CHAPTER 7. BETRAYAL

602 77 40
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

"Maxim, bisakah aku pulang lebih awal hari ini untuk menjenguk Laura? Aku khawatir ia sedang sakit atau mungkin memiliki suatu kesulitan yang tak bisa ia katakan," ujarku sembari membersihkan piring dan gelas terakhir sore ini.

"Oh, tentu! Pergilah, jenguk dia! Aku juga mencemaskannya. Kau tahu, ia tak punya siapa-siapa di sini selain kita," sahut Maxim dari arah meja kasir.

"Apakah kau yakin bisa menangani toko sendirian hingga jam tujuh malam?" tanyaku sangsi sambil mengeringkan tangan.

"Jangan mengkhawatirkanku. Aku pria hebat, kau tahu itu," balasnya dengan suara sejelas mungkin agar aku mendengarnya.

Tawa kecil keluar dari mulutku. Lelaki itu sungguh tahu bagaimana membuat hal-hal berat terlihat ringan dan menyenangkan.

Aku baru melepas celemek dan menaruhnya ke tas saat pintu terdengar terbuka.

"Cleona! Tetanggamu telah tiba!" teriak Maxim.

Alrico datang tepat waktu. Tadi aku memang memintanya untuk menjemputku lebih cepat dan mengantarkanku menjenguk Laura, sejak Xavier tak kunjung mengangkat teleponku.

Pikiranku kembali mengingat akan percakapan kami di mobil tentang makhluk mitos yang membunuh orang tua dari dua sepupunya, Javiero dan Aldevaro. Aku bergidik, sekaligus merasa sangsi apa mungkin aku bisa memercayai kisah Alrico.

Segera kutepiskan pemikiranku. Saat ini ada yang lebih penting untuk kulakukan.

"Iya, aku sudah siap!"

***

Alrico menghentikan mobil di depan sebuah rumah kecil. Aku hanya pernah sekali mendatangi Laura di kediamannya sewaktu dia sakit dulu. Kuharap ingatanku benar dan semoga ia ada di sana.

Aku turun begitu Alrico membukakan pintu mobil untukku. Matanya mengawasi sekeliling rumah yang tampak sepi. Keningnya berkerut dan tampak seperti mengendus sesuatu.

Kakiku bergerak hendak melangkah menuju pintu rumah Laura. Namun, Alrico mendadak memegang lenganku.

Aku menoleh padanya. "Ada apa?"

"Kau yakin mau ke sana?" tanyanya balik.

Aku mengerutkan kening. "Memangnya kenapa?"

Kepalanya menggeleng-geleng pelan dengan mata memperlihatkan keraguan dan kecemasan.

Aku melepaskan pegang tangannya pelan. "Aku tak akan mengomelinya hanya karena ia tak masuk kerja beberapa hari."

"Bukan itu." Alrico menggigit bibirnya. "Mmm ... kurasa ia tak sedang sendirian ...."

Aku melebarkan mata. "Bagaimana kau tahu?"

"Firasatku saja," sahutnya singkat. Matanya menyiratkan kegelisahan.

Aku bermaksud hendak melangkah lagi.

"Seberapa dekat kau dengan Laura?"

Langkahku terhenti kembali. Mataku menatap bingung ke arahnya sebelum menarik napas panjang. "Walau tidak bisa dikatakan akrab, kami berteman kurasa. Mungkin itu kesalahanku yang tak mudah untuk dijadikan teman baginya, tapi aku menganggapnya seperti itu."

Alrico memberiku tatapan aneh. "Aku akan menemanimu."

"Tidak usah. Itu rumah seorang gadis yang tinggal sendirian. Kau di sini saja," ujarku.

"Jika kau masuk, aku harus ikut masuk," sahutnya tegas.

Aku melongo.

Ada apa dengannya? Kenapa dia ingin memaksa masuk?

Belum sempat aku membantah, ia lebih dulu melangkah menuju pintu rumah.

Alrico mengetuk secara tidak sabar. Wajahnya menyiratkan kekesalan, kecemasan, dan kemarahan bercampur aduk.

Aku mengawasinya sebal, tapi juga penuh keheranan. Namun, aku sedang tak ingin bertengkar dengan lelaki itu. Jadi, aku memilih membiarkannya.

Pintu terbuka. Wajah lelah Laura dengan rambut acak-acakan tampak di ambang jalur masuk. Ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihatku dan Alrico.

"Kau?" Matanya memandangiku dan Alrico bergantian. "Mau apa kalian kemari?"

Aku melangkah maju. Alrico menyejajarkan posisinya di sampingku.

"Aku ingin menjengukmu. Kupikir kau sakit. Maxim ...."

"Ada siapa, Laura?! Kenapa kau lama sekali?!" teriak seseorang dari dalam.

Aku tertegun. Jantungku terasa akan berhenti saat mengenali suara itu. Mataku melebar ke arah Laura.

Gadis itu berusaha menghindari tatapanku dan mencoba merapatkan pintu. "Aku baik-baik saja, pergilah."

Alrico dengan cepat menahan gerakannya. "Cleona belum selesai bicara. Kau harus mendengarkannya."

Laura tampak bengong seketika, lalu mulai terlihat takut dan menurut.

Aku memberinya tatapan getir. "Dia di dalam?"

Laura mengangguk lemah.

"Kau bersamanya? Jangan katakan jika ia di sini sejak kau ...."

"Ya. Aku sudah bersamanya beberapa hari, kecuali saat ia menemuimu," sahutnya tanpa menatap mataku.

Mulutku terbuka, tapi tak ada kata-kata yang keluar.

"Laura! Kenapa lama seka-" Wajah Xavier terlihat pucat saat melihatku. Namun, ia kemudian bergegas mendekat dan tampak murka saat melihat Alrico di sebelahku. "Apa yang dia lakukan di sini?!"

Tanganku tanpa sadar mendarat keras di pipinya. Air mataku tumpah. Tubuhku gemetar penuh kemarahan.

Xavier menatapku tak percaya. "Kau ... menamparku ... demi bocah itu?!"

"Bukan! Aku menamparmu karena sudah menyia-nyiakan waktuku! Kau membuatku membenci diriku sendiri sebab memercayai lelaki pembohong sepertimu!" Suara bercampur tangis meledak tak tertahankan lagi. "Kalian sungguh tega ...!"

Laura meraih lengan Xavier. "Kami saling mencintai. Ia milikmu dulu, tapi dia milikku sekarang."

Tanganku kasar mengusap air mata. "Kau kira aku akan masih menginginkannya?"

Aku menoleh dan bergerak cepat memberi kecupan pada Alrico yang ternyata malah membalasku dengan lumatannya yang dahsyat. Tangannya erat merangkulku hingga tubuh kami tak berjarak.

Kepalaku pening seketika karena hampir kehabisan napas. Otakku berusaha sadar bahwa Xavier dan Laura tengah melongo memandangi kami berdua.

Sempat-sempatnya ia memanfaatkan situasi!

Napasku tersengal saat Alrico akhirnya melepaskanku. Aku menatap nyalang ke arah Laura.

"Kau lihat? Aku sudah mendapatkan lelaki yang lebih baik dan ia tahu bagaimana cara mencintaiku. Aku tak suka berebut mainan dengan orang lain. Kau ambil saja dia. Aku tak butuh barang bekas!"

Sehabis berkata itu, aku menggandeng lengan Alrico dan mengajaknya pergi dari situ tanpa peduli apa-apa lagi.

"Cleona!" Kudengar teriakan Xavier memanggil.

Aku tak mau menggubrisnya. Air mataku tumpah kembali semakin deras. Kupercepat langkah menuju mobil. Seakan paham dengan perasaanku, Alrico mengikutiku tanpa berkata apa-apa.

Sudah jelas sekarang, Cleona. Lihatlah, kau kalah. Kaulah yang bodoh. Kesalahanmu adalah mencintai dan memercayai orang yang salah.

Tangisku meledak kembali di dalam mobil. Tak kuhiraukan Alrico yang memasangkan sabuk pengaman untukku.

Aku hanya merasakan rengkuhannya kemudian. Tanganku erat membalasnya dengan rangkulan.

"Menangislah jika itu membuatmu merasa lebih baik. Aku di sini bersamamu, selama kau menginginkanku ...."

***

ALRICO - Lucis Series 1 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang