bab 6. sahabat

28 8 0
                                    

Happy reading!

•••

Jessica dan Dita saling pandang, lalu kemudian keduanya sama-sama menghela nafas. Jessica berdeham sesaat, dan kembali menatap Dita. Dita mengangguk kecil seolah mengerti arti tatapan Jessica.

"Lo kenapa?" Tanya Jessica begitu saja, menjatuhkan tatapannya pada mata Dista yang sembab.

"Gue gak papa." Jawaban Dista sama seperti gadis kebanyakan. Jawaban paling ampuh penuh kebohongan.

Dista mengalihkan pandangannya dari tatapan Jessica yang mengintimidasi. Dia membalikkan tubuh, berbaring memebelakangi kedua sahabatnya dan memejamkan mata tanpa menghiraukan Jessica dan Dita yang menghela nafas lelah. Dista menarik selimutnya hingga menutupi kepala, gadis berambut pirang itu menyembunyikan wajahnya dibalik benda tebal itu.

"Dis," panggil Dita pelan namun penuh penegasan. "Lo anggap kita sebagai apa?" Tanya Dita sukses membuat Dista melebarkan mata di balik selimutnya. Dista mati kutu. Jika Dita sudah berkata seperti itu, artinya dia marah.

"Mata lo sembab, bengkak dan merah, suara lo serak, akhir-akhir ini lo jarang muncul di grup chat kita, bahkan japri dari gue aja jarang lo respon, gue juga gak bisa bohong, lo selalu murung dan seolah lo gak semangat lagi buat hidup," tukas Dita. "Terus lo pengen gue sama Jessica percaya sama kalimat 'gak papa'-nya lo. Dis, please, di sini peran gue sama Jessica jadi sahabat lo. Jadi orang yang selalu ada buat lo," lanjutnya.

Mata Dista memanas, air mata yang sedari ia bendung di kelopak matanya meleleh seiring dengan kalimat yang Dita lontarkan. Emosi  Dita sudah mencapai titik paling tinggi. Sahabatnya itu sudah mengeluarkan dirinya yang sangat jarang ia tunjukkan. Dita yang petakilan, humornya anjlok, dan suka bikin kesal memang mempunyai sifat yang tak mudah ditebak.

Dista perlahan terisak, begitu pun dengan Jessica yang menangis dalam diam. Dita menarik nafas panjang dan menghembuskan nafas perlahan.

"Dis," panggil Dita sekali lagi. "Kalo lo emang gak butuh kehadiran gue sama Jessica, seharusnya malam ini gue gak ada di sini."

Dita bangkit dari duduknya, diikuti dengan Jessica. Kedua gadis itu mengemasi tasnya dan siap keluar dari kamar Dista. Memang, saat ini ketiganya sedang berada di kamar Dista padahal Dista tidak meminta mereka datang. Mereka datang tiba-tiba setelah hari cukup larut.

"Gue butuh kalian," lirih Dista membuat Dita dan Jessica menghentikan langkah di depan pintu kamar.

Dista menurunkan selimutnya dan bangkit. Dista menatap kedua sahabatnya, bersamaan dengan itu tangis Dista pecah, Dita dan Jessica langsung menghampirinya dan membekap Dista ke dalam peluka mereka.

"Gibran, Dit." Dista mulai mengadu. "Gibran berubah, dia bikin gue bener-bener kepikiran. Gue tahu Gibran dingin, tapi dia gak pernah kayak gini ke gue," lirih Dista di sela tangisnya.

"Cuma karena Gibran, lo kayak gini?" Dita dan Jessica melepaskan pelukannya. Mereka duduk melingkar membentuk segitiga.

"Gue cuma kepikiran, Dit. Gue takut gue punya salah." Dista mendenguskan hidung.

"Gibran gak ada ngomong ke lo?" Tanya Jessica, Dista hanya menggeleng. Memang itu adanya, Gibran sama sekali tak bicara apa pun pada Dista mengenai kesalahannya.

"Brengsek juga si bocah." Dita mendecih pelan. Gadis itu bangkit dan mengambil ponselnya di dalam tas yang tadi dia lempar begitu saja sebelum memeluk Dista.

Jari lentik Dita menari di atas touch ponselnya dengan raut wajah serius. Sementara itu, Jessica terus mencoba menghibur Dista yang terus bercerita.

Sementara itu, seseorang mengintip dari pintu kamar Dista. Pemuda itu tersenyum kecil melihat Dista dan teman-temannya. Dia, Davit, kakak Dista, bersyukur karena adiknya mempunya teman yang selalu ada untuknya.

***

"Lo jangan kayak anak kecil gini dong, brengsek!" Dita kembali mengumpat namun pemuda di hadapannya sama sekali tak tergerak.

Dita mendengus, gadis itu mendongkak dan mencoba meraih tatapan Gibran yang sedari tadi terus menghindar dan fokus pada ujung tongkat penyodok biliar.

"Gibran!" Sentak Dita, meraih kerah jaket Gibran hingga pemuda itu menoleh dengan malas.

"Apa sih, Dit? Lo mau gue laporin bokap lo karena maen ke club?" Tantang Gibran.

"Gib, gak ada yang tahu kalo lo sepupu gue, begitu pun dengan Dista, pacar lo." Dita menatap Gibran tepat, namun pemuda itu hanya mendecih.

"Dista sahabat gue, Gib. Dia udah kayak orang yang males hidup, karena apa? Karena lo!" Gibran kembali membalikkan diri tanpa ambil peduli pada kalimat Dita.

"Gibran!" Gibran kembali menegak dan membalas tatapan Dita.

Gibran menghela nafas sesaat kemudian menarik Dita keluar dari games room club yang dirinya datangi. Ya, Gibran hanya datang sendiri tanpa ada siapa pun yang tahu, entah bagaimana caranya Dita bisa datang ke sini, padahal tadi ketika Dita menanyakan posisinya, Gibran menjawab bahwa dia sedang di rumah, tapi Dita malah ada di sini bahkan setelah malam sangat larut. Dita memang nekat, apalagi jika sudah berkaitan dengan mereka yang dia sayang.

"Apa?" Gibran menatap Dita dingin. Keduanya kini berada di parkiran, tepat bersandar pada mobil Gibran.

"Apa yang sebenarnya terjadi antara lo dan Dista?" Tanya Dita to the point, apalagi gadis itu tidak mempunyai banyak waktu karena harus segera kembali ke rumah Dista. Dia pergi dari sana dengan alasan ingin membeli sesuatu ke supermarket depan perumahan yang bahkan jaraknya cukup dekat dengan rumah Dista.

Gibran mendesah pelan, wajahnya agak memerah, pemuda itu mengalihkan pandangannya dan kembali menghindari tatapan Dita yang sangat mengintimidasinya.

"Dista itu sahabat lo, kan?" Tanya Gibran. "Lo tanyain aja sendiri," lanjutnya.

Gibran melenggang, namun Dita meraih tangannya hingga membuat pemuda itu kembali ke posisi semula.

"Kenapa lo selalu menghindar kalo gue bahas Dista? Gib, kalo Dista tahu apa kesalahannya, dia pasti bilang ke gue. Tapi dia bahkan gak tahu apapun alasan  lo kayak gini." Gibran tak bergeming membuat Dita geram setengah mati.

"Gue harap lo yang ngomong, lo yang ngalah. Besok hari minggu dan rencananya gue sama Jessica mau ngajak Dista pergi biar setidaknya dia terhibur, biar dia gak selalu mikirin lo. Gue harap lo ada dan bakal hibur Dista."

"Gue gak bisa, gue sibuk."

Dita mendecih, lagi.

Gibran melenggang, kini Dita tak menghentikannya. Bahkan gadis itu sudah lelah dengan sikap Gibran yang sangat kekanak-kanakan. Kenapa Dista harus cinta pada pemuda seperti Gibran? Di luar sana banyak pria yang tak seegois Gibran.

"Dit," panggil Gibran. Pemuda itu menghentikan langkahnya setelah posisi mereka berjauhan. "Ini bego, tapi, juga minta tolong buat jaga Dista selagi dia jauh dari gue," setelahnya. Kemudian Gibran kembali melanjutkan langkahnya.

Dita menghembuskan nafas lelah, dia menatap punggung Gibran yang semakin menjauh dalam kegelapan. Pria itu memang sudab tidak waras. Kenapa Gibran harus meminta Dita yang menjaga Dista, padahal dia bisa melakukannya. Seharusnya Gibran bisa menjaga Dista dan mrngalahkan egonya sendiri.

Ponsel Dita di dalam tas bergetar membuat gadis itu mengerjap pelan. Dia melihat nama Jessica tertera dengan di layar ponselnya. Dita langsung mengangkat panggilan.

"Hm, gue ke sana lagi kok, jangan dikunci aja pintunya."

Dita memasuki mobil dengan ponsel yang masih menempel di telinga.

"Yaudah kunci aja, entar gue minta tolong Bang Davit buat bukain pintu, haha." Seketika, sambungan diputuskan secara sepihak oleh Jessica. Dita hanya terkekeh pelan.

RadistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang