11 - Iqbaal kenapa?

1.8K 268 21
                                    

Aku kira Aldi benar-benar membatalkan taruhannya, atau apapun itu. Aku kira Iqbaal akan berhenti mendekatiku. Aku kira permainan ini berakhir, tapi Iqbaal masih menghubungiku, malah mengajakku keluar malam ini.

Aku memakai flatshoes ku cepat ketika Iqbaal memberitahuku dia sudah didepan kos. Aku berjalan cepat, tapi langsung berhenti ketika di teras kos aku mendengar suara Salsha dan Iqbaal tentunya.

Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi mereka tertawa bersama. Aku meremas tali selempang ku, lalu tanpa ragu mendekati mereka.

Mereka langsung berhenti tertawa ketika aku muncul, aku memberikan senyum terbaikku. "Yuk baal."

Iqbaal bangkit dari tempat duduk, "Duluan ya Sha," ucapnya.

Aku tetap memperhatikan interaksi mereka, tanpa melepas senyum palsuku.

"Mau kemana?" Tanya Salsha menggodaku.

Aku cepat-cepat berekspresi seperti biasa, "Ada deh, bye jomblo," ucapku sambil mengayunkan tangan.

Salsha memanyunkan bibirnya, "Anjir, awas lo ya."

Aku terkekeh geli, sambil mendekati gerbang, dalam hati aku berkata, 'lo yang awas Sha'

Ketika aku membuka gerbang, Iqbaal sudah berada diatas motornya, sudah memakai helm juga. Aku mematung sebentar. Aku memperhatikan dressku, aku kira malam ini ia akan bawa mobil, jadi aku pakai dress saja.

"Naik!" Seru Iqbaal.

Aku menatap Iqbaal, "Aku ganti celana dulu ya, aku kira kamu bawa mobil," ucapku.

Iqbaal diam sejenak, lalu melepas jaketnya, dan menyerahkannya padaku, "Nunggu kamu ganti pasti lama, pakai ini aja."

Aku mendekati motor lalu meraih jaketnya, cih, dia bahkan tidak turun dari motornya, kalau di cerita-cerita wattpad yang sering aku baca, cowoknya akan dengan senang hati mengaitkan jaket pada ceweknya. Ah iya iya, aku lupa. Iqbaal kan tidak tulus.

Aku mengikat jaket Iqbaal pada pinggangku tanpa menggerutu, lalu naik keatas motornya. Aku meletakkan tanganku di paha, tidak berniat berpegangan padanya.

"Pegangan (Nam...)."  Ucapnya.

Aku berdecak pelan, "Dasar modus!" umpatku pelan.

"Kenapa (Nam...)?"

Oops, apa suaraku terlalu keras? Aku langsung menutup mulutku rapat, meski enggan, aku memegang kemeja Iqbaal bagian pinggang. Agar dia gak curiga sih. Kami menuju salah satu mall di Jakarta, berniat menonton film yang baru rilis.

"(Nam...)," Panggil Iqbaal.

Aku menyahut sekenanya, "Hem?"

Dia tiba-tiba memutar kaca spionnya agar menangkap bayangan diriku, kalau dari pandangan ku kaca spion itu menangkap wajah Iqbaal, tapi dari Iqbaal kaca itu menangkap wajahku. "Apa?" Tanyaku, melihat pada kaca itu.

Iqbaal hanya tersenyum sambil menggeleng, jeda beberapa saat, lalu dia berkata lagi, melirik ku sebentar, "(Nam...) kamu sayang gak sama aku?"
Tanyanya.

Aku diam sebentar. Berpikir jawaban apa yang akan aku berikan, kalau aku bilang aku menyayanginya, apakah itu berarti dia akan memutuskanku saat ini juga? Lalu aku tidak dapat apa-apa. Pembalasan dendam biru tak terlaksana. Atau aku menjawab tidak, tapi dia akan curiga, mengapa tidak.

"Sayang gak?" Tanyanya menuntut. Aku melihat wajahnya yang fokus pada jalanan tapi sempat tersenyum. Apa dia menyembunyikan rencananya dibalik senyumnya?

"Aku sayang kamu kalau kamu sayang aku," ucapku pada akhirnya.

Dia terkekeh, "Aku sayang kamu kok," katanya, ini pertama kalinya ia mengatakan dia menyayangiku, bahkan saat ia memintaku menjadi pacarnya, gak pernah tuh dia bilang seperti itu.

"(Nam, aku sayang kamu," katanya lagi, menuntut balasan kalimat yang sama. Aku diam lagi, aku tahu kalimat yang ia katakan seperti angin lalu baginya, tak berarti. Juga itu akan berlaku sama bagiku, tak berarti.

Sampai motor Iqbaal memasuki parkiran mall aku tak kunjung membalas ucapannya. Malah sibuk mengalihkan pembicaraan. Saat kami sudah masuk kedalam mall. Iqbaal meraih tanganku, menggenggamnya.

Aku diam saja saat itu, mengeratkan genggamannya juga enggan, sebab aku sadar. Saat kami sudah memegang dua tiket film, dia tiba-tiba   mendapat telpon. Aku ijinkan dia mengangkatnya agak jauh dariku. Pikiranku melayang menerka mungkin itu Salsha. Tapi yah sudahlah aku tidak peduli.

Dia kembali lagi padaku beberapa saat dengan wajah terburu-buru, "Kenapa?" Kataku.

"(Nam,) maaf aku ada urusan mendadak," ucapnya, lagi. Lagi dan lagi. Kalimat itu yang selalu ia ucapkan setiap kami bersama. Lagi lagi aku ditinggal. Aku menggenggam erat tiket ditanganku.

"Urusan apa?" Kataku, masih dengan nada suara yang terkontrol.

"Urusan keluarga, aku harus balik sekarang, maaf yah," katanya, maaf selalu menjadi kata yang ia ucapkan dalam hubungan kami.

Aku tidak mau memperpanjangnya lagi. Aku mengangguk lemah, dia tersenyum padaku, mungkin pada perasaanku yang mau mengerti dia, tapi percayalah bukan aku mau mengerti dia, aku hanya bersikap seperti semestinya, bahwa aku bukan siapa-siapa.

Dia pergi setelah mengelus pelan puncak kepalaku. Aku menghela napas panjang setelah itu, kali ini aku harus apakan tiket ini?

***

Beruntung mami sudah tiba di Jakarta. Mami menemani papi bertemu dengan kliennya. Kebetulan beliau juga ada di mall yang sama, jadi aku mengajak mami nonton. Mami bertanya kenapa aku tumben mengajak mami, aku bilang saja pacarku tiba-tiba pergi karena ada urusan, jadi aku dan dia tidak jadi nonton.

"Sayang banget ya, kamu gak jadi nonton sama Aldi, padahal filmnya bagus," ucap mami saat kami keluar dari dalam bioskop.

"Ngapain nonton sama Aldi," gumamku.

"Loh bukannya pacar kamu Aldi?" Tanya mami.

Aku menggeleng. Mami memang tahu hungan aku dan Aldi, sudah ku bilang kan aku pacaran dengan Aldi sejak SMA. Kami satu SMA di kota Surabaya.

"Putus?"

Aku mengangguk pelan.

"Kenapa putus? Kamu selingkuh ya?"

Eh enak saja, "Ih mami, enggak, mana mungkin (Namakamu) selingkuh."

"Abis kamu cepat banget punya pacar."

"Yah soal itu mah beda, pokoknya (Namakamu) gak selingkuh."

Kami terus mengobrol mengapa aku putus dengan Aldi. Mami tidak pernah melarang aku pacaran, hanya saja dengan syarat pacarku harus orang yang mami kenal dengan baik. Jadi aku harus mengenalkan Iqbaal pada mami, tapi aku ogah, karena hubungan kami palsu, dan aku tidak mau hubungan ini bertahan lama.

Tak terasa kami sudah sampai di restoran tempat papi bertemu klien.

Aku menengakkan kepalaku mencari keberadaan papi, saat mataku menangkap sosok papi, dan seseorang yang aku kenal disampingnya aku langsung melambaikan tangan menyapa.

"Papi, kak Rei!" Panggilku, sat itulah mereka langsung menoleh menatapku.

Aku tersenyum sumringah melihat saudara laki-lakiku, Reihan. "Mami kok ada kak Rei?"

"Iya kebetulan dia disini," ucap Mami.

Aku langsung melenggang masuk menuju mereka, tapi saat sudah hampir dekat, aku berpapasan dengan seseorang mirip Iqbaal yang keluar dengan wajah kesal dan marah. Aku mengikuti arah keluarnya Iqbaal. Itu memang seperti Iqbaal, bajunya pun sama, aku masih ingat. Tapi kenapa dengan wajah kesalnya itu? Kenapa juga ia masih di mall ini?

Aku menatap meja dibelakang tak jauh dari meja keluargaku, ada seorang wanita paruh baya sedang berbicara dengan waittres. Di sana baru aku sadari ada gelas minuman yang pecah.

"(Namakamu)! Ngapain disitu?" Panggil Kak Rei.

Aku langsung menyadarkan diriku, langsung menuju ke meja keluargaku.

***

Jadi Iqbaal kenapa? Ada yang bisa jawab?

Putar BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang