Minho ingin menangis. Matanya yang terasa perih karena menatap layar komputer selama berjam-jam kini menggenang air. Ia menggigit bibirnya sekeras mungkin demi menahan luruhnya air mata.
"H-hiks.. Kak Chan.." Namun ia gagal.
Dalam hitungan detik, Minho telah melempar dirinya ke atas tempat tidur dan membungkus dirinya dalam selimut. Ia menangis sekencang mungkin. Kepalan jemarinya yang mungil meremat selimut yang sudah basah.
"Huwaaaa! K-Kak Chan.. H-hik," Minho meracau.
Jemarinya yang semula mengepal kini ia arahkan menuju ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Dengan lincah ia mengetikkan sebuah nomor yang telah dihapal mati dan menekan tombol speaker.
"Halo, sayang?"
Tangisan Minho yang semula teredam kembali pecah. "H-hueee.. Kak Chaaan!"
"Sayang, hei, kamu kenapa?" suara lembut Chan yang tercampur rasa panik membuat tangisan Minho mereda.
"A-aku kangen! Hik.."
"Astaga, sayang. Jangan nangis, oke? Kamu di rumah, kan? Kakak ke sana sekarang," Chan berujar, berusaha mengatur napasnya yang memburu—karena ia tidak suka kekasihnya menangis—.
"I- hik. I-iya," Minho berujar lemah.
"Kakak bawain brownies sekalian, mau?" Chan menawarkan. Dari seberang telepon, Minho dapat mendengar suara berisik kertas yang sedang Chan rapikan.
"M-mau," cicit Minho.
"Oke, sayang. Kakak matikan dulu ya teleponnya?"
"Jangan!" Minho berseru. "A-aku masih kangen! h-hiks.."
Chan menahan dirinya untuk tidak berteriak gemas. "Iya, sayang. Nggak kakak matikan. Jangan nangis, ya?"
Minho menggigit bibirnya kuat. "Iya," jawabnya.
Lalu keheningan melanda. Chan sibuk mengebut di jalanan yang lengang sementara Minho sibuk memikirkan seberapa lama ia sudah tidak bertemu Chan.
"Dua minggu.." Minho berujar lirih.
"Ada apa, sayang?" Chan yang terjebak lampu merah menjawab.
"Udah dua minggu kita nggak ketemu, kak.. aku rasanya mau mati, tau nggak?" Minho meracau.
"Jangan ngomong gitu, cantik." ujar Chan. "Kakak udah dekat rumahmu, nanti kita cuddle sampai puas."
"Dua minggu kita nggak ketemu karena tugas kuliah sialanku dan projek kerja sialan kakak!" Minho tetap meracau.
"Sayang," Chan berujar.
"I-iya, kak?"
"Jangan ngomong yang aneh-aneh. Kakak udah di depan. Pintu rumah kamu kunci?" tanya Chan. Minho dapat mendengar deru mobil Chan dari dalam kamarnya.
"H-huung.. ketuk aja, ada Bunda," cicit Minho.
"Kalau gitu telfonnya kakak matikan ya, cantik?"
"Iya.."
Dalam hitungan tiga puluh detik, Chan telah merengsek memasuki kamar Minho dengan dua plastik besar di tangannya. Minho menatap Chan sendu. Dengan susah payah ia melepas selimut yang menggelungnya sedari tadi dan melompat ke pelukan kekasihnya.
"Chan-ie! Aku kangen! H-hiks.." Minho kembali menangis, membasahi kemeja Chan.
Chan tersenyum lembut. Dengan hati-hati ia menutup pintu kamar Minho, meletakkan plastik yang mengisi kedua tangannya, kemudian merengkuh tubuh Minho.
"Kakak juga kangen," Chan berbisik lembut. Jemarinya mengusap rambut Minho penuh sayang, membuat Minho mengerang pelan seperti kucing.
Mereka diam dalam posisi itu selama beberapa saat sebelum Chan berinisiatif untuk menggendong Minho. Minho yang kooperatif mengalungkan kakinya di sekitar pinggang Chan dan memeluk leher Chan erat. Ia membenamkan wajahnya di ceruk leher Chan, menghirup dalam-dalam aroma sang kekasih yang ia rindukan.
Chan membawa Minho menuju tempat tidurnya. Ia duduk dan membiarkan Minho meniup telinganya selagi mencari posisi nyaman di pangkuannya. Chan terkekeh geli ketika Minho menggigit lehernya.
"Ngapain, sayang?" tanya Chan. Tangannya mengusap punggung Minho lembut.
"Nggak tau!" Minho kembali membenamkan wajahnya di ceruk leher Chan. "Aku kangen," gumamnya.
Chan tersenyum. "Kakak juga kangen, cantik."
Minho mengerang kesal, pipinya merah. Sementara Chan tertawa gemas selagi mencubit pipi Minho.
"I love you, princess."
"Princess loves you too, prince."
— — — — —
Hai, apa kalian kangen aku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Failed Fluff ft. Banginho
FanfictionKeseharian sepasang kekasih manis yang nyaris bikin gigit kuku. #4 chanho #2 chanho