Bandung, 2018
Ketenangan adalah kata yang sempurna untuk menggambarkan kepribadian juga hidupku. Yah, setiap manusia pasti punya riaknya sendiri meskipun tertutupi tenangnya permukaan, sama halnya denganku. Well, aku memang menyembunyikan riak, namun untuk saat ini, kurasa aku masih cukup andal unntuk menutupinya.
Meskipun segala yang kulakukan dalam hidup penuh ketenangan dan kehati-hatian, tak dapat dipungkiri bahwa ada saja batu yang menciptakan riak untuk mengusikku. Dan kurasa Wanita muda di hadapanku ini tengah menjadi batu yang berusaha menimbulkan riak pada hidup tenangku belakangan ini.
"Enggak. Aku tetap gak mau!" tolakku telak saat Dara masuk ke dalam kamarku tanpa izin setelah dua hari ini mengikutiku tanpa memberi spasi dengan segala permohonannya.
"Ayolah, Lit. bantu aku, please ...," mohonnya entah untuk yang ke berapa kali hari ini. "Aku gak mungkin datang ke kencan buta itu sementara aku sudah punya pacar yang aku sayang," katanya memelas, tapi aku tak peduli.
"Gak ada alasan buatku menuruti permintaanmu yang merugikan itu. Kalau kita ketahuan, bukan cuma kamu saja yang bakal kena marah ayah, tapi aku juga."
"Tapi kamu kan adikku. Sudah sewajarnya kita saling membantu."
"Adik tiri. Ingat itu!" tekanku membuat Dara terdiam seribu bahasa.
"Dan kita gak sedekat itu untuk saling menolong urusan satu sama lain. Alasan utamanya, aku gak suka sama kamu, dan aku yakin kamu pun begitu."
Dara menghembuskan napasnya gusar. Kebiasaannya saat kehabisan akal untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Aku berjalan menuju pintu membuat gestur pelayan yang menunjukkan jalan keluar pada pengunjung restoran. "Silakan keluar dan jangan ganggu aku lagi."
Dara menatapku lamat-lamat seraya berjalan menuju pintu. Dia sudah diambang pintu saat sebuah senyum licik tersinggung di bibir peachnya.
"Sebenarnya aku gak mau pakai cara ini. Tapi, ini satu-satunya ancaman terakhir yang ku punya," ujarnya membuatku mulai waspada.
"Apa ayah tahu kalau kamu pindah jurusan dari Management ke fakultas ilmu pendidikan?"
Oh sial!
****
"Ingat, Lit. Kamu harus kacaukan acara kencannya. Buat kesanku seburuk mungkin di depan Pratama supaya perjodohan ini dibatalkan."
Pesan Dara sebelum aku berangkat masih terngiang-ngiang di benakku. Gadis berjuta pesona itu, ada kalanya aku tidak mengerti bagaimana perasaanku padanya. Aku tahu kami saling tidak menyukai. Tapi anehnya selalu saja ada yang menghubungkan Kami berdua. Seperti situasi saat ini.
Kami lahir dari rahim yang berbeda namun selama bertahun-tahun lamanya memiliki ayah yang sama. Bukan berarti dia juga anak kandung Ayahku. Dia hanya ... ah entahlah, mungkin itu yang kuharapkan, bahwa Dara bukanlah saudara kandungku. Sampai saat ini pun aku tidak mengerti bagaimana ceritanya hingga detik ini kami bisa menjadi satu keluarga dan tinggal di bawah atap yang sama. Dara dan mamanya- Bunda Riani- hadir setelah bundaku meninggal. Hanya sebulan setelah bundaku meninggal dan hidupku berubah menjadi lebih suram.
Saat itu aku masih berusia tujuh tahun tapi harus berbagi kasih sayang dengan saudara perempuan baru dan juga harus terbiasa memanggil orang asing dengan sebutan bunda juga. Jujur saja, itu adalah masa terberat bagiku. Setiap kali melihat ayahku menyayangi keluarga barunya sama seperti menyayangiku dan bunda selalu membuatku merasa ... entahlah. Tergantikan barangkali. Karenanya, aku selalu bertanya-tanya, apa hati manusia dapat berubah secepat itu? Sebulan penuh kesedihan dapat berganti tawa semudah itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Simple Love (TELAH TERBIT)
ChickLitBagaimana rasanya ya, seandainya kamu terpaksa harus mendatangi sebuah kencan buta untuk menggantikan seseorang yang memegang rahasia terbesarmu? Hm, Arlita saat ini merasakannya. Mengemban tugas untuk mengacaukan suatu perjodohan, ia harus berpura...