Keesokan harinya seisi rumah mengomeliku karena menginap di rumah teman tanpa izin. lebih tepatnya lupa minta izin. Ayah mendiamiku seharian karena masih kesal atas kelakuanku yang membuatnya cemas, sementara bunda Riani dan Dara hanya bisa mengasihaniku diam-diam karena mereka pun tidak bisa membelaku kalau ayah sudah marah.
Dan kalau ayah sudah marah, artinya tidak ada uang saku harian selama seminggu! Untungnya uang didompetku tidak dibobol semua saat mentraktir Hana kemarin. Tapi, tetap saja aku menggembel di kampus. Sedikit-sedikit minta traktir Hana yang pelitnya sudah tingkat rentenir. Berusaha keras melawan keinginanku untuk mengambil sedikit dari uang tabunganku selama bertahun-tahun di bank. Bagaimana pun juga uang itu tidak boleh tersentuh. Itu bekalku untuk di waktu mendatang, saat benar-benar terlepas dari rumah dan ayah.
"Han, minta dong ..., Jangan pelit-pelit lah ..., Orang dermawan di sayang Allah loh,"
"CK, perasaan Lo sama gue masih tajiran Lo ke mana-mana deh, kenapa jadi pengemis dalam semalam sih?"
Hana dan mulut kurang ajarnya ...
"Lagian juga gue kan cuma ditraktir di satu tempat tempo hari. Kayaknya gak sebanyak itu deh yang harus lo keluarin sampai bikin lo semiskin ini,"
Masih sempat-sempatnya membela diri!
Tapi akhirnya Hana memberikanku seporsi bakso kuah di kantin karena jengah dengan aku yang sedikit-sedikit meminta cadangan cemilannya dari ransel brandednya. Satu lagi keunikan Hana. Biarpun bodynya bak model dan eksotis abis, isi tas brandednya adalah berbagai macam kudapan penuh kalori dari kripik-kripikan sampai coklat dan bukannya make up. Tapi, bagi kami yang memang hoby ngemil, tas branded Hana sudah seperti kantong doraemon!
Bicara soal menggembel, aku sudah tiga hari melakoninya dan sudah tidak kuat lagi! Ingin rasanya meminta maaf pada ayah supaya hukumannya dicabut, tapi mengingat hubunganku dan ayah merenggang dari waktu ke waktu membuatku enggan melakukannya. Sepertinya amarah bertahun-tahun lalu itu masih bercokol di dalam hatiku dan belum padam seutuhnya.
"Makan woy! Udah dibeliin juga!"
"Iya!"
****
Sama seperti jalanan, belum tentu selalu mulus biar pun itu jalan sudah diaspal. Minimal ada satu atau dua polisi tidur tak terlihat yang mengganggu dan banyak krikil tersebar siap untuk menyakiti.
Begitu pun hari-hari tenangku. Mungkin hari-hari tenangku yang hampa berakhir pada malam Minggu beberapa hari lalu. Saat bertemu kembali dengan Tama dan laki-laki itu mengirimiku chat tengah malamnya.
Di saat-saat sulit seperti ini aku bahkan harus memikirkan masalah Dara. Jadi, karena tidak mau disalahkan, akhirnya aku menghubungi Dara dan menemuinya di kampusnya, by the way yang dulu juga kampusku sebelum aku mengikuti seleksi ulang di kampusku yang sekarang secara diam-diam, setahun setelah kuliah di kampus ini.
Beberapa orang menatapku sambil berbisik-bisik. Mungkin karena gaya pakaianku yang berupa terusan batik modern selutut. Pasti sangat mencolok di antara mahasiswa-mahasiswa berbusana modis dan semi formal. Sekilas, aku seperti calon guru yang tersesat di antara para calon pebisnis dan pengusaha. Tapi aku berusaha untuk tak peduli.
"Lita!"
Aku menoleh dan menemukan Raka di sana. Berlari ke arahku seperti tahun lalu. Dan belasan tahun lalu. Dia masih sama bersinar di mataku. Masih mampu membuat jantungku berdegup kencang.
"Hai, mau ketemu Dara?"
"Iya,"
"Yuk, kita tunggu di kantin aja. Biar dia nyusul."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Simple Love (TELAH TERBIT)
ChickLitBagaimana rasanya ya, seandainya kamu terpaksa harus mendatangi sebuah kencan buta untuk menggantikan seseorang yang memegang rahasia terbesarmu? Hm, Arlita saat ini merasakannya. Mengemban tugas untuk mengacaukan suatu perjodohan, ia harus berpura...