9 - Nama kontak

1.5K 263 40
                                    

Aku mengipas-ngipaskan tanganku didepan wajah. Siang ini panas sekali. Hm... Tidak siang sih sudah pukul dua sore, tapi cuacanya masih panas.

Aku berhenti melangkah mendekati lapangan ketika melihat seseorang duduk di kursi panjang di pinggir lapangan. Itu Salsha.

Jujur aku ragu untuk melangkah, melihat Salsha yang tidak memalingkan pandangannya dari Iqbaal yang bermain basket. Aku ragu, aku takut aku terlalu jahat pada mereka. Tapi jika dipikir berkali-kali aku tidak salah. Mereka yang salah, dan aku cuma ingin mengikuti permainan mereka.

Setelah membuang keraguanku aku melangkah, tepat saat Iqbaal sudah menepi ke pinggir lapangan, dia menuju Salsha, tapi tentu saja aku langsung menginterupsi.

"Iqbaal," panggilku, setelah itu memberikan botol air minum yang aku bawa.

Butuh beberapa detik untuk Iqbaal mengambilnya, aku tahu kenapa. Itu karena Salsha memegang botol air mineral juga di pangkuannya. Sayangnya Salsha kalah kali ini, Iqbaal mengambil minuman dariku.

"Makasih," ucapnya lalu meneguk air itu.

Aku melihat Salsha, berpura-pura tidak tahu kalau ia di situ, "Eh Salsha? Lo ngapain disini?"

Salsha gelagapan, aku menikmati ekspresi itu. Ekspresi takut jika akan ketahuan. Betapa konyolnya dia. Aku tersenyum diam-diam.

"Gue nungguin temen gue," ucapnya, telunjuknya mengarah entah kemana.

Aku hanya mengangguk pelan, lalu beralih menatap Iqbaal, "Baal aku terima kamu jadi pacarku," ucapku tanpa aba-aba. Didepan Salsha pula.

Iqbaal sedikit terperanjat, aku metapnya lekat-lekat, mempelajari ekspresi wajahnya. Lalu dia tersenyum padaku. Oke pada poin ini, aku harus menguatkan niatku, karena demi apapun Iqbaal memiliki senyum yang mampu membuatmu jatuh cinta. Aku berusaha menyadarkan diri.

"Makasih udah mau jadi pacarku," ucapnya.

Wah wah, cukup aku akui kalau Iqbaal memang berbakat dalam berakting. Harusnya dia masuk di UKM kesenian bukan olahraga, ah iya kalau perlu ikut casting, karena sayang bakat kalau ngibulin orang yang dia miliki tidak dipakai. Haha.

"(Nam...) gue duluan ya," ucap Salsha tiba-tiba.

Aku melihatnya yang berdiri dengan tidak nyaman. Yah, beda Iqbaal, beda Salsha. Salsha tidak bisa mengontrol ekspresi wajahnya. Kentara sekali kalau dia terganggu dengan aku dan Iqbaal.

"Ah iya Sha, hati-hati." ucapku, dengan nada perhatian.

Nah lihat aku. Kalau aku, jangan tanyakan bakat aktingku. Aku ini anak teater, tentu saja aku pintar berlakon. Meski gak cantik-cantik amat gini, aku selalu mendapatkan karakter utama dalam pentas teater.

"Kamu mau nungguin aku sampai selesai?"

Aku mengangguk antusias. Hiuh, jujur saja aku benci menunggu. Menunggu itu membosankan. Apalagi menunggu orang yang tidak tulis padaku. Tapi aku harus ingat lagi misiku, membuat Iqbaal cinta padaku. Lalu memutuskannya segera.

***

"Gak, (Namakamu) gak mau mi."

"Gak suka tinggal disitu, kegedean."

"Yaudah gausah perpanjangan sewa lagi."

"Di kos aku kan bisa."

"Ya kalo sama papi ya di hotel kek."

"Iya beneran (Namakamu) gak mau."

"Yaudah, iya nanti kabarin (Namakamu) ya mi kalau dah di Jakarta."

"Oke Mi."

Aku menjauhkan ponselku dari telinga saat mami menutup panggilan. Aku menghela napas, aku sudah tak menghitung terhitung sudah berapa kali mami ku menawari agar aku tinggal di apartemen saja. Tawaran kali ini disertai dengan amarah mami karena merasa pembayaran apartemen membengkak.

Apartemen itu sudah disewa oleh mami jauh sebelum aku memutuskan kuliah di Jakarta. Apartemen itu di huni beberapa kali saat mami dan papi ada bisnis.

Maunya mami aku tinggal disitu, kan sayang kalau apartemennya kosong. Tapi aku lagi-lagi menolak. Aku gak suka tinggal di apartemen. Terlalu luas, dan orang-orangnya sangat individual.

"Telpon dari siapa?"

Aku menoleh, "Dari mami," jawabku atas pertanyaan Iqbaal.

Iqbaal mengangguk paham, "Kamu panggil ibu kamu mami?"

Aku mengangguk.

"Kalo aku kamu panggil apa?" Tanyanya sambil tersenyum.

Aku terkekeh, "Apa ya? Maunya?" Tanyaku.

Iqbaal mengangkat bahunya, "Yah terserah kamu, asal jangan panggil om," ucapnya disertai kekehan.

Aku ikut tertawa, meski pura-pura, kalau aku harus memberikan nama panggilan pada Iqbaal. Maka nama paling bagus adalah, brengsek, ah iya nama hewan juga bagus.

"Hm, ayah bunda?" Tanyaku diselingi tertawa. Hanya bercanda.

Dia langsung mendatarkan wajahnya, "Abi umi aja gimana? Biar lebih barokah," ucapnya, sambil menyatukan kedua telapak tangannya.

Aku tertawa, kemudian dia juga tertawa. Kali ini aku tertawa sungguh, melihat ekspresi Iqbaal yang sangat konyol.

"Ah iya, kamu kasih nama kontak aku apa?" Tanyaku, basa-basi sih.

Iqbaal memeriksa ponselnya, lalu menyerahkan padaku. Aku melihat nomor telepon ku dengan nama kontak (Namakamu) di tambah emot love. Aku menarik bibirku keatas, entah kapan ia menyematkan emoticon hati itu.

"Coba-coba liat kontak aku di hape kamu," ucap Iqbaal, ia menjulurkan tangannya.

Aku memegang ponselku erat, "Belum aku ganti, aku ganti dulu ya," ucapku, menjauhkan ponselku sejauh mungkin dari Iqbaal.

Iqbaal menggeleng, "Lihat coba kamu namai apa?"

"Ya, aku namai namamu."

"Iya udah sini lihat."

Aku mengangkat ponselku, kemudian berdiri berusaha menjauhinya, "Wait, wait, aku ganti dulu namanya," ucapku, sambil mengutak-atik keyboard ponselku.

"Udah nih," ucapku, setelah selesai mengganti nama Iqbaal.

Iqbaal mengambil ponselku, melihat layarnya, dan kemudian tertawa, "Ih beneran Abi?"

Aku ikut tertawa, sesekali tersenyum miring. Untung saja tadi aku tidak langsung menyerahkan ponselku padanya.

Dia gak tahu saja nama yang sebelumnya aku gunakan untuk menamai nomor ponselnya; Anjing.

***


(Namakamu) ngegas haha

Kalau misalkan (Namakamu) gak bisa menjalankan misi balas dendamnya ya gimana? Masalahnya pesona Iqbaal tak bisa diabaikan.


Putar BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang