bab 9. cowok itu

37 5 2
                                    

Happy Reading!

•••

Dista berlari kecil keluar dari food court, gadis berambut pirang itu merapatkan gigi nya kuat-kuat untuk menahan isakan, Dista juga menunduk sepanjang jalan, berusaha tidak menatap siapa pun atau air matanya akan tumpah.

Bruk,..

"Maaf, maaf," kata Dista pada seseorang yang tak sengaja tertabrak olehnya. Dista memunguti paper bag milik orang itu, menyerahkannya dan meminta maaf sekali lagi, lalu segera beranjak tanpa melihat siapa yang dia tabrak.

"Dista!" Dista menoleh mendengar namanya dipanggil seseorang dari belakang.

"Kak Jevon?" Tanya Dista pelan.

Pemuda bernama Jevon itu tersenyum lebar, "apa kabar? Sibuk gak Dis, temenin gue keliling yuk?" Ajaknya.

Dista menggeleng kecil. "Maaf, Kak, Dista buru-buru. Dista duluan, ya," kata Dista menolak ajakan teman dekat kakaknya itu. Dista beranjak namun Jevon kembali memanggil namanya membuat Dista kembali menoleh.

"Lo kenapa? Mau, nangis?" Tanya Jevon pelan, Dista hanya menggeleng.

"Dis, kenapa? Bilang sama gue."

Pertahanan Dista runtuh. Gadis berambut pirang itu terisak kecil dengan air mata yang meleleh membuat Jevon panik tak tahu harus berbuat apa. Jevon hanya mengusap puncak kepala Dista hingga gadis itu menunduk kecil. Dista mendenguskan hidung, tak menolak atau pun mencoba menjauh dari Jevon.

"Gue anterin pulang, ya." Dista mengangguk kecil, menyetujui tawaran Jevon.

Jevon merangkul Dista dan membawanya pergi menuju lift. Dista hanya melangkah di samping Jevon tanpa bereaksi banyak. Gadis itu hanya ingin segera pulang. Sementara itu, seorang pemuda bersama tiga gadis berdiri tak jauh dari posisi Dista dan Jevon berusan. Mereka menatap kepergian Dista. Gibran yang tadi berniat mengejar Dista dan mencoba menerima alasan serta penjelasan Dista di balik foto itu jadi mengurungkan niat. Rahang Gibran mengeras, wajahnya semakin dingin dan tatapannya semakin tajam.

"Sahabat lo, tuh," kata Gibran dingin, jelas ditujukan kepada Dita yang juga terdiam di sana. Gibran beranjak dari sana.

"Gibran tunggu," panggil Meva lalu mengejar langkah Gibran. Meva tersenyum riang, hatinya semakin melambung.

"Lo kenal cowok tadi gak?" Tanya Dita yang dijawab gelengan pelan Jessica. Keduanya sama-sama menghembuskan nafas berat.

•••

Jevon masih merengkuh bahu Dista dan menuntun gadis itu keluar dari mall karena Dista sibuk menunduk menutupi wajahnya. Tapi Jevon masih tidak mau bertanya apa yang menimpa Dista karena hal itu pasti akan membuatnya kembali mengingat hal yang membuatnya sakit hati, dan akhirnya Dista kembali menangis.

Setelah mereka berada di mobil Jevon dan kendaraan beroda empat itu sudah melenggang di jalan raya, Dista masih Diam membuat Jevon beberapa kali melirik kecil pada gadis di sampingnya yang terus menatap keluar jendela.

Jevon menarik nafas pelan. "Lo kenapa?" Tanya Jevon yang sebenarnya ia sudah ingin bertanya sedari tadi.

"Gak papa," jawab Dista serak.

Gadis berambut pirang itu mengusap pipinya, mencoba menghilangkan air mata beserta bekasnya. Dista menarik nafas pelan dan mulai memejamkan mata. Dista mencoba tidak menghiraukan Jevon yang tak berhenti menoleh ke arahnya. Bohong jika Dista tidak sadar akan lirikan Jevon, hanya saja tubuh, hati dan pikirannya sedang tidak ingin merespon. 

Cukup lama hening menyelimuti hingga Dista membuka mata dan menoleh kecil pada Jevon sebentar.

"Kak," panggil Dista. Gadis itu kembali menatap lurus ke depan.

Jevon hanya bergumam sebagai tanggapan.

"Kalo lo lihat cewek yang lo sayang sama cowok lain, gimana perasaan lo?" Tanya Dista, menoleh sepenuhnya pada Jevon. Sementara pemuda itu tersenyum kecil, paham ke mana arah tujuan perbincangan ini.

"Cowok lo selingkuh?" Tanya Jevon tanpa disaring membuay Dista mendecak kecil.

"Cowok gue gak pernah dan gak bakal pernah selingkuh," kata Dista. "Hm, walau sebenarnya sekarang gue ragu sama ucapan gue sendiri," lanjutnya dalam hati.

"Terus kenapa lo nanya kayak gitu kalo enggak diselingkuhin?"

"Cuma nanya."

Dista kembali memejamkan mata. Dia berpikir, apakah benar Gibrang selingkuh? Setengah hati Dista berkata ya, tapi Dista harus percaya bahwa Gibran tidak pernah dan tidak mungkin melakukannya. Dista jadi merasa bersalah tadi sudah marah-marah pada Gibran. Tadi Dista tidak bisa berpikir jernih, dia hanya terbawa emosi.

Benar memang, penyesalan itu datangnya belakangan. Dan sekarang Dista menyesal. Dirinya dan Gibran sedamg berada di zona bisa kapan saja saling melepaskan bila tak ada satu pun yang mempertahankan. Dista tak tahu kenapa akhir-akhir ini Gibran marah dan selalu menghindar darinya, tapi Dista harus tetap bisa menjaga hati dan mengokohkan emosi.

Dista merutuk dalam hati.

•••

Gibran memangku gitarnya tanpa berniat memainkannya. Pemuda itu hanya terdiam menatap lembaran kertas berisi tangga nada yang pernah dia tulis asal. Gibran menerawang kejadian kemarin, ketika dia melihat Dista bersama cowok lain, cowok yang sama dengan yang pernah Gibran lihat di foto yang membuat hubungannya dengan Dista renggang.

Hm, rupanya Dista memang sudah lama berhubungan dengan cowok itu. Tak heran kemarin Dista pergi meninggalkannya, rupanya dia sudah dijemput oleh cowok 'barunya'. Gibran semakin bingung, apakah dia harus meninggalkan Dista dan memutuskan hubungan mereka? Tapi Gibran masih tak ingin melepaskan Dista. Dista adalah satu-satunya gadis yang berhasil membuka hati Gibran. Dista adalah satu-satunya gadis yang berhasil membuat Gibran jatuh cinta untuk pertama kalinya. Dista lah gadis yang ia cari. Gibran takut, jika dia melepaskan Dista, dia tak akan bisa mendapat penggantinya.

Gibran menghembuskan nafas berat.

"Lo kenapa sih, Gib?" Tanya Veno. Sahabatnya itu memang berada di sana, di kamar Gibran, sedang sibuk menggambar abstrak.

Gibran tak menjawab, pemuda itu sibuk merenung, juga sedang malas menanggapi Veno karena pasti sahabatnya itu akan menceramahinya habis-habisan. Terkadang Gibran heran, bagaimana bisa cowok petakilan model Veno bisa akan menjadi sangat bijak ketika dirinya dalam masalah.

"Si Gibran mah paling mikirin hutang ke warung depan." Ah, iya, jangan lupakan Jeno yang baru masuk ke kamar Gibran sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman. Kadang Gibran sering dilema sendiri, haruskah ia membiarkan Jeno bekerja di rumahnya sebagai pelayan?

"Lo masih ada masalah sama Dista?" Tanya Veno tanpa menghiraukan Jeno.

"Hm, gue liat Dista sama selingkuhannya, di depan mata gue."

"Serius lo?" Tanya Jeno mendekat pada Gibran. Gibran tak menjawab.

"Gue bingung harus apa, apa gue putusin aja Dista?" Tanya Gibran meminta saran.

"Simple Gib," kata Veno. "Kalo lo masih sayang, pertahankan, kalo lo udah gak peduli, lepasin. Kasihan Dista," lanjut Veno.

"Kok lo malah kasihan sama Dista sih, Ven? Lo gak kasihan sama Gibran? Lo itu sebenarnya ada di pihak Dista atau Gibram sih?" Tanya Jeno.

"Berisik lo setan!" Veno melemparkan pensilnya tepat mengenai kepala Jeno. "Gib, lo dengerin gue!" Lanjut Veno.

"Kalo lo mau lurusin masalah ini, jangan cuma diem, lo harus bisa jelasin ke Dista apa permasalahannya, dan biarkan Dista menjelaskan apa yang sebenarnya. Setiap orang punya sudut pandang berbeda, begitu pun lo sama Dista. Siapa tahu apa yang lo lihat, bukan apa yang sebenarnya terjadi," Veno menarik nafas sesaat, "dan Dista, lo tahu apa yang dia pikirin saat liat lo sama Meva? Lo tahu apa yang dia rasain saat dia udah susah payah berusaha buat lo, tapi malah lo tolak gitu aja. Gib, Dista juga punya rasa bosan, jangan sampai lo menyesal," lanjut Veno.

•••

RadistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang