Prolog

1.5K 144 4
                                    

Kenangan itu...

Ia mencengkram kepalanya dengat kuat. Beberapa rambutnya rontok dan berjatuhan di lantai. Kepalanya berdenyut. Nyeri...

Begitupula dengan jantungnya

Ia bersandar pada dinding kamarnya. Bukan, seharusnya itu kamar ia dan seseorang yang kini menjadi alasan sakit yang mendera kepala dan jantungnya.

Ah, seingatnya hanya beberapa kali ia menempati kamar itu berdua dengan orang yang seharusnya menjadi teman tidurnya setiap malam. Hanya pada saat-saat genting.

Setetes air mengalir di pipinya. Tak ada niatan sedikitpun untuk menghapusnya. Karena percuma, berapa kalipun ia mengusap tetesan yang lain akan menyusul.

Ingatannya berputar pada saat di mana seharusnya ia tidak melakukan sesuatu yang akan ia sesali dikemudian hari. Air matanya kian merebak jika teringat akan hal itu. Sungguh, jika ia bisa ia akan kembali ke masa itu dan menghentikan dirinya di masa lalu untuk tidak melakukannya. Ia akan mengeluarkan uang, seberapa banyakpun itu.

Ia sekarang sendiri. Bahkan keluarganya pun enggan bertatap muka dengannya. Mungkinkah ini karma? Tidak, ini tidak seberapa dengan perbuatannya di masa lalu. Tapi jika boleh jujur, dengan penderitaan sekecil ini saja ia menyerah.

Sudut bibirnya pecah. Seseorang menghajarnya dengan brutal tadi, dan ia hanya diam menerima semua pukulan dengan senang hati.

Tak ada guna berandai-andai. Kini semua sudah terjadi, mau bagaimana lagi?

Traumatic Love
T+
Naruto © Masashi Kisimoto
Miss typo(s)
Alternative Universe
Hurt, Family, Romance
DLDR
Have you enjoy it

Ketika ia melangkahkan kakinya ke mansion besar itu jantungnya berdegup kencang. Ia beberapa kali meneguk saliva yang entah kenapa terasa begitu memenuhi mulutnya. Tangannya berkeringat. Tak biasanya ia segugup ini.

Tentu saja...

Kini ia sedang berusaha memperbaiki semuanya. Memperbaiki perbuatan keji di masa lalunya. Dan sedari tadi ia juga tak henti-hentinya berdoa, berharap sang Kami memperlancar segalanya. Meski ia ragu doanya akan terkabul. Pasalnya, ia bukan seorang hamba yang taat. Cenderung suka bermaksiat.

"Mau apa ke sini?" Suara itu memang terdengar datar dan nyaris terlihat tanpa emosi. Namun ia tahu jika di balik raut itu, amarah yang membara sedang bergejolak dan memberontak untuk dibebaskan.

"Hyuga-san, bisa kami masuk?" Ibunya menyeletuk. Sedikit menetralisir aura yang terasa horor seketika.

Orang itu terdiam, kemudian menghel nafas sesaat. "Baiklah,"
.
.
.
.
.
.
Wajah yang sedikit berkeriput itu terlihat angkuh dengan posisi duduknya yang berada di sofa khusus untuk sang tuan rumah. Rahangnya mengeras dengan sorot mata yang tajam.

"Aku masih berfikir ribuan kali untuk mengizinkanmu melakukan hal itu, Uchiha."

Semua yang berada di ruangan itu terdiam. Tak ada yang berani membantah.

"Tapi, Hyuga-san. Saya benar-benar serius. Anda bisa memegang kata-kata saya ini. Saya bersumpah demi Uchiha."

Semua mata terperangah. Meski terdengar bergetar, namun jelas sekali kalimat itu diucapkan dengan tulus. Semua orang bisa melihat itu dari matanya.

"Tidak bisa! Paman, jangan pernah mengabulkan keinginan laki-laki brengsek ini. Paman harus ingat bahwa putri paman hampir kehilangan nyawa. Kupikir itu cukup untuk menjadi pela–"

Satu tangannya terangkat, membuat pemuda yang menyeletuk sebelumnya menghentikan ucapannya.

"Aku tidak semudah itu percaya," benar, masih ada keraguan yang terlihat jelas di wajah tegas itu.

Ini semakin rumit

Bruk

"Apa yang kau lakukan?!"

Seketika semua orang terkejut.

"Tolong, Hyuga-san. Percayalah, aku Tidak tahu Harus melakukan apa lagi selain ini untuk membuat anda percaya," suaranya lemah dengan posisi bersujud seperti itu. Uchiha yang merendahkan diri adalah suatu hal yang langka. Sebab mereka terkenal dengan keangkuhan dan kesombongannya. Belum lagi kekeraskepalaannya. Dan yang satu itu terlihat jelas kali ini.


"Aku tidak menyangka, seorang Uchiha bisa melakukan hal ini," sindir laki-laki berusia hampir setengah abad itu. "Bangunlah, Sasuke."

Laki-laki yang bernama Uchiha Sasuke itu mengangkat kepalanya. Kemudian perlahan berdiri. Ia masih harap-harap cemas menantikan kalimat selanjutnya.

"Sejujurnya aku masih tidak begitu yakin dengan dirimu. Tapi tidak ada salahnya memberikan kesempatan kedua. Dan kau akan tau jika kau menyia-nyiakannya kali ini."

Sasuke tersenyum bahagia. Ibunya ikut tersenyum dengan beberapa air mata yang menetes.

"Bisa aku bertemu dengannya?"

"Sayang sekali, dia sedang tidak ada di rumah."
.
.
.
.
.
.

Segelas kopi shot yang ia pegang mengepulkan asap, pertanda jika temperatur minuman berkafein tersebut masih cukup panas. Tangannya yang berlapis kaos tangan memegang pembatas jembatan yang terbentang di atas lautan, dengan mata yang menatap suasana malam hari di lautan lepas. Ia tersenyum kecil. Sudah lama ia tidak merasa sebebas ini.

Dari kejauhan seseorang memperhatikannya dengan seksama. Senyum simpul mengembang di bibirnya.

"Benar, itu memang dia."

Kemudian ia berlari guna menghampirinya. Bahkan jarak sejauh lima puluh meter terasa sangat jauh, mengingat kerinduan yang membuncah di dadanya terasa memberontak meminta dibebaskan.

Bruk

Kopi panas itu terjatuh ke tanah. Ia masih terkejut dengan seseorang yang tiba-tiba memeluknya dari belakang.

"Aku merindukanmu.."

Matanya membulat, suara itu...

Tidak, tidak mungkin, bukan?

Tubuhnya dibalikkan dengan perlahan. Ketakutannya bukanlah sebuah keparanoid-an semata. Nyatanya, orang yang paling ia hindari sedang berada di depannya saat ini.

Entah bisikan dari mana, ia berlari. Namun belum sempat menjauh tubuhnya kembali terperangkap ke pelukan orang itu.

"Jangan pergi," lirihnya hampir tanpa suara. "Aku sungguh merindukanmu, Hinata."

Sementara Hinata yang berada di pelukannya telah berurai air mata. Demi apapun, laki-laki ini adalah orang yang paling dihindarinya.

"Le-lepas!"

"Ku mohon, dengarkan aku," kedua telapak tangan besar itu menangkup wajah yang banjir air mata tersebut. Kemudian menempelkan kening mereka berdua.

"Jangan menghindariku. Aku menyesal. Tolong maafkan aku," pintanya dengan nada memohon. Tangannya sibuk mengusap air mata yang membasahi pipi Hinata, yang sayangnya tidak bisa kering sedari tadi.

Sungguh, hatinya sakit melihat raut terluka itu. Dan ia sadar betul itu karena dirinya. Lihat? Bahkan Hinata tidak mau menatapnya sedari tadi.

"Lepaskan aku, ku mohon..." Lirihnya dengan masih terisak. Sasuke tidak mampu melihatnya. Segera ia dekap tubuh mungil berbalut mantel tersebut dengan erat. Ia juga terluka, tapi dengan keadaan yang berbeda tentunya.

"Aku ingin kembali padamu, Hinata. Tolong beri kesempatan. Bahkan ayahmu bisa mempercayakanmu padaku."

Hinata terkejut. Ia menatap wajah Sasuke seketika. Ayahnya mengizinkannya?

"Ti-tidak mungkin..."

~TBC~

Traumatic Love [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang