Drrtt... Drrrttt...
Drrtt... Drrtt...
" Tony, kau yakin tidak ingin mengangkat telfon dari ayahmu? Mungkin saja itu penting. Ayahmu sudah menelfon berkali-kali. "
Bukannya meraih ponsel dan mengangkat telfon dari ayahnya, Tony justru tidak menggubris-- baik perkataan pria di hadapannya maupun telfon yang terus bergetar itu. Wajahnya justru mengekspresikan ketidak peduliannya terhadap apapun, dia menyibukan kedua bola matanya dengan menatap televisi. Sebenarnya telinga Tony masih mendengar dua hal yang sedang ribut itu, tetapi dia berpura-pura jika hanya televisilah yang dia dengarkan.
Tony, pria dengan nama lengkap Anthony Edward Stark-- merupakan penyandang gelar anak tunggal dari seorang bangsawan bernama Howard Anthony Walter Stark. Howard merupakan seorang bangsawan yang sangat kayaraya, bahkan kekayaannya tidak akan ada habisnya meski cucuk Tony nantinya sudah memiliki cucuk lagi. Tetapi sayangnya Tony tidak terlalu tertarik dengan kekayaan dan bisnis milik ayahnya, dia lebih menyukai kebebasan dan kesederhanaan. Seperti malam ini, dimana Tony berhasil kabur dari kamarnya yang nyaman dan memilih untuk bersantai didepan sebuah televisi tua.
Tetapi Tony mulai jengkel dengan pria yang sedari tadi masih saja memintanya untuk mengangkat telfon dari ayahnya,
" Steve, bisakah kau tidak memperdulikan ponselku? Duduk dan tontonlah acara kesukaanmu ini. "
" Tapi bagaimana jika ayahmu semakin murka pada kita? "
" Biarkan. Aku juga bisa murka pada pak tua itu. "
" Hhh... Tony... "
Sebuah helaan nafas panjang adalah tanda bahwa pria ini setuju dengan keputusan Tony dan memilih untuk duduk sambil menyaksikan acara kesukaannya itu. Pria yang lebih tinggi dari Tony, dengan rambut pirang dan mata berwarna biru itu bernama Steven Grant Rogers-- pria yang bercita-cita ingin sekali menjadi seorang tentara. Steve kecil punya masalah dengan rasa trauma, kedua orangtuanya menjadi korban dari peperangan yang sempat menimpa kota kecil mereka, maka sejak itu Steve bertekat untuk menjaga keamanan dengan menjadi seorang tentara. Namun dia harus menunda keinginanya itu karena dia harus menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu, tetapi Steve berencana untuk ikut test tahun ini karena keinginannya sudah semakin bulat.
Akhirnya suara dari getaran ponsel itu tidak lagi terdengar, kelihatannya Howard sudah menyerah dengan kedua orang ini. Steve dan Tony memanglah sudah sangat dekat, mereka merupakan teman sekelas. Tony yang merupakan anak bangsawan seringkali menjadi dompet yang mudah dicopet oleh anak-anak yang memiliki kekuatan lebih, Tony tidak pernah menolak memberikan mereka uang, ya selain karena duitnya tidak akan habis-- Tony juga enggan berkelahi. Hal itu berbanding dengan Steve yang geram melihat kelakuan mereka, Steve selalu saja melindungu Tony dan menghajar mereka hingga babak belur. Tetapi sebagai bentuk terimakasih, tak jarang Tony mampir kerumah Steve dan membawakannya beberapa makanan, bukan untuk dimakan Steve sendiri melainkan untuk mereka makan bersama-sama. Steve dan Tony, mereka lebih dekat dari sekedar teman.
" Kasihan sekali, melompati jendela kelihatannya sangat melelahkan... Begitu, Tony? "
Steve membelai lembut kening pria yang tengah tertidur sambil bersandar disofa itu, karena tidak tega akhirnya Steve membawa Tony menuju kamarnya dan membaringkannya diranjang. Pria yang terkadang terlihat manis itu menggerakan tubuhnya mencari posisi ternyaman sambil tetap memejamkan kedua matanya, mungkin dia berfikir sudah sampai di kamarnya dengan keadaan kasur yang sangat berbeda.
" Hmm... Steve... "
" Ya? "
" Hmm mm... "
" Kau melindur, Tony. "
Melihat Tony melindur, Steve menggelengkan kepalanya sambil terkekeh kecil. Entah sejak kapan tingkah Tony menjadi cukup menggemaskan untuk Steve.
Dengan menyelimuti tubuhnya Steve merebahkan diri diatas sofa miliknya, sementara Tony tidur di ranjangnya tanpa selimut, Steve berfikir jika hal ini adalah hal yang cukup adil dan lagipula cuaca tidak terlalu dingin disini. Perlahan terlarutlah Steve dalam mimpinya, begitupula dengan Tony yang sudah terlebih dahulu tertidur. Melewati waktu tidur yang berbeda, ternyata Tony dan Steve memasuki mimpi yang sama dan bahkan saling terhubung satu sama lain.
Mimpi itu terasa sangat nyata bagi Tony, dia senang sekali bermimpi bahwa dia dan Steve tidak memiliki halangan apapun lagi termasuk ayahnya. Tony mampu dekat dengan Steve meskipun Steve merangkulnya didepan Howard. Entah apa yang membuat Tony menjadi tersenyum bahagia dalam mimpinya itu karena mendapatkan perlakuan manis dari Steve, sedangkan jelas-jelas dia tidak memiliki hubungan apapun.
" Hoammm~ "
Setelah tertidur cukup pulas, meningat mimpinya sangat terasa indah-- Tony terbangun mencium aroma mie instan yang sedang diaduk bersama dengan bumbunya, sontak Tony bangun dan mencari sumbernya. Dia mendapati Steve sedang membuat dua piring mie goreng.
Entah apa yang ada dalam fikiran Tony, dia menghampiri Steve kemudian memeluknya dari belakang. Pelukan kali ini sangat hangat bahkan mesra, sehingga Steve hanya bisa terdiam dan wajahnya menjadi seperti kepiting rebus. Bagaimana tidak, rasanya sangat aneh jika mimpinya semalam menjadi kenyataan. Tetapi mungkin saja Tony masih berada dalam pengaruh mimpi indahnya itu.
" Em, Tony... sarapanlah dulu. "
" .... "
" Tony?? Apa kau tidak mendengarku? "
" .... "
" Tony?! "
" Ah? I-iya ada apa?? "
Wuushhh....
Bagaikan tertiup angin musim panas, pipi Tony perlahan menghangat. Dia baru saja tersadar jika yang semalam itu hanyalah mimpi dan yang dia lakukan sekarang adalah hal nyata. Dengan cekatan Tony menarik tangannya, wajahnya tidak berani dia perlihatkan pada Steve, Tony menyembunyikan wajahnya sambil melihat ke sisi lain. Sadar akan tingkah Tony yang menunjukan jika dia merasa malu, Steve menarik tangan Tony dan memintanya untuk duduk dikursi.
" Tidak apa, sarapan dulu. Tenang saja, aku tidak keberatan sama sekali... Aku malah senang mendapatkan pelukan dipagi hari. "
Manis, hanya itu yang ada difikiran Tony mendengar apa yang dikatakan oleh Steve. Jika sudah begini sepertinya mereka berdua tidak keberatan dengan hal-hal yang bersifat terlalu dekat.
Tony menyantap mie yang di buatkan Steve dengan sangat lahap, sementara Steve sesekali melirik wajah Tony. Karena melihat bumbu mie menempel pada bibir Tony akhirnya Steve memberikan tisu pada pria dihadapannya itu,
" Ini, bibirmu belepotan sekali. Kau seperti singa yang kelaparan. "
" Sial, Steve. "
" Hahahaha. "
Merekapun melanjutkan makan dengan beberapa perbincangan ringan, Steve memastikan sampai kapan Tony akan tinggal bersamanya dan mengacuhkan Howard. Steve tau benar jika Howard adalah pria yang baik, orang tua yang sangat perhatian pada anaknya terlebih Tony merupakan anak tunggal. Tetapi memang akan agak sulit kecuali jika mempertemukan mereka dan berbicara baik-baik dengan kepala dingin.
" Kita harus berbicara pada orangtua mu. "
" Berbicara? Soal apa? ... apa ini karena aku kabur dari jendela?? "
" Bukan. "
" Lalu apa?? "
Steve meraih satu tangan Tony kemudian menggenggamnya. Tatapan Steve hanya tertuju pada kedua bola mata Tony,
" Karena aku, aku ingin kau menjadi milikku-- Tony. "
***
Hello, apakabar?? Lama gak jumpa ya.
Maklum otakku kadang suka mandek, tapi semoga yg kali ini lancar :3
KAMU SEDANG MEMBACA
" When Spring Come. "
RomanceSteve Rogers, seorang pria muda yang selalu bermimpi menjadi seorang tentara untuk mengamankan negaranya, harus memilih antara cinta atau impiannya. Ketika keduanya mampu di raih, semua masalah datang silih berganti, membuatnya merasa menjadi seseor...