Eight - Both Point of View

86K 4.9K 101
                                    

Her POV.

Srottt ....

"Uhuk, uhuk ...."

"Berisik banget sih lo."

Aku menoleh ke arah Angga yang menatapku sinis. Wajahnya ketika sebal lebih menyebalkan dari biasanya. Dia terus berjalan sambil sesekali menendang kerikil. 

"Masalah?" Tanyaku.

"Banget."

Aku hanya mengangkat bahuku tidak peduli.

Kalau saja tadi aku bangun lebih pagi, aku tidak akan berpapasan dengannya begini. Walau ini bukan yang pertama kali, tapi seperti biasa ...

Awkward.

Kami terus berjalan dalam keheningan. Tidak sepenuhnya hening juga, sih. Terkadang diselingi dengan bunyi batukku.

"Hatchoo!"

Aku segera menutup hidungku. Hm, saputanganku ada di tas. Dan aku tidak mungkin berjalan sampai ke sekolah dengan pose menutupi hidung begini.

Angga yang berjalan di depanku berbalik. Mengangkat satu alisnya.

"Kenapa lo?" Tanyanya.

Aku memutar mata. Sudah jelas-jelas dia tahu.

"Nih."

Dia mengerahkan saputangan putihnya ke arahku. Walaupun wajahnya tidak menatapku, aku bisa mengetahui bahwa dia memberikan saputangannya.

"Hm, thanks." Ucapku.

"Nggak usah dibalikin. Gue nggak mau bekas ingus lo." Balasnya.

"Serah lo." Balasku,

Meski kata-katanya terdengar menyebalkan. Entah kenapa, terasa lucu.

Ya, pasti aku sakit berat.

Tepat ketika kita sampai di kelas, bel pelajaran pertama berbunyi. Berhubung ini hari Selasa, para murid langsung buru-buru mengambil pakaian olahraga dan bergegas ke ruang ganti.

"Lo nggak ganti?" Tanya Angga sambil menatapku yang bergeming di kursi. Dia sudah berdiri dari kursinya dan membawa baju olahraganya.

Aku hanya mengangkat bahu.

Dari bangun tidur--tepatnya kemarin--aku sudah merasa tidak enak badan. Dan entah kenapa pusingnya semakin menjadi-jadi.

"Mending lo nggak usah olahraga. Lo pucet gitu." Ucapnya sambil menatapku bingung--karena aku masih bergeming di tempat duduk.

Aku menggeleng, lalu berdiri dari kursi sambil membawa baju olahragaku. Aku melirik Angga yang masih menatapku. Wajahnya dalam mode ­stoic tapi aku melihat ada sesuatu yang lain dalam pandangannya.

Ha.

Pasti ini sakit berat.

"Udah, ya."

Aku segera mendahului Angga. Dan bukannya bertambah baik, aku merasakan mual. Aku sempat berhenti sebentar saat berjalan.

"Sab, bentar lagi ngumpul! Sana buruan!" Ucap Gary--si ketua kelas, sambil terengah-engah. Aku hanya mengangguk dan mulai berusaha menyeret tubuhku ke ruang ganti.

***

"Kamu!"

Aku mengangkat satu alisku bingung sambil menunjuk ke arahku sendiri.

Aku?

"Ya, kamu yang terlambat! Sini!"

Aku melangkahkan kakiku ke tempat dimana Pak Firman berdiri. "Lari keliling lapangan tiga kali! Sana mulai!" Perintahnya.

A Riddle Upon UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang