"Padahal aku bisa pulang sendiri," gerutuku pelan saat Tama masuk ke dalam mobil lewat pintu pengemudi.
"Biar aku lebih tenang, aku aja yang antar pulang,"
Akhirnya aku menurut saja. Hitung-hitung hemat uang.
Keluar dari area parkir hotel, aku dan Tama sama-sama terdiam. Sesekali laki-laki itu berdeham dan aku menoleh ke arahnya karena dehamannya kian sering seiring berjalannya waktu.
Kenapa dia? Ingin ngobrol kali, ya?
"Kenapa?"
"Hah? Enggak,"
"Kamu sakit tenggorokan? Perasaan tadi masih biasa aja,"
"Enggak, aku baik-baik saja. Omong-omong ini kerjaan Kak Sania dan Dania, ya?" tanyanya mendadak canggung sembari mengamatimu dari ujung kepala sampai kaki saat lampu merah.
"Oh, iya. Kok kamu bisa tahu ini ulah mereka?"
"Cuma keluargaku saja yang tahu kalau aku menghadiri hari jadi perusahaan Om Sanjaya hari ini mewakilkan Papa. Lagi pula aku agak sangsi aja dandanan kamu yang wow ini hasil usaha sendiri. Bukannya menghina, tapi aku tahu kamu suka riasan sederhana,"
"Memangnya heboh banget, ya? Kayak tante-tante?" tanyaku mendadak merasa buruk.
"No! kamu cantik banget malah. Aku hampir kira salah lihat tadi waktu kamu berbalik dan menghindar dari ayah kamu. Tapi ternyata aku memang gak salah orang. By the way kamu selalu cantik di mataku. Dandan atau enggak, kamu tetap sama,"
Boleh gak sih aku terbang? Jadi begini ya rasanya digombalin.
"CK, gom-"
"Aku serius."
"Oh ... oke. Makasih kalau begitu,"
Sambil mengulum senyum aku menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga. Setelah Reka, Tama adalah laki-laki kedua yang menyebutku cantik. Padahal ayahku sendiri saja tidak pernah memujiku. Dia selalu kaku dan dingin seperti tembok. Semakin bertambah usia jarang sekali aku melihatnya tersenyum.
"Ehm ... Kak Sonia bilang kamu berubah jadi sangat menyebalkan beberapa hari ini. Kalau itu karena kamu marah sama aku, aku sekali lagi minta maaf, ya."
"Lebih tepatnya, aku bingung mengisi waktu di saat longgar seperti kemarin dengan kegiatan apa. Sebenarnya sebelum insiden Reka itu aku sudah tahu kalau beberapa hari ke depan aku terancam nganggur karena semua pekerjaan sudah aku selesaikan lebih cepat dari deadline-nya. Aku bahkan udah memikirkan banyak kegiatan yang melibatkan kamu juga di dalamnya,"
Entah kenapa aku cukup antusias mendengarnya.
"Misalnya?"
Tama melirikku dengan canggung.
"Misalnya ..., Aku gak tahu sih apa semua kegiatan ini menyenangkan untuk kamu atau enggak. Tapi aku sempat kepikiran untuk nonton bareng, film atau teater mungkin, lalu kita juga bisa pergi ke taman hiburan lagi, kebun binatang lagi, atau mungkin kita seharian menghabiskan waktu di toko buku atau perpustakaan kota. Barangkali kita juga bisa wisata kuliner, atau ...," Tama mendadak terkekeh salah tingkah.
"Membosankan, ya?" tanyanya melirikku dan jalanan di depan sana bergantian.
"Nggak. Itu menyenangkan buatku," jawabku jujur.
"Tapi, aku cukup sedikit terkejut kamu masih suka kegiatan-kegiatan tersebut di usiamu yang sudah matang,"
"Oh ... itu. Sebenarnya aku belum pernah melakukan semua itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Simple Love (TELAH TERBIT)
ChickLitBagaimana rasanya ya, seandainya kamu terpaksa harus mendatangi sebuah kencan buta untuk menggantikan seseorang yang memegang rahasia terbesarmu? Hm, Arlita saat ini merasakannya. Mengemban tugas untuk mengacaukan suatu perjodohan, ia harus berpura...