Rasanya hampir gila!
Semalaman terbayang wajah rupawan Tama dan semua perlakuan baiknya padaku. Dan sampai detik ini jantungku berpacu tidak normal setiap kali mengingatnya. Hal ini diperburuk dengan Dara yang tak hentinya menggodaku setiap kali ada kesempatan di rumah.
Tapi, saat ditanyai tentang pembatalan perjodohan, gadis itu hanya meringis sambil menggaruk pelipisnya. Sudah ku duga. Dia pasti belum mengatakannya pada Ayah.
"Maaf, Lit, aku masih takut kalau harus jujur sama ayah sekarang. Kemarin aja waktu aku pancing dengan usulan bagaimana kalau Tama dijodohkan dengan kamu saja karena aku sudah punya pilihan, ayah langsung menentang. Seperti marah tapi berusaha menutupinya. Aku kan jadi keder. Ayah gak pernah marah sama kita sebebal apa pun kita."
"Kenapa begitu?"
"Mana aku tahu, Lit. Yang ada ayah malah bujuk aku untuk mencoba dulu melakukan pendekatan dengan Tama. Aneh kan? Kenapa kalau sama aku ayah setuju-setuju saja, tapi soal kamu, dia malah menentang. Padahal kalau pun kamu yang sama dia, bisnis ayah tetep untung kan karena kerja sama dua perusahaan makin erat."
Argh! Lagipula, kenapa Dara tidak langsung bilang saja sih kalau laki-laki pilihannya itu adalah Reka?! Bikin rumit saja!
Meskipun aku merasa sedikit janggal, tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkannya. Yang harus kupikirkan sekarang adalah bagaimana membatalkan janji dengan Tama sore ini. Sudah cukup laki-laki itu mengundang debaran yang tak semestinya padaku. Keadaan harus ku kendalikan seapik mungkin. Jangan sampai ada yang terluka, baik aku atau pun Tama. Kedekatan kami pun harus direm. Jangan terlalu terbawa perasaan.
"Apa aku bilang kalau hari ini mendadak ada kegiatan aja ya?" gumamku seraya berpikir. "Ah, enggak, enggak! Aku udah bilang free dengan yakinnya semalam. Bisa-bisa dia nanya panjang lebar. Atau ... ada temanku yang kecelakaan dan harus ku jenguk? Ah enggak, enggak. Sama aja mendoakan keburukan. CK, apa alasan yang harus ku pakai?! Han, bantu mikir dong! Bantu cari alasan bagus tanpa harus aku bohong."
Hana yang tengah kasmaran hanya melirik padaku dari balik layar ponselnya dengan senyuman lebar. "Bentar, Lit. Yayang gue ngajak hang out nih, gue mau balas dulu," katanya, yang mana sama saja dia tidak akan kunjung membantuku. Asal tahu saja, sekali Hana chatting dengan Bagas, cowok barunya itu, maka akan butuh waktu paling lama setengah jam untuk mengakhirinya. Bagas si puitis dan Hana si cablak tapi melankolis. Tidak akan ada cukup waktu bagi keduanya untuk mengakhiri saling menyanjung dan juga memuja via WhatsApp.
"CK, Han-"
Aku hampir saja merengek saat suara dering terdengar dari saku blazerku.
Reka?
"Ya, Ka?"
"Maaf, apa benar ini dengan saudari Arlita?"
Hm? Kenapa bukan Reka yang berbicara di seberang sana?
"Iya betul. Ini dengan siapa, ya? Kenapa bukan teman saya yang memegang ponselnya?"
"Sebelumnya mbak jangan panik, ya. Jadi begini, mbak, teman mbak ini sedang dilarikan ke rumah sakit karena mengalami kecelakaan beruntun di Jalan Soekarno-Hatta. Kalau berkenan mbak bisa datang ke Rumah Sakit Kencana. Soalnya kontak keluarga korban tidak ada yang bisa dihubungi. Sibuk semua,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Simple Love (TELAH TERBIT)
Literatura FemininaBagaimana rasanya ya, seandainya kamu terpaksa harus mendatangi sebuah kencan buta untuk menggantikan seseorang yang memegang rahasia terbesarmu? Hm, Arlita saat ini merasakannya. Mengemban tugas untuk mengacaukan suatu perjodohan, ia harus berpura...