia malas berbicara.

"Lo gak papa kan? Lo gak sakit? Baek-baek aja kan Gib?" Pertanyaan bertubi-tubi dari Jeno membuat Gibran mengerutkan keningnya.

"Gue gak papa, gue sehat, gue baek."

"Huh.. Kirain lo kenapa Gib," Jeno menghembuskan nafas lega.

Gibran menaikkan alisnya seraya bertanya, "Kenapa sih?"

"Tadi Veno telpon gue, katanya Dista telpon dia nanyain keadaan lo karna gak ada kabar, Dista khawatir, " jelas Jeno.

Gibran terdiam. "Oh." Gibran memutuskan sambungan telponnya.

Lelaki itu diam mengingat ucapan Jeno.Dista khawatir.

Ia tertawa miris, Dista khawatir padanya? Haha! Untuk apa?

Lo udah bikin gue kecewa, batin Gibran.

•••

Hari ini Dista diantar sopir ke sekolahnya karena Gibran yang biasanya selalu berangkat bersama Dista tak ada kabar sejak kemarin, bahkan kekasihnya itu sama sekali tak menghubunyinya, padahal biasanya Gibran tak pernah lupa untuk sekadar mengucap selamat tidur pada Dista. Setelah mendapat kabar dari Veno bahwa Gibran baik-baik saja membuatnya sedikit lega, tapi tetap saja dia bingung dengan Gibran yang mendadak tak mengabarinya.

Dista berjalan melewati koridor sekolah. Saat didepan perpustakaan, Ia melihat Gibran berjalan belok memasuki area kelas XI. Dengan cepat, Dista mengejarnya.

"GIBRAN!" teriakan Dista membuat langkah Gibran berhenti namun masih membelakangi Dista.

Saat sampai didepan Gibran, gadis itu memegang lututnya sambil mengatur nafasnya yang tersengal.

Tak lama, Dista mendongak menatap wajah Gibran yang.. dingin. Entah kenapa ekspresi itu belum pernah Dista lihat sebelumnya.

Dista berdehem, "Gibran kenapa gak ngabarin Dista? Dari semalem Dista khawatir takut Gibran kenapa-napa, chat sama telpon dari Dista juga gak ada yang di respon satupun. Gibran kenapa?" pertanyaan beruntun itu muncul dari bibir tipis Dista.

Gibran hanya diam dengan ekspresi dinginnya.

"Gibran?" panggil Dista saat mendapati Gibran yang hanya diam.

"Gibran kenapa diemin Dista? Gibran marah?" Dista mengulurkan tangannya hendak memegang tangan Gibran, namun Gibran menepisnya cukup kasar membuat Dista meringis.

Dista kembali menatap Gibran. "Gibran kenapa, kok jadi kasar gini sama Dista? Kalo Dista punya salah maafin."

Pertanyaan itu lagi-lagi diabaikan begitu saja oleh Gibran. Lelaki itu memilih berjalan meninggalkan Dista tanpa sepatah kata pun.

Dista yang hendak memanggil kembali Ia urungkan. Melihat ekspresi Gibran yang dingin dan sikap Gibran entah kenapa membuat hatinya sakit.

Belum pernah Gibran menatapnya dingin, Lelaki itu selalu menatapnya lembut. Belum pernah Gibran bersikap kasar padanya. Tapi tadi, Kenapa Gibran bersikap kasar padanya? Bahkan lelaki itu tak merespon perkataan Dista satu pun.

Dista menatap tangan kanannya yang tadi ditepis kasar oleh Gibran. Hatinya sakit mengingat sikap Gibran tadi.

Saat itu Dista menyadari satu hal, bahwa Gibran berubah dan Dista tidak tahu apa yang membuat lelaki itu berubah.

•••

RadistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang