17 - Jarak agar mengerti

2.5K 285 38
                                    

"Bilang sama aku, aku harus apa (Namakamu)!"

Aku diam saja ketika Iqbaal berteriak kencang. Tapi sungguh dalam diriku, seluruh perasaan sudah bercampur aduk. Terlebih marah, tak berdaya, dan kecewa. Aku benci kombinasi ketiganya.

Aku menoleh, menatap Iqbaal meski pandanganku kabur. Mataku berkabut.

"Yang harus lo lakuin cuma jauhin gue." Akhirnya kata itu yang mampu aku ucapkan setelah sekian lama membisu selama berada didekatnya. Dia membatu mendengar ucapanku.

Aku tak cukup sabar menunggu reaksinya sehingga aku berbalik lebih dulu menjauhinya. Kali ini Iqbaal tidak memanggil namaku seperti biasa. Dia diam saja melihat aku pergi. Seolah menerima permintaanku agar dia menjauhiku.

Aku berjalan cepat secepat lelehan air mata yang sudah luruh ke pipiku. Kenapa aku menangis?

***

Aku rasa Iqbaal benar-benar menerima permintaanku. Dia benar-benar tak muncul lagi di depanku. Tidak pernah kutemui dia lagi dua hari ini. Hari pertama aku lega, hari kedua aku mulai merasa aku keterlaluan pada Iqbaal.

Aku jadi mulai mengingat-ingat usahanya meminta maaf padaku. Jujur aku sudah memaafkannya hanya saja aku masih tidak bisa mengontrol emosiku setiap melihat wajahnya. Salahkah aku?

Aku menggeleng cepat-cepat karena pikiranku yang semakin lama semakin mengasihani iqbaal. Ada apa dengan aku ini? Bukannya aku yang ingin dijauhi oleh Iqbaal. Lalu kenapa aku bersikap seolah aku menyesal memintanya pergi?

Ah perasaan apasih yang cewek punya. Kenapa ribet seperti ini?

"Kamu masih marah ya sama kakak?"

Aku tersentak, baru sadar kembali jika aku sedang bersama Kak Rei. Kami makan siang bersama.

Aku menggeleng cepat, kasian melihat ekspresinya yang memelas.

Iya. Aku sudah memaafkan kak Rei  dan berjanji tidak akan membocorkan masalah ini pada mami dan papi. Kak Rei mendadak sangat baik padaku. Membelikan makanan yang banyak, baju-baju bagus. Sepatu mahal. Pokoknya banyak deh.

"Kalo iqbaal? Udah kamu maafin?"

Aku menerima pertanyaan tiba-tiba dari kak Rei. "Udah kok," jawabku pelan.

"Terus?"

"Terus apa?" Tanyaku.

"Kenapa masih galau?" Tanyanya.

Aku mencebikan bibir. Dibalas dengan kekehan oleh Kak Rei. Aku tak tahu lagi seperti apa wajah konyolku ini.

"Gak papa kok," jawabku.

"Gak papa kok," kak Rei menjiplak kalimatku, meniruku. persis lengkap dengan logat, nada dan pipi sedikit menggembung serta manyun. Apakah aku seperti itu? Aku jadi meringis sendiri.

"Iqbaal ngilang, mungkin capek sama aku," ucapku akhirnya.

"Gak apalah dek, kalian butuh jarak. Mungkin setelah itu kalian akan sadar posisi dan keberadaan masing-masing. Kayak kamu yang lagi butuh keberadaan Iqbaal."

Aku mencebikan bibir melihat kak Rei terkekeh geli. Tapi apa benar kami butuh jarak? Agar sama sama sadar posisi satu sama lain, agar sama-sama sadar pentingnya menghargai keberadaan satu sama lain?

Ah entahlah.

***

"(Nam...) Iqbaal tuh."

Mendengar nama itu, otakku yang sedang lemot langsung cepat bekerja. Aku mengikuti arah telunjuk Salsha yang mengarah pada sesuatu di belakangku. Aku langsung menoleh, ternya benar. Iqbaal naik motornya sedang bekendara.

Putar BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang